Pada Kamis, 17 Februari 2022 lalu, di Amsterdam diselenggarakan peluncuran hasil penelitian berjudul ”Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia, 1945-1950”.
Hasil penelitian yang judul aslinya tak memuat kata ”kemerdekaan” sebelum berinteraksi dengan para peneliti Indonesia itu menyimpulkan sebagai berikut:
”Kekerasan ekstrem militer Belanda dilakukan secara meluas dan penuh dengan kesengajaan. Kekerasan tersebut pun mendapat pembiaran baik dari segi hukum, militer, dan yudisial. Dalih pembiaran tersebut adalah niat dan upaya pemerintah Belanda lewat pelbagai cara untuk mengalahkankan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.”
Kesimpulan ini tentu saja menyentak banyak pihak di negeri Belanda. Sebagai respons, Pemerintah Belanda melalui Perdana Menteri Mark Rutte pada hari yang sama langsung meminta maaf yang mendalam kepada Indonesia berkenaan dengan tindakan brutal militer Belanda di masa lalu itu.
Hal ini melengkapi permintaan maaf raja Belanda Willem Alexander ketika berkunjung ke Indonesia hampir dua tahun lalu, dan Menteri Luar Negeri Belanda Bert Koenders pada 2016 yang merespons kasus pembunuhan di Rawagede.
Tentu saja tidak semua pihak di Belanda dapat menerima hasil penelitian terakhir itu. Paling tidak kelompok veteran telah menyatakan bahwa hasil penelitian itu sebagai ”kesimpulan yang tidak berdasar” sehingga menjadikan para veteran Belanda yang pernah bertugas di kepulauan Indonesia pada saat itu tersangka secara kolektif.
Bukan hal yang baru
Dalam cara pandang sejarah Indonsesiasentris, secara prinsip sebenarnya tidak ada kebaruan dari hasil penelitian itu. Hampir semua hal yang ada dalam kesimpulan itu dapat ditemukan dengan mudah dalam buku-buku sejarah di Indonesia, baik sebagai hasil kajian ilmiah maupun berbagai biografi dan kesaksian dari mereka yang mengalami peristiwa itu.
Berbagai publikasi yang dihimpun dari para veteran yang berasal dari berbagai tempat di seluruh Indonesia, misalnya, telah membeberkan fakta kekerasan Belanda yang sama.
Hasil penelitian yang dilaporkan itu hanya menambah lebih banyak fakta bagi narasi kebenaran yang sudah lama diyakini bangsa Indonesia tentang kekerasan ekstrem Belanda sepanjang 1945-1949, ketika menduduki Kepulauan Indonesia untuk membangun kembali kekuasaan kolonialnya.
Berbeda dengan Indonesia, kesimpulan hasil penelitian itu mengubah secara signifikan cara pandang penulisan sejarah tentang periode ini oleh para ilmuwan Belanda. Selama ini, bukan hanya para veteran perang Belanda dan Pemerintah Belanda yang secara resmi memungkiri hal tersebut, melainkan juga cukup banyak para ilmuwan Belanda dan ilmuwan asing lainnya memiliki cara pandang yang sama.
Keberadaan beberapa kajian dan pengakuan para veteran Belanda yang menunjukkan adanya ketidakwajaran dalam berbagai operasi militer yang terjadi, tak membuat pemerintah dan para ilmuwannya secara umum mengakui adanya kekerasan yang disengaja itu.
Sampai akhirnya Remy Limpach hadir dengan disertasi yang kemudian diterbitkan sebagai buku yang menyimpulkan adanya kekerasan struktural yang dilakukan tentara Belanda sehingga memicu pemerintah dan parlemen Belanda menyetujui penelitian yang hasilnya baru dilaporkan itu.
Sebelum itu, sebagai pengalih dari isu kekerasan yang dilakukan militer Belanda, berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan Belanda dan asing lainnya mengerucut pada tema lain berupa penderitaan dan kekerasan yang dialami berbagai kelompok sosial segera setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, yang didasarkan pada konsepsi kemanusiaan universal saat ini.
Pada penelitian-penelitian awal tentang periode yang dikenal dalam historiografi Belanda sebagai ”bersiap” itu, perhatian lebih banyak tertuju pada penderitaan dan kekerasan yang dialami orang-orang Eropa dan Indo-Eropa karena tindakan penduduk Bumiputra sepanjang akhir 1945 sampai 1946.
Dalam perkembangannya, penelitian juga membahas konteks yang sama yang dialami oleh komunitas lainnya, terutama komunitas Tionghoa, elite Bumiputra, dan semua kelompok, baik asing maupun Bumiputra yang dianggap bekerja sama dengan Belanda dan anti-Republik Indonesia.
Dalam konteks itu dalam cara pandang kesejarahan Belanda, pasukan Sekutu dan kemudian Belanda-NICA dihadirkan sebagai juru selamat yang mampu mengendalikan suasana dan keamanan para perusuh.
Sementara Pemerintah Republik Indonesia dianggap tak menjalankan fungsinya dalam mengelola sebuah pemerintahan yang teratur sehingga tak mampu menciptakan keteraturan dan keamanan. Persepsi sama juga ditujukan pada Tentara Keamanan Rakyat/Tentara Republik Indonesia (TKR/TRI) sebagai tentara resmi Republik Indonesia, laskar, dan berbagai kelompok pemuda bersenjata pendukung Republik Indonesia.
Semua diposisikan sebagai tertuduh dan penyebab dari penderitaan serta kekerasan yang dialami oleh berbagai kelompok sosial tadi, tanpa memerhatikan kompleksitas dari sebuah proses perubahan rezim dan revolusi yang terjadi di Indonesia sebagaimana yang juga terjadi di tempat-tempat lain.
Hal yang terakhir inilah yang masih terselip dalam penelitian terbaru itu. Aspek yang kurang mendapat perhatian dari media, yang lebih terpaku pada kekerasan ekstrem tentara Belanda di masa lalu dan permohonan maaf Pemerintah Belanda di masa kini.
Padahal, salah satu bagian dari penelitian itu menyimpulkan kekuatan bersenjata Indonesia juga bertanggung jawab terhadap pembunuhan terhadap ribuan penduduk sipil, terutama Indies, Tionghoa, dan berbagai kelompok sosial di kalangan penduduk Bumiputra sendiri yang diposisikan oleh para pendukung Republik Indonesia sebagai liyan.
Hal ini dengan cepat telah dimanfaatkan oleh politisi sayap kanan seperti Geert Wilders untuk mengemukakan pendapatnya ”di mana permintaan maaf dari pihak Indonesia atas kekerasan mereka terhadap Belanda dan Bersiap?”
Agenda berikutnya
Ketika sebagian merasa lega atau bahkan bergembira di Indonesia, tidak banyak pihak yang menyadari konsekuensi ikutan dari hasil penelitian ini. Perubahan sikap Pemerintah Belanda dan perubahan paradigmatik para sejarawan Belanda diyakini akan memiliki dampak berantai.
Baik pemerintah maupun masyarakat Indonesia seharusnya merespons semuanya tidak secara emosional, melainkan dilakukan dengan kecerdasan, kedewasaan, dan kearifan intelektual, politik, serta tentu saja juga kultural, bukan dengan prinsip aji mumpung untuk dapat keuntungan finansial baik kolektif ataupun personal.
Kolonialisme dan imperialisme Belanda yang panjang paling tidak masih meninggalkan kerikil dan sekaligus duri yang tajam bagi kekinian Indonesia dan masa depan. Persoalan Papua dan suku Tionghoa sampai kini secara obyektif harus diakui merupakan warisan kolonialisme dan imperialisme Belanda.
Begitu juga noda yang terbentuk dari keterlibatan Indonesia di Timor Leste, tidak hanya karena kegagapan Indonesia berhadapan dengan persoalan Perang Dingin. Melainkan, juga tidak dapat dipisahkan begitu saja dari konflik dan persaingan Belanda dengan Portugis beratus tahun yang lalu, dalam kerangka besar imperialisme dan kolonialisme Barat di kepulauan Indonesia.
Sementara itu, berbagai fenomena yang terjadi di Belanda, paling tidak sejak 10 tahun terakhir ini, menunjukkan semakin menguatnya peran politik kelompok kanan. Ada kesan yang sangat kuat biarpun terkesan konspiratif, terdapat upaya sistematis untuk membebaskan Belanda dari beban sejarah imperialisme dan kolonialisme, terutama yang berkaitan dengan Indonesia.
Selain agenda tersembunyi permohonan maaf, pengembalian benda cagar budaya Indonesia dari Belanda bukan tidak mungkin juga merupakan bagian dari upaya mengubah kanon sejarah nasional Belanda. Pengembalian itu dipastikan juga secara pelan-pelan akan dapat menghapus memori bangsa Belanda tentang jejak kelam yang pernah dilakukan para nenek moyang mereka di kepulauan Indonesia.
Oleh sebab itu, agenda pengembalian benda cagar budaya itu seharusnya tidak hanya dilihat dari hak Indonesia untuk mengambil kembali pusaka negerinya, terutama benda-benda yang terbukti diambil dengan melanggar asas-asas hukum berdasarkan penelitian ilmiah. Melainkan juga dilakukan secara selektif dengan memahami dampak dari diskursus rekayasa yang ingin membebaskan Belanda di masa depan dari beban baik historis maupun psikologis dan finansial, dan pengalihan beban kepada bekas koloni.
Sebagai bekas koloni dengan benda cagar budaya yang paling banyak dibawa ke Belanda, kebijakan pengalihan beban yang dibungkus program repatriasi itu dipastikan akan membebaskan Belanda, tetapi membebani Indonesia di masa depan.
Biarpun terkesan spekulatif di sisi yang lain, keberadaan kelompok Republikan di Belanda yang menguat akhir-akhir ini bukan tidak mungkin juga akan memanfaatkan hasil penelitian itu untuk memperkuat sikap anti monarki mereka.
Ketika historiografi digunakan untuk memburu penjahat perang, bukan tidak mungkin pengakuan terhadap adanya kekerasan sistematis yang sengaja dilakukan tentara Belanda di Indonesia pada 1945-1949 juga akan bermuara pada ruang paling sensitif dalam kehidupan politik monarki konstitusional Belanda.
Terlepas dari semua kemungkinan di atas dan Belanda telah menyatakan permohonan maaf, Indonesia tetap perlu memiliki agenda ke depan untuk terus memiliki sumber daya sejarawan yang bermutu dalam jumlah yang banyak dengan keahlian tentang periode keberadaan Belanda di kepulauan Indonesia sejak akhir abad ke-16 sampai dengan usahanya membangun kembali kekuasaan kolonialnya sepanjang 1945-1949.
Padahal, salah satu kelemahan dari perspektif historiografi Belandasentris, proses yang terjadi di Indonesia pada periode 1945-1949 dipisahkan dari sejarah panjang kolonialisme dan imperialisme Belanda.
Akan tetapi, dari pengalaman pribadi dan penelusuran atas jejak proses studi lanjut dan penelitian sejarah Indonesia tentang periode kolonial oleh sejarawan Indonesia, hampir sebagian besar inisiatif dan pembiayaan sangat minim datang dari Indonesia.
Ketergantungan kepada pihak asing khususnya Belanda, ternyata sangat besar. Hampir-hampir tidak ada kepedulian baik negara maupun masyarakat yang terstruktur dengan baik serta berkelanjutan untuk studi lanjut dan penelitian para sejarawan Indonesia yang mengkaji periode 1945- 1949, apalagi tentang periode kolonial Belanda sebelumnya.
Oleh karena itu, setelah Belanda meminta maaf, sudah saatnya Indonesia mau berinvestasi jika benar-benar ingin memiliki sejarawan yang benar-benar mengetahui dan memahami sejarah Indonesia yang berkaitan dengan Belanda, terutama sejarah Indonesia periode 1945-1949.
Sumber:
Bambang Purwanto. “Setelah Permintaan Maaf Belanda” dalam Kompas, 16 Maret 2022.