Sudah menjadi hal lazim bahwa setiap tanggal 21 April, kita memperingatinya sebagai Hari Kartini. Namun, akhir-akhir ini, peringatan Hari Kartini menuai sebuah kontroversi. Pasalnya, beberapa kalangan menggugat Kartini dengan mempertanyakan peran apa yang membuat perempuan kelahiran Jepara ini lebih menonjol dibandingkan dengan tokoh-tokoh perempuan lainnya seperti Cut Nyak Dhien, Dewi Sartika, atau Rasuna Said, sehingga memiliki hari khusus yang diperingati setiap tahun.
Sebenarnya, gugatan terhadap Hari Kartini bukanlah hal yang baru. Pada 1970-an, gugatan pernah dilontarkan oleh Harsja W. Bachtiar, yang saat itu menjabat sebagai Guru Besar Universitas Indonesia, dalam bukunya yang berjudul Satu Abad Kartini (1879-1979). Dalam buku tersebut, ia mengkritik dan mempertanyakan mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol pergerakan perempuan Indonesia. Menurutnya, Kartini adalah lambang emansipasi perempuan yang diciptakan oleh orang-orang Belanda, yang kemudian dikembangkan dan dikultuskan oleh orang-orang pribumi.
Ia menyodorkan nama dua tokoh perempuan yang dianggapnya memiliki kiprah yang tak kalah penting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan melalui pendidikan di zamannya, yakni Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh, dan Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan.
Puluhan tahun berlalu, gugatan serupa terhadap Hari Kartini, sempat ramai di media sosial Twitter melalui tagar #MenggugatKartini. Banyak orang mempertanyakan dan menyodorkan tokoh-tokoh alternatif seperti Cut Nyak Dhien, yang lebih layak dibandingkan Kartini. Bahkan, ada yang mengusulkan bahwa sebaiknya tanggal 21 April, yang diperingati sebagai Hari Kartini, diubah menjadi Hari Emansipasi Perempuan.
Banyak kalangan menilai bahwa perjuangan tokoh-tokoh perempuan yang berjuang secara aktif melalui fisik melawan penjajah, seperti Malahayati atau Cut Nyak Dhien, lebih layak mendapatkan posisi istimewa dibandingkan Kartini, yang berjuang secara pasif melalui pemikiran. Saya beranggapan bahwa sikap membanding-bandingkan tokoh tersebut bukanlah suatu hal yang etis dan tidak apple-to-apple, karena jalan perjuangan mereka sangatlah berbeda.
Alih-alih terus-menerus membanding-bandingkan antara peran satu tokoh dengan tokoh lainnya, akan lebih baik jika kita melihat persamaan diantara mereka. Mereka, sebagai sosok pahlawan perempuan, sama-sama berperan penting dalam menunjukkan eksistensi perempuan dalam panggung sejarah.
Di dunia yang didominasi oleh kaum laki-laki, dan menempatkan perempuan sebagai second sex, peran Cut Nyak Dhien, Rasuna Said, Dewi Sartika, Kartini, dan tokoh-tokoh perempuan lainnya, membuktikan bahwa gender yang selama ini termarjinalkan dan dianggap lemah tersebut, ternyata mampu bersaing dengan kaum laki-laki dalam perjuangan secara fisik dan pemikiran.
Lantas, jika mereka memang sama-sama memiliki peranan penting dalam perjuangan, mengapa harus Kartini? Menurut hemat saya, hal tersebut karena Kartini kerap menuangkan gagasannya mengenai nasib perempuan Jawa ke dalam kumpulan surat yang ia tulis untuk teman penanya, yang kemudian dibukukan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia tidak hanya menginspirasi perempuan pada zamannya, tetapi juga perempuan pada masa kini. Terlebih, banyak orang yang menulis biografi Kartini, sehingga ia lebih populer dibandingkan tokoh lainnya.
Saya berharap, ke depan, lebih banyak orang yang menulis biografi tokoh-tokoh perempuan Indonesia lainnya, sehingga pemikiran mereka mampu menginspirasi kaum perempuan masa kini, dan menghilangkan kecemburuan historis terhadap Kartini. Terlepas dari semua polemik dan kontroversi yang ada, tokoh perempuan Indonesia, dari Malahayati hingga Kartini, mereka semua adalah sosok perempuan hebat yang memiliki kontribusi besar dalam perjuangan memerdekakan fisik dan pikiran bangsa Indonesia dari belenggu kemunduran dan kebodohan.