Setidaknya dalam satu dekade ke belakang, kita dikepung wacana yang menandai era kita sudah lain dengan sebelumnya. Kita tengah berada di era digital.
Lagi pula ketika wacana Revolusi Industri 4.0 menggema di mana-mana, tak terelakkan lagi bahwa memang kita tengah berada dalam pusaran arus teknologi digital dan bayang-bayang kekuasaan kecerdasan buatan yang berdaya gusur luar biasa. Banyak jenis pekerjaan konvensional tengah dirambah oleh mesin. Manusia tengah berkontestasi dengan mesin sekarang.
Ekses disrupsi digital
Semua pakar kini disibukkan untuk bicara tentang ekses disrupsi digital yang berujung pada pertanyaan besar, sejauh mana kesiapan kita. Interaksi digital terus menggeliat, mendominasi kehidupan kita. Tak mengherankan manakala kolumnis dan pakar politik internasional Fareed Zakaria merumuskannya dalam kalimat ringkas, “hidup ialah digital”. Kini, segala hal hampir dapat kita temukan di ruang digital. Semua itu membentuk kebudayaan digital yang unik, sekaligus tak terbayangkan di masa lalu.
Digitalisasi sejarah pun tak terelakkan. Semua arsip sejarah yang telah didigitalisasi semakin mudah diakses, apalagi manakala dikaitkan dengan konteks keterbukaan publik.
Hal ini memungkinkan generasi masa kini, sebut saja generasi digital, menelusuri jejak-jejak masa lalu, merangkaikan satu sama lain dan menyusun narasi dan interpretasi baru. Termasuk, dalam konteks menghadirkan, apa yang pernah ditulis sejarawan Kuntowijoyo, “Potret Perjalanan Kesadaran Nasional Kita” (1986). Tulisan tersebut pernah dipresentasikannya dalam Pertemuan Kaum Muda yang digagas harian Kompas.
Dalam tulisan yang ditujukan kepada kaum muda itu, Kuntowijoyo memulainya dengan menjelaskan konteks periodisasi sejarah. Bahwa tampaknya sudah menjadi accepted history, perkembangan kesadaran nasional kita, terbagi ke dalam periode-perdiode yang memiliki karakteristik sendiri.
Kendati periodisasi selalu mengandung simplifikasi dan generasilisasi sehingga selalu ada fakta yang tersingkir dalam proses seleksi, hal ini semata-mata sebagai usaha mempermuda[h] memahami sejarah.
Kuntowijoyo menawarkan karakteristik sebuah periode sejarah kesadaran nasional. Kesadaran itu menyangkut beberapa hal, yakni formasi sosial, sistem pengetahuan, kohesi sosial, kecenderungan sejarah, dan agen sejarah. Kuntowijoyo memeri gambaran perkembangan kesadaran nasional kita dalam tiga fase, yakni pranasional (sebelum 1908), nasonal (1908-1985), dan pascanasional (1985 dan setelahnya).
Pada fase pranasional formasi sosialnya ialah prakapitalis, lantas fase-fase berikutnya kapitalis dan pascakapitalis. Sistem pengetahuannya juga berkembang dari mitos, ideologi, dan ilmu. Kohesi sosialnya berkembang dari primordial, nasional, dan sistem. Kecenderugnan sejarah bermula dari fase kulturasi, politisasi-ekonomisasi, dan sistemisasi.
Kita memahami tulisan Kuntowijoyo itu ditulis pada 1986, era ketika puncak-puncaknya Orde Baru. Kita juga memahami narasinya tentang fase prasejarah yang ditandai hadirnya gerakan-gerakan daerah, keagamaan, dan sosial melawan penjajah. Itulah yang menjadikan gerakan nasionalisme tingkat awal. Ia berakhir ketika nasionalisme sudah menjelma menjadi gerakan sosial yang asosiasional, seperti gerakan Budi Utomo pada 1908, penanda kebangkitan nasional itu.
Lalu, gerakan berkembang pada periode nasional ini, berpuncak 1945 sebagai integrasi nasional yang bersifat horizontal. Dan, lantas integrasi vertikal tercapai pada 1985, dikaitkannya dengan dijadikannya Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi kehidupan bangsa dan masyarakat, dan karena itu Kuntowijoyo mencatat masalah integrasi sudah selesai. Fase ideologi bergerak ke fase ilmu.
Narasi kesadaran sejarah Kuntowijoyo merujuk tulisannya memang sampai di situ, dan tentu akan memperoleh sedikit revisi ketika zaman berubah menyusul ambruknya Orde Baru dan hadirnya era Reformasi pasca-1998.
Namun, terbantu oleh penjelasan Kuntowijoyo, era Reformasi yang masuk ke fase pascakapitalis atau pascanasional menjumpai praktik-prakteik kepolitikannya yang mempertautkan dua fase sebelumnya: prakapitalis (pranasional) dan kapitalis (nasional).
Demokrasi, keterbukaan, multipartai, menandai era kontestasi terbuka yang bercorak kapitalistis. Asas tunggal Pancasila dibatalkan, tetapi proses ke arah integrasi yang Pancasilais terus mengemuka hingga era Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dewasa ini.
Nasionalisme mutakhir
Kita telah belajar banyak dari sejarah, demikian pula dengan generasi kita kini. Itu semua referensi penting agar kita tetap bisa bersikap obyektif dalam menimbang perjalanan bangsa. Era digital menghadirkan tantangan yang modifikatif, dalam pengertian tantangan-tantangan klasik bangsa termodifikasi sebagai tantangan-tantangan baru yang tak kalah krusial. Pergeseran tantangan mutakhir memerlukan pemahaman dan responsnya secara mutakhir pula. Kita berdiri di era digital, harus punya kesigapan digital pula.
Tantangan kita tak hanya bagaimana meningkatkan literasi digital, agar semuanya bisa bijak dan cerdas memanfaatkan teknologi digital, tetapi lebih kepada bagaimana mengajak kaum muda memeriksa kembali perjalanan kesadaran nasional kita, memetakan tantangan-tantangan bangsa kini dan ke depan yang tidak mudah.
Berbagai pakar kini tengah berupaya untuk merekonstruksikan Indonesia 2045, satu abad setelah kemerdekaan. Dibayangkan bahwa kelak, eranya ialah Indonesia Emas, hadir sebagai bangsa yang Berjaya.
Nasionalisme mutakhir ialah menatap ke depan, menghitung seberapa besar kekuatan sumber daya kita, khususnya sumber daya manusia (SDM). Sudah menjadi pengetahuan bersama, sumber daya alam (SDA) kita semakin terbatas. Kita akan kalah berkompetisi manakala sekadar mengandalkan SDA.
Kita semakin menyadari bahwa perkembangan digital ini hendaknya bermuara pada kehadiran manusia-manusia Indonesia yang berkarakter dan cerdas. Kata cerdas, selaras dengan tujuan negara “mencerdaskan kehidupan bangsa”, memiliki makna historis setidaknya sudah merangkum penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir. Nasionalisme mutakhir seharusnya sudah melebihi fase integrasi nasional yang sudah selesai itu.
Dengan demikian, segenap anak bangsa mampu berkonsentrasi di bidang masing-masing, tetapi memiliki kesadaran nasional yang tinggi. Mereka tak saja menyimak berita-berita reformasi, kelembagaan birokrasi nasional, tetapi juga perkembangan kawasan Asia-Pasifik dan global. Kesadaran nasional di era digital juga, sadar atau tidak, terdorong ke arah kemandirian ekonomi.
Kendati tantangannya berat justru di level kebijakan pemerintah, spirit kemandirian terus tumbuh seiring perkembangan interaksi digital.
Pamdemi Covid-19 turut membawa hikmah, khususnya dalam melejitkan kebiasaan-kebiasaan digital kita. Namun, ia juga memberi pesan penting dalam konteks kesadaran nasional. Merujuk jargon klasik Mahatma Gandhi sebagaimana pernah dikutip Bung Karno, “My Nationalism is Humanity”, maka kesadaran nasional kita erat berdimensi kemanusiaan.
Dimensi manusia harus muncul dalam setiap program pembangunan. Kesadaran nasional era digital semakin kita rasakan ialah kesadaran untuk menjadi manusia. Manusia tetap unik dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Namun, mereka tetap berbeda dengan mesin. Otentisitas manusia dan kemanusiaan tidak tergantikan oleh kecerdasan buatan.
Sumber:
M Alfan Alfian. “Kesadaran Nasional” dalam Kompas. 25 Januari 2022.