Masih Adakah Marwah Institusi Kehakiman di Indonesia?

Pada bulan Maret, tepatnya setiap 1 Maret, diperingati sebagai hari kehakiman nasional. Jika kita tinjau arti kata “diperingati,” ia berasal dari kata dasar “ingat”. Ini berarti, kita perlu untuk tetap memiliki ingatan, bahwa sebagai rakyat Indonesia, diharapkan untuk senantiasa memberikan evaluasi dan kritik atas kondisi institusi kehakiman di negara ini.

Pertanyaan yang relevan untuk ditanyakan menanggapi kondisi institusi kehakiman di Indonesia saat ini adalah bagaimana kondisi institusi kehakiman di Indonesia?  Apakah ia masih bersih dari intervensi pihak luar? Juga, apakah para hakim masih memiliki kemandirian untuk tetap independen dalam menjalankan tugasnya, memiliki keberanian tanpa pandang bulu untuk menghukum siapa saja yang bersalah menurut akal sehat?

Berkaca kepada berbagai kasus yang melibatkan institusi kehakiman di Indonesia, kita harus menarik nafas panjang. Pasalnya, institusi kehakiman serta para hakim yang bertugas masih tidak memiliki kemandirian dan keberanian dalam menjalakan tugas dan fungsi mereka.

Mahkamah Agung, Berpihak untuk Kepentingan Segelintir Orang

Salah satu institusi kehakiman yang perlu ditinjau kinerja dan keberpihakannya adalah Mahkamah Agung (MA). Hingga hari ini, terdapat banyak kasus yang memperlihatkan keberpihakan MA hanya kepada segelintir pihak saja, alih-alih berpihak kepada rakyat kecil. Salah satu wujud dari hal tersebut, adalah upaya MA dalam memberantas korupsi di negara ini.

Melansir data Indonesian Corruption Watch (ICW), setidaknya ada dua data menarik yang dapat dijadikan acuan untuk menjustifikasi klaim bahwa MA tidak berkomitmen untuk memberantas korupsi di Indonesia. Pertama, adanya banyak vonis ringan, yang sepertinya sudah menjadi tren dalam tubuh MA. Catatan ICW sepanjang 2018, rata-rata vonis untuk terdakwa korupsi hanya menyentuh angka dua tahun lima bulan penjara. Kedua, untuk tingkat Peninjauan Kembali (PK) pun sama, bahwa sejak 2007 hingga 2018, setidaknya ada 101 narapidana korupsi telah dibebaskan oleh MA.

Nurhadi, mantan sekretaris Mahkamah Agung, saat berada di gedung KPK dengan mengenakan rompi oranye, courtesy of Kompas.com

MA juga tak lepas dari jerat perilaku korup para pejabatnya. Masih cukup segar dalam ingatan kita, bahwa mantan sekretaris MA, Nurhadi, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2018 atas dugaan menerima suap Rp33,1 miliar dari PT Multicon Indrajaya Terminal dan gratifikasi senilai Rp12,9 miliar.

Baca Juga  Apakah Perjalanan Waktu dapat Memastikan Kebenaran Sejarah?

Selain dalam kasus korupsi. MA juga memperlihatkan watak hanya mementingkan kepentingan segelintir pihak ketika menjadi penengah dalam kasus Heri Budiawan alias Budi Pego dkk. melawan PT Merdeka Copper Gold. Dalam kasus tersebut, kelompok aktivis lingkungan yang dipimpin Budi Pego menggugat Merdeka Copper Gold untuk membatalkan izin pertambangan emas yang dianggap dapat merusak lingkungan.

Pada tahap persidangan di Mahkamah Agung, putusan yang diambil MA penuh kontroversi. Meski terdapat argumen yang kuat dari pihak aktivis lingkungan, yang menyatakan bahwa aktivitas pertambangan emas dapat berdampak buruk pada lingkungan dan keberlanjutan hutan di Banyuwangi, MA memutuskan untuk mempertahankan izin pertambangan Merdeka Copper Gold.

Heri Budiawan alias Budi Pego, aktivis lingkungan hidup yang bersengketa dengan PT Merdeka Copper Gold, courtesy of Kompas.com

Putusan MA memantik kritik oleh kalangan aktivis lingkungan, yang menilai bahwa MA lebih cenderung memihak kepada kepentingan korporasi daripada memperjuangkan keberlanjutan lingkungan dan kepentingan masyarakat lokal. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan tentang independensi dan integritas MA dalam menangani kasus-kasus lingkungan, yang melibatkan konflik antara bisnis dan lingkungan hidup.

Bagaimana Dengan Mahkamah Konstitusi?

Jika kita perlu untuk mempertanyakan kembali keberpihakan MA sebagai institusi kehakiman, bagaimana dengan marwah Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelum 16 Oktober 2023, sebagian besar masyarakat Indonesia masih memiliki kepercayaan penuh atas kinerja dan keberpihakan MK untuk tetap menjaga kemurnian Undang-Undang Dasar.

Namun, tepat pada 16 Oktober 2023, kepercayaan tersebut sirna secepat kilat. Pasalnya, MK mengabulkan permohonan terkait syarat untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres), yang dimohon oleh Almas Tsaqibbiru, mahasiswa Universitas Surakarta. Dalam putusannya, dinyatakan bahwa capres-cawapres dapat mencalonkan diri jika minimal berusia 40 tahun atau pernah/sedang menjabat sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Melalui putusan tersebut, Gibran Rakabuming Raka, yang saat itu menjabat sebagai wali kota Solo, dapat melenggang sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto.

Anwar Usman, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden, courtesy of infobanknews

Publik menanggapi putusan tersebut dengan kritik. Pasalnya, diketahui bahwa Gibran merupakan keponakan Anwar Usman, Ketua MK saat itu. Publik menduga terjadi kongkalikong, ketidaknetralan MK ketika menyidangkan permohonan tersebut.

Baca Juga  Filsafat dan Agama, Dua Jalan Mencapai Kebenaran

Publik tentu bertanya, di mana independensi Mahkamah Konstitusi saat memproses permohonan mengenai syarat capres-cawapres. MK, yang seharusnya menjadi the guardian of the constitution atau penjaga konstitusi, seakan-akan berubah menjadi the guardian of the family power, penjaga kekuasaan keluarga.

Masyarakat Indonesia tentu saja marah dengan putusan tersebut. Mereka marah bukan karena menolak seorang anak muda yang berusia di bawah 40 tahun, tetapi menolak putusan MK tersebut hadir karena hubungan keluarga antara Gibran dan Anwar.

Masa Depan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

Berangkat dari kondisi Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi di atas, kedua institusi kehakiman tersebut sejatinya perlu melakukan refleksi diri. Mereka hadir dan dibentuk untk kepentingan publik, untuk menjaga prinsip persamaan di depan hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar.

Berangkat dari tujuan tersebut, jika MA dan MK ingin mengembalikan marwah mereka di hadapan publik, ada beberapa hal penting yang wajib mereka lakukan. Pertama, kedua lembaga tersebut perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem dan proses internal mereka. Ini termasuk peningkatan transparansi dalam proses pengambilan keputusan, pemantauan yang lebih ketat terhadap integritas hakim, dan yang tidak kalah penting, peningkatan kualitas keputusan yang dihasilkan.

Ilustrasi hakim. Lembaga kehakiman di Indonesia wajib melaksanakan penguatan kode etik bagi para hakim, jika marwah mereka ingin tetap disegani masyarakat, courtesy of Situs Web Kepaniteraan Mahkamah Agung RI

Kedua, perlu dilakukan penguatan kode etik bagi para hakim, sebagai kunci dalam menjaga integritas dan independensi mereka. Kedua lembaga kehakiman tersebut harus memberikan sanksi yang tegas dan konsisten terhadap pelanggaran kode etik yang dilakukan para hakim.

Ketiga, masyarakat perlu berpartisipasi secara aktif dalam proses hukum yang dilakukan dalam kedua lembaga kehakiman tersebut. MA dan MK harus siap mendapatkan masukan, saran, dan kritik dari masyarakat. Ini dapat dilakukan melalui pembentukan mekanisme pengaduan publik yang mudah diakses masyarakat, serta pemberdayaan lembaga-lembaga masyarakat sipil untuk mengawasi kinerja MA dan MK.

Baca Juga  Apakah Sejarah sama dengan Masa Lalu?

Keempat, diperlukan penguatan pengawasan oleh lembaga negara lain, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Komisi Yudisial (KY). Mereka perlu terlibat secara aktif, memastikan bahwa kinerja MA dan MK berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan kemerdekaan berkeadilan.

Kelima, perlu adanya peningkatan dalam penyuluhan hukum dan pendidikan masyarakat. Ini akan membantu mereka untuk meningkatkan pemahaman mereka mengenai hak-hak hukum yang mereka miliki, serta nilai penting independensi lembaga peradilan dalam menjaga keadilan.

Dengan mengambil kelima langkah tersebut, diharapkan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dapat memperbaiki citra mereka, dan memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga kehakiman di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *