Bung Karno dan Isu Keislaman

Dalam perjalanan sejarah Indonesia, barangkali tidak ada sosok yang paling menarik untuk dikaji selain sosok Soekaro. Gerak-geriknya, pemikirannya, kontribusinya, kehidupan pribadi, dan kontroversinya, selalu menggugah untuk dibahas. Sebagai salah satu tokoh utama berdirinya republik ini, ia merupakan sosok yang selalu memantik rasa ingin tahu siapa pun.

Hingga hari ini, nama Soekarno penuh dengan berbagai julukan. Julukan seperti “Pemimpin Besar Revolusi”, “Bapak Proklamator”, “Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia”, “Sang Putra Fajar”, dan “Penyambung Lidah Rakyat”, merupakan beberapa diantaranya.

Berbeda dengan pasangan dwitunggalnya, Muhammad Hata (Bung Hatta), yang lebih kalem dan terkesan lowprofile, sosok Soekarno, yang akrab dipanggil Bung Karno, tak segan jika kehidupan pribadinya diulik banyak orang. Ini yang membuatnya memikat berbagai kalangan, baik pada masa lalu maupun pada masa kini.

Soekarno saat menjalankan ibadah salat diapit Jenderal Soedirman dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, 1940, courtesy of Historia.id

Hingga hari ini, sosok Bung Karno lebih dikenal sebagai pahlawan nasional, negarawan, dan politikus. Padahal, Bung Karno juga hadir sebagai seorang pemikir. Tak terhitung karya yang berhasil ia telurkan sejak menceburkan diri ke dalam dunia pergerakan dan politik.

Berbagai genre pemikiran telah dilahapnya, untuk kemudian disintesiskan dengan gaya khas seorang Soekarno. Isu keislaman, tak terkecuali, menjadi satu genre yang ikut dibahas Bung karno.

Dalam historiografi Indonesia, relasi Bung Karno dengan Islam sering digambarkan kurang harmonis dan bersifat dingin. Pada akhir masa kekuasaannya, ketika ia berusaha memaksa gagasan Nasakom kepada masyarakat Indonesia, pembubaran partai Masyumi dan penahanan tokoh-tokoh Islam menempatkan sosok Soekarno sebagai figur yang antipati terhadap Islam.

Namun, di balik pandangan historiografi populer, sosok Soekarno, atau Bung Besar, memiliki perhatian serta ketertarikan yang tinggi kepada Islam. Hal ini ditandai ketika Soekarno menjalani masa pembuangan di Ende (sekarang masuk wilayah Nusa Tenggara Timur). Di tempat tersebut, Soekarno oleh kawan-kawannya mulai dekat pada Islam.

Baca Juga  Dinamika Kerajaan Lokal pada Masa Revolusi

Meski begitu, pandangan tersebut dibantah pada kemudian hari. Soekarno menyatakan bahwa telah dekat dengan Islam jauh sebelum dibuang ke Ende.

Soekarno bersama sekelompok wanita berkerudung. Meski tampil sebagai sosok nasionalis sekuler, Soekarno begitu dekat dengan Islam, courtesy of islami.co

Dalam memahami pemikiran Bung Karno mengenai berbagai isu keislaman, terdapat dua cabang pemikiran yang dapat ditinjau mengenai sikap Bung Karno terhadap Islam. Kedua cabang tersebut adalah seputar amaliyah (ibadah) dan konsep pemikiran.

Kehidupan masyarakat Islam di Nusantara pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 tak berbeda jauh dengan kehidupan Islam di belahan dunia lain. Ia dijangkiti oleh penyakit TBC (takhayul, bidah, churafat). Praktek-praktek keagamaan telah ditambah-tambahi dengan keyakinan lokal, membuat ritual keagamaan Islam tak lagi murni.

Selain itu, cara berpikir yang kolot, jumud, dan konservatif, mewarnai pemikiran umat Islam kala itu. Segala yang datang dari Barat, oleh mereka, dicap kafir dan haram untuk digunakan. Ketika orang-orang Inggris, Belanda, Perancis, Amerika, sedang berlomba-lomba melakukan inovasi dan menghasilkan berbagai penemuan baru, kaum Muslim masih menyibukkan diri dengan dasar hukum bagi seseorang yang mengendarai kendaraan bermotor yang didatangkan dari Eropa.

Dalam situasi seperti ini, Bung Karno tergerak untuk melakukan gebrakan. Semasa ditahan di Penjara Sukamiskin, ia mengakui sudah banyak melahap buku-buku keagamaan, meski tidak sampai mendalam.

Soekarno bersama Haji Agus Salim, courtesy of Megawati Institute

Momentum bagi Soekarno untuk menyumbang gagasan kepada isu-isu keislaman baru muncul ketika dirinya dibuang ke Ende. Di tempat tersebut, ia melakukan korespondensi dengan Ahmad Hassan, seorang tokoh Persatuan Islam (Persis).

Bung Karno kagum akan kegigihan Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Amir, mempropagandakan modernisme Islam yang berusaha membuka kembali pintu ijtihad, pintu yang selama berabad-abad telah tertutup, membuat cara berpikir kaum Muslimin mandeg. Peninjauan kembali akan kesesuaian tafsir-tafsir keagamaan dengan kondisi aktual menjadi topik yang sering diperbincangkan Bung Karno pada Ahmad Hassan.

Baca Juga  Penciptaan Kekuatan Politik Islam Indonesia

Namun, perbincangan tersebut tidak serta merta membuat pemahaman antara mereka selalu seirama. Dalam beberapa hal, Ahmad Hassan, yang terkenal sebagai seorang pendebat ulung, bersama dengan tokoh-tokoh modernis Islam lain, masih berpegang teguh pada dalil-dalil naqli yang harus diterima dan dikerjakan tanpa mempertanyakannya. Sebaliknya, Bung Karno adalah seorang Muslim yang dapat dikatakan terlalu bebas, menggunakan akal dan rasio dalam memahami teks-teks keagamaan.

Ia memandang bahwa segala dalil, baik itu aqli maupun naqli, harus ditinjau menggunakan akal. Apabila tidak sesuai akal, maka dalil dapat ditolak atau diubah. Bung Karno mengkritik  kaum modernis Islam di Indonesia, dalam hal ini Muhammadiyah dan Persis, sebagai kaum muda Islam yang belum 100% berpikir rasional.

Mohammad Natsir, tokoh Islam Indonesia yang mengkritik pemikiran Soekarno dalam majalah Pandji Islam, courtesy of Republika.id

Cara berpikir Soekarno yang demikian memancing reaksi dari beragam kalangan, termasuk dari Mohammad Natsir muda. Ketika itu, Natsir, yang juga merupakan murid Ahmad Hassan, menulis berbagai artikel di majalah Pandji Islam yang berisi bantahan terhadap pemikiran Sukarno. Ia menganggap pemikirannya akan Islam merupakan pemikiran yang terlalu bebas.

Perbincangan seputar Islam dan negara juga tak lepas dari sorotan Bung Karno. Ia membuat tulisan, yang demikian panjang, berjudul Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara?. Tulisan ini diterbitkan pada majalah Panji Islam tahun 1940. Dalam artikel tersebut, Bung Karno menguraikan panjang lebar penyebab negara Turki melakukan perubahan radikal, dari kesultanan-kekhalifahan menjadi sebuah negara berbentuk republik.

Umumnya, kaum Muslim di seluruh dunia mengutuk keputusan Mustafa Kemal Attaturk yang menghapuskan kekhalifahan pada 3 Maret 1924, yang kemudian diikuti dengan pemisahan agama dari negara pada 10 April 1928. Namun, Bung Karno memiliki pandangan yang berbeda mengenai persoalan ini. Ia berpendapat bahwa apa yang dilakukan Kemal Attaturk adalah sebagai suatu revolusi yang baik, yang ditempuh untuk melepaskan Turki dari keterpurukan.

Baca Juga  Pertobatan Ekologis, Sebuah Seruan untuk Kembali Menyayangi Alam

Turki, yang sebelumnya dijuluki De Zieke Man van Europe (orang sakit dari Eropa), hendak dibawa oleh Kemal Attaturk ke arah kemajuan. Bung Karno setuju dengan hal itu. Bahkan, ia mengutip beberapa tulisan Halide Edib Hanoum, seorang pujangga Turki, yang mengatakan bahwa pemisahan agama dari negara bukan merupakan yang hendak memberangus agama, tetapi mencoba memerdekakan negara. Selama agama masih “diasuh” oleh negara, ia hanya akan dijadikan alat pukul oleh pemerintah yang sedang berkuasa.

Meski pemikiran Bung Karno berbeda dengan kaum Muslim pada umumnya, beliau tidak melupakan identitasnya sebagai seorang Muslim. Beberapa usaha pernah dilakukanya terhadap Islam, seperti merintis pembangunan Masjid Istiqlal, dan mengembalikan fungsi Masjid Jami’ul Muslimin di Rusia. Masih banyak usaha yang dilakukan Bung Karno untuk Islam, baik sebagai pribadi maupun sebagai pemimpin bangsa.

Referensi

[1] Cindy Adams. (2018). Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Bung Karno.
[2] Gun Gun Gunadi. (2020). “Sukarno dan Islam”. Historia. https://historia.id/historiografis/articles/sukarno-dan-islam-6ljRg/page/1, diakses 13 Maret 2024.
[3] Mohammad Natsir. 2008. Capita Selecta. Jakarta: Yayasan Bulan Bintang.
[4] Panitia 100 Tahun Bung Karno. (2001). Bung Karno dan Wacana Islam. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *