Sebagai ideologi, eksistensi Pancasila telah diakui oleh masyarakat Indonesia. Sejak duduk di bangku sekolah dasar dan menengah, masyarakat Indonesia sudah diajarkan oleh guru Pendidikan Pancasila, bahwa Pancasila merupakan sebuah ideologi yang melandasi keberadaan negara Indonesia.
Kondisi ini membuat mereka enggan untuk mempertanyakan grondslag (dasar atau sebab-musabab) penetapan Pancasila sebagai ideologi. Mereka memilih untuk sumuhun dawuh (menerima begitu saja), tanpa terpikir untuk mengkritisnya lebih lanjut. Ini, menurut hemat saya, menjadi petunjuk bahwa Pancasila sebagai ideologi telah menjadi dogma yang mengakar dalam pikiran masyarakat Indonesia.
Bagi mereka, keberadaan Pancasila sebagai ideologi merupakan sesuatu yang sahih dan tidak dapat diganggu gugat. Siapa pun yang berani menggugat status tersebut, akan dianggap sedang melakukan tindakan subversif, ingin menciptakan makar terhadap kekuasaan yang sah.
Hal tersebut memantik pertanyaan, apa benar Pancasila merupakan sebuah ideologi? Jika bukan, lalu apa Pancasila itu?
Apakah Pancasila merupakan Ideologi?
Meski istilah ideologi sudah umum didengar masyarakat, definisi mengenai ideologi masih memiliki ambiguitas. Ini terjadi karena definisi mengenai ideologi berdimensi jamak, seperti halnya kita mendefinisikan politik, filsafat, sejarah, dan sebagainya.
Jika dilacak dari asal-usulnya, istilah ideologi pertama kali dikemukakan oleh Antoine Louis Claude Destutt de Tracy (1754-1836), seorang pemikir Perancis. Ia mengungkapkan istilah tersebut adalah buku berjudul Elements of Ideology (1817-1818).
Menurut F. Budi Hardiman, dalam buku Pemikiran Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Destutt de Tracy memahami ideologi sebagai kajian mengenai ide-ide, yang terungkap dalam bahasa dan penalaran. Jika mengacu pada definisi ini, ideologi mengalami peyorasi di zaman kita sekarang.
Mengutip Felix Tawaang dan Hasyim Ali Imran dalam artikel Ideologi dan Wacana Media, pada awalnya, de Tracy menginterpretasikan ideologi sebagai konsep konkret. Namun, di era kekuasaan Napoleon Bonaparte, ideologi berubah menjadi konsep abstrak.
Akibatnya, ideologi tidak lagi memiliki definisi tunggal. Ideologi didefinisikan secara berbeda-beda. Secara umum, ia dipahami sebagai doktrin yang merangsang berkembangnya inspirasi individual maupun komunal, yang mengarah pada gerakan massa.
Melihat definisi ideologi yang plural, Ambrosius Emilio dalam artikel Antinomi Pancasila: Antara Ideologi dan Bukan Ideologi, mengatakan bahwa sulit untuk mereduksi ideologi menjadi definisi tunggal, dan menyampingkan definisi lain. Dalam kaitannya dengan Pancasila, Emilio menyebutnya sebagai sebuah dualitas. Artinya, Pancasila dapat dikatakan sebagai ideologi sekaligus bukan ideologi.
Jika mengacu pada definisi ideologi yang dicetuskan de Tracy, Pancasila dapat dikatakan sebagai ideologi. Namun, jika mengacu pada definisi Karl Marx, bahwa ideologi adalah kesadaran palsu, Pancasila tidak dapat dikatakan sebagai ideologi.
Menurut hemat saya, argumen Emilio mengenai Pancasila tampak moderat. Namun, kita tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan mengenai status Pancasila. Akan sangat aneh jika ia disematkan dalam dua predikat yang bertentangan, yakni sebagai ideologi dan sekaligus sebagai bukan ideologi.
Melihat Pancasila dari Sisi Berbeda
Status Pancasila yang terombang-ambing antara ideologi dan bukan ideologi, mendapatkan pandangan dari A.M. Hendropriyono. Dalam tulisan berjudul Pancasila Bukan Ideologi, Hendropriyono mengemukakan bahwa pada mulanya, Pancasila memang dipahami sebagai ideologi. Ia dipahami sebagai sebuah cita-cita bagi bangsa Indonesia yang majemuk untuk bersatu, demi keamanan dan kesejahteraan bersama.
Pada mulanya, Pancasila menjadi ideologi tertutup. Ia dipahami sebagai sebuah kebenaran tunggal, tidak menerima pemikiran-pemikiran dari luar. Karena ia menciptakan pemerintahan yang otoriter, Pancasila dirubah menjadi ideologi terbuka sejak 1986.
Dalam artikel tersebut, Hendropriyono melihat bahwa istilah ideologi semakin sirna. Ia seringkali dijadikan kamuflase oleh kekuasaan yang otoriter dan diktator. Maka dari itu, ia menilai bahwa Pancasila bukan lagi sebuah ideologi, melainkan sebuah filsafat dari bangsa Indonesia yang menjadi orientasi dasar kehidupan negara dan masyarakat.
Senada dengan Hendropriyono, Rocky Gerung juga mengatakan Pancasila merupakan filsafat atau falsafah negara. Dalam sebuah acara televisi bertajuk Q&A Bersama Rocky Gerung, ia mengatakan bahwa Sukarno tak pernah menyebut Pancasila sebagai ideologi. Ia menyebut Pancasila sebagai “falsafah bangsa dan negara”.
Berdasarkan pemberitaan yang diterbitkan Tempo.co, Rocky Gerung mengutarakan alasan lain mengapa Pancasila tidak dapat disebut sebagai ideologi. Alasan tersebut, ungkap Rocky, adalah bahwa ideologi harus utuh dan tidak memiliki pertentangan di dalamnya. Menurutnya, Pancasila memiliki pertentangan, yakni antara sila pertama dan kedua.
Bagi Rocky Gerung, sila kedua merupakan kritik terhadap sila pertama. Sila pertama menganggap bahwa sumber kebaikan berasal dari langit, sementara menurut sila kedua, kebaikan dapat diraih tanpa harus menengadah ke langit.
Pandangan bahwa Pancasila merupakan falsafah alih-alih ideologi juga diutarakan Franz Magnis Suseno. Dilansir melalui Nalar Politik, Romo Magnis mengatakan bahwa Sukarno justru menganggap Pancasila sebagai payung yang menaungi berbagai ideologi, seperti sosialisme, antikapitalisme, dan antiimperialisme.
Menurut Romo Magnis, Pancasila mulai disebut ideologi pada zaman Orde Baru. Saat itu, Pancasila digunakan sebagai alat untuk menghantam berbagai ideologi yang dianggap berbahaya. Ia juga dijadikan tameng oleh penguasa, agar tidak ada yang berani menentangnya.
Melihat pandangan-pandangan di atas, dapat dikatakan bahwa posisi Pancasila sebagai ideologi merupakan hal yang kompleks dan enigmatik. Sulit bagi kita untuk memutlakkan pandangan bahwa Pancasila itu ideologi, atau Pancasila bukanlah sebuah ideologi.
Namun, melalui tulisan ini, saya dapat mengatakan bahwa pandangan bahwa posisi Pancasila sebagai ideologi perlu dikaji ulang. Ia mesti dilihat melalui kacamata yang kritis, agar tidak tampak sebagai sebuah dogma yang menutup diri dari berbagai pemikiran alternatif.
*Tulisan ini pernah diterbitkan dalam Nalar Politik dengan judul yang sama pada 14 Juni 2024.