Perayaan Hari Kartini dirayakan setiap tanggal 21 April, bertepatan dengan hari kelahiran Raden Ajeng Kartini, pada 21 April 1879. Melalui peringatan Hari Kartini, kaum perempuan Indonesia diharapkan dapat terinspirasi dari sosok Kartini, yang menjadi pembangkit semangat emansipasi dan pencerahan kepada perempuan di Hindia Belanda.
Namun, sayangnya, perayaan Kartini seringkali hanya identik dengan berbagai perlombaan dan pemakaian baju adat, terutama kebaya, yang dilakukan perempuan Indonesia. Padahal, melansir artikel Nurhadi Sucahyo dalam VOA Indonesia, hal tersebut menutup esensi perjuangan Kartini yang sesungguhnya.
Penggunaan kebaya, dan pakaian adat lainnya, dipandang mengaburkan esensi sosok Kartini sesungguhnya. Alih-alih terilhami dari perjuangan yang dihadapi Kartini dalam menentang feodalisme, seperti yang tertuang dalam buku Kartini, Sebuah Biografi tulisan Sitisoemandari Soeroto, masyarakat Indonesia menghayati sosok Kartini hanya secara simbolis semata.
Sejak kapan hal seperti ini terjadi? Bagaimana kita seharusnya memperingati Hari Kartini?
Perayaan terhadap sosok Kartini pertama kali digelar oleh Yayasan Van Deventer pada 21 April 1929. Dalam acara tersebut, keluarga Kartini dan tamu dari berbagai kalangan menghadiri peringatan tersebut. Mengutip Djoko Marihandono dalam buku Sisi Lain Kartini, ia merupakan wujud penghormatan terhadap warisan dan kontribusi Kartini dalam perjuangan emansipasi perempuan dan pendidikan pada masa itu.
Pada 21 April 1947, pemerintah Indonesia yang merdeka memperingati hari kelahiran Kartini secara besar-besaran di Lapangan Merdeka, Jakarta. Mengutip Marihandono, semangat Kartini menjadi semakin relevan pada masa itu, seperti yang tertuang dalam pidato yang disampaikan Nyonya Sitiati, ketua panitia peringatan.
Setelah Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 1964, tanggal 21 April ditetapkan secara resmi sebagai Hari Kartini. Ungkap Marihandono, dalam buku Sisi Lain Kartini, penetapan tersebut memperkuat pengakuan terhadap kontribusi serta pengaruh Kartini dalam sejarah Indonesia, menjadikannya simbol perjuangan yang abadi. Terlebih, pemerintah Soekarno pada masa itu membutuhkan sosok yang revolusioner, yang dapat membangkitkan semangat kaum perempuan untuk berjuang melawan Nekolim.
Namun, seiring dengan peristiwa G30S dan kebencian terhadap Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), pemerintah Orde Baru (Orba) melihat semangat revolusi yang dibawa Kartini harus diredam. Mengutip artikel Gerakan Perempuan; 20 Tahun Reformasi, yang merupakan catatan diskusi KOMNAS Perempuan pada 20 Mei 2018, Orde Baru mengubah citra perempuan, dari agen perubahan revolusioner, menjadi lembut bagaikan seorang ibu. Hal tersebut dikenal sebagai ibuisme, merupakan upaya domestifikasi terhadap kaum perempuan di Indonesia.
Oleh pemerintah Orde Baru, Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dijadikan organisasi payung untuk mengontrol kaum perempuan, membatasi peran mereka sebagai “ibu rumah tangga” dai “istri”. Selain melalui Kowani, Orba juga mengontrol hal tersebut melalui Panca Dharma Wanita, dengan memberikan pandangan sempit terhadap peran perempuan, membatasi merek ahanya sebagai pendamping suami dan pengatur rumah tangga.
Meski Orde Baru sudah “berhenti” lebih dari 20 tahun yang lalu, pengaruhnya terhadap peringatan Hari Kartini masih ettap terasa. Salah satu imaji mereka, yakni menghubungkan Kartini dengan kebaya, masih dilestarikan hingga kini. Oleh pemerintah zaman Reformasi, Kartini disimbolkan sebagai perempuan yang anggun, lembut, serta mengenakan kebaya, pakaian kesopanan dan keanggunan dalam masyarakat Jawa, serta pakaian nasionalis yang mewakili Indonesia.
Sebagai bangsa yang baru, yang lepas dari kontrol sentralistik Orde Baru, sudah seharusnya Indonesia memaknai kembali sosok Kartini. Ia seharusnya tidak dimaknai hanya sebagai seremonial belaka, sebagai hari bagi seluruh pegawai pemerintah dan para guru untuk mengenakan pakaian adat. Hari Kartini seharusnya dijadikan momen untuk memahami kembali perjalanan hidup seorang Kartini, melihatnya sebagai objek dan subjek sejarah.
Selain itu, seperti yang ditekankan Sitisoemandari dalam buku Kartini, Sebuah Biografi, Hari Karti juga perlu menjadi momen untuk mendorong pendidikan. Namun, bukan hanya pendidikan model Barat atau pendidikan formal, tetapi juga pendidikan informal dan nonformal. Melalui pendidikan, seperti yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya, bangsa Indonesia akan dapat mengejar kemajuan yang mereka harapkan.
Pada akhirnya, perayaan Hari Kartini seharusnya menjadi momentum untuk refleksi dan aksi, menghadirkan perubahan positif bagi masyarakat secara keseluruhan. Melalui peringatan yang tepat, esensi yang diharapkan seorang Kartini bagi masyarakat Indonesia ketika ia hidup dan menulis surat-suratnya dapat diwujudkan oleh generasi Indonesia masa kini.