Indonesia merupakan sebuah paradoks dalam dunia Islam. Secara faktual memiliki jumlah umat Islam terbesar di dunia, tetapi di dunia Islam Indonesia selalu dianggap pinggiran. Hal ini terjadi karena dunia Islam sering digambarkan sebagai kawasan konsentris, di mana pengaruh mengalir dari pusat ke pinggiran.
Pusat adalah kawasan Timur Tengah (Timteng) yang memiliki sejarah Islam paling lama dan khazanah pemikiran paling kaya. Pengaruh Islam di Timteng lalu menyebar ke seluruh pelosok dunia, baik melalui migrasi orang-orang Muslim Arab, dibawa oleh para pelajar yang berguru ke Timteng, atau oleh Jemaah haji yang pergi ke Arab setiap tahun.
Sejarah Islam Indonesia selalu digambarkan sebagai kawasan pinggiran yang pasif menerima pengaruh dari pusat.
Gambaran stagnan ini memicu keprihatinan banyak kalangan karena faktanya Indonesia memiliki sejumlah prestasi yang layak dibanggakan dan dipromosikan ke dunia Islam.
Misalnya, Indonesia diakui oleh dunia internasional sebagai contoh terbaik demokrasi di dunia Islam, yang mampu menyelenggarakan proses politik secara damai di tengah masyarakat yang majemuk. Sementara di sebagian besar kawasan Islam, proses politik sangat sering diwarnai oleh konflik yang bahkan memakan banyak korban jiwa.
Kedua, Indonesia memiliki gerakan Islam sipil yang menjadi penopang budaya multikulturalisme sekaligus pengikat keutuhan bangsa. Di level nasional ada Muhammadiyah dan NU yang karena prestasinya pernah diusulkan untuk mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian. Di luar itu, banyak juga ormas Islam moderat yang berkembang di daerah yang juga memainkan peran sentral dalam membangun budaya sipil.
Ketiga, aspek keseteraan jender dan pemberdayaan perempuan, yang merupakan aspek penting yang di-endorse oleh PBB dalam upaya pembangunan manusia secara global. Dalam aspek ini Indonesia sudah sangat maju karena perempuan memiliki kesempatan berkiprah dalam berbagai hal, dari ulama hingga kepala negara.
Mimpi internasionalisasi
Situasi di atas mendorong sejumlah kalangan untuk mulai membuka ruang melakukan internasionalisasi Islam Indonesia. Pemerintah mendorong inisiatif ini melalui pendirian Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) pada 2016.
Lembaga ini dirancang sebagai ujung tombak riset dan kajian Islam Indonesia, terutama untuk menarik mahasiswa dan peneliti asing. Ormas besar seperti Muhammadiyah dan NU juga aktif menyebarkan dan mengenalkan Islam Indonesia di luar negeri melalui jaringan Cabang Istimewa (PCIM dan PCINU) di puluhan negara, terutama melalui mahasiswa di negara-negara itu. Sebagian besar memang masih berorientasi internal warga Indonesia, tetapi ada juga yang sudah menjangkau warga lokal, seperti Muhammadyah Australian College, di Melbourne, Australia.
Kontra epistemologi
Meski sudah banyak prestasi, upaya internasionalisasi Islam Indonesia merupakan tugas yang sangat berat karena ada faktor epistemologis yang non-empiris. Pertama, Indonesia merupakan kawasan yang paling akhir menerima penyebaran Islam. Ini mengakibatkan Islam Indonesia cenderung tidak dianggap karena belum semaju kawasan lain, seperti Arab, Iran, Turki, atau Pakista.
Almarhum Nurcholish Madjid pernah berseloroh bahwa jika dibandingkan dengan Mesir, intelektualisme Islam Indonesia ibarat mahasiswa dibandingkan anak SD.
Kedua, Islam di Indonesia dianggap tak murni karena sudah bercampur budaya lokal dan tradisi agama-agama terdahulu. Inilah yang membuat Muslim Indonesia grogi mempromosikan Islam secara internasional.
Meski demikian, sebenarnya ada satu konsep epistemologis yang dapat dijadikan untuk membalik situasi, menjadikan hal-hal yang selama ini dianggap sebagai kelemahan menjadi keunggulan. Konsep itu adalah recognition-heuristic berkaitan dengan struktur pengambilan keputusan, yang dikembangkan Gerd Gigerenzer (lahir 1941), profesor psikologi dari Maxplack Institute, Berlin, Jerman.
Menurut teori ini, dalam situasi yang familiar, efektivitas pengambilan keputusan berbanding terbalik dengan jumlah informasi. Semakin sederhana informasi yang ada, akan semakin sederhana proses pengambilan keputusan. Sebaliknya. Semakin banyak informasi justru akan semakin rumit proses pengambilan keputusan.
Menariknya, Gigerenzer menemukan dalam sejumlah studi empiris (1999, 2002, 2007, 2010, 2011) bahwa pengambilan keputusan sederhana cenderung membawa hasil yang lebih akurat. Lebih dari itu, riset Gigerenzer mengindikasikan bahwa ke tempat jauh (traveling knowledge) justru adalah intinya, dan bukan pinggirannya.
Ini berlawanan dengan logika awam kita yang terbiasa bermain informasi berantai, dan menganggap rangkaian transmisi mendistorsi informasi.
Dalam sebuah survei bersama muridnya, Daniel Goldstein (2010), Gigerenzer menemukan bagaimana mahasiswa Amerika lebih akurat memprediksi kota-kota Jerman ketimbang kota-kota di Amerika, sementara mahasiswa Jerman lebih akurat memprediksi kota-kota di Amerika ketimbang kota-kota yang ada di Jerman. Ini terjadi karena informasi yang berlebihan justru mendistori kemampuan melakukan penilaian.
Perspektif epistemologis itu dapat menjadi pembuka ruang baru upaya internasionalisasi Islam Indonesia. Pertama, kesederhanaan khazanah intelektual Islam Indonesia justru jadi keunggulan karena umat Islam Indonesia lebih mudah mengambil keputusan secara efektif di momen-momen penting.
Misalnya, era kemerdekaan 1945 ketika para tokoh Islam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara. Proses ini berjalan lebih mulus dan hasilnya lebih ideal daripada Turki, Pakista, atau Iran, yang notabene lebih kaya khazanah intelektual.
Demikian pula dalam kasus reformasi 1998, demokratisasi yang dimotori ormas dan tokoh Islam berjalan lebih efektif, substantif, dan berkelanjutan ketimbang Arab Spring 2010. Masih banyak contoh lain.
Kedua, terkait dengan anggapan Islam Indonesia yang sinkretik, nalar recognition-heuristic menjadi kontra argument bahwa Islam yang sampai dan berkembang di Indonesia secara prinsip (ushul) tetaplah Islam yang murni. Elemen budaya lokal lebih merupakan tambahan (furu’), yang biasanya menunjukkan residu proses dakwah dengan pendekatan kultural.
Secara metodologis ini justru menjadi jejak kegeniusan para ulama dan pendakwah di Indonesia menghadapi kompleksitas dakwah dengan cara damai. Prestasi ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi pendakwah Islam di kawasan lain yang masih berkutat dalam jebakan politisasi dan konflik bersenjata.
Tentu saja ada strategi yang perlu dipikirkan secara arif, untuk tak mengarahkan upaya internasionalisasi Islam Indonesia ke kawasan Timteng karena akan mendapatkan resistensi, dari luar maupun dari dalam. Lebih prospektif jika internasionalisasi secara khusus diarahkan ke komunitas Muslim di Asia Tenggara dan negara mayoritas Muslim di Eropa Timur, Asia Tengah, dan Afrika.
Indonesianis dari Perancis, Remy Madinier, bahkan menyarankan untuk mempromosikan Islam Indonesia kepada imigran Muslim Eropa yang sedang mengalami pergulatan sosial-budaya membangun identitas sebagai Muslim Eropa.
Sumber:
Ahmad-Norma Permata. “Epistemologi Internasionalisasi Islam Indonesia” dalam Kompas. 1 April 2023.