Judul Buku | Matinya Sokrates |
Penulis | Plato |
Penerbit | Narasi x Pustaka Promethea |
Kota Terbit | Yogyakarta |
Tahun Terbit | 2020 |
Halaman | vi + 110 halaman |
ISBN | 978-623-7586-35-7 |
Kematian adalah hal yang menakutkan bagi sebagian besar orang. Sekadar membahas kapan sang maut akan menjemput, terasa sulit bagi mereka. Mereka memilih untuk menghindari pembahasan mengenai kematian, atau pembahasan mengenai kapan mereka akan menjalaninya.
Di sisi lain, kelompok orang yang tercerahkan melihat bahwa pembicaraan mengenai kematian merupakan hal yang sangat penting. Bagi mereka, kematian tak bisa dihindari, dan dengan membicarakannya, kita dapat mengenalnya lebih dekat. Mereka adalah orang-orang yang membicarakan kematian dengan antusias.
Salah seorang dari mereka, kelompok yang antusias berbicara kematian, adalah Sokrates. Melalui sebuah dialog Phaedo yang ditulis Plato, Sokrates berbicara secara mendalam mengenai kematian. Dalam dialog ini, yang diterjemahkan sebagai Matinya Sokrates di Indonesia, Sokrates berdialog dengan rekan-rekannya mengenai kematian, menjelang eksekusi mati yang akan ia jalani. Sokrates dijatuhi hukuman mati atas tuduhan meracuni pikiran generasi muda, dengan metode eksekusi meminum racun cemara.
Kendati Sokrates tahu bahwa dirinya akan mati, ia tak merasa gentar sedikit pun. Ia masih sempat melayangkan humor untuk menghibur teman-temannya yang sebentar lagi akan ia tinggalkan. Bersama Phaedo, Apollodorus, Simmias, Cebes dan Crito, Sokrates berdialog secara intens mengenai masalah-masalah filosofis, sebelum akhirnya meninggalkan dunia yang fana.
Dialog tentang Bunuh Diri
Pada awal dialog Phaedo atau Matinya Sokrates, Sokrates menyinggung mengenai persoalan bunuh diri. Menurutnya, manusia seperti seorang narapidana yang tidak memiliki hak untuk melarikan diri dan membuka paksa pintu penjara. Sebagai seorang narapidana, ia berkata bahwa seseorang hendaknya tidak mengakhiri hidupnya sendiri, sebelum Tuhan memanggilnya.
Sokrates juga menganalogikan orang yang bunuh diri seperti seekor sapi dan keledai peliharaan. Sang pemilik sapi dan keledai tentunya akan marah, jika binatang peliharannya tersebut berinisiatif untuk mati sendiri tanpa keinginan pemiliknya. Demikian pula Tuhan, Ia akan marah bilamana seseorang mengakhiri hidup tanpa seizin-Nya.
Meski analogi tersebut terasa kurang cocok, kita dapat mengetahui bahwa Sokrates memandang bunuh diri sebagai hal yang negatif. Hal ini menegaskan bahwa seburuk apapun kehidupan yang ada, ia tetap layak untuk dijalani. Dalam ajaran agama, seperti Islam, bunuh diri termasuk dosa besar dan pelakunya diancam masuk Neraka. Sudah seyogyanya seseorang menghindari tindakan bunuh diri.
Kematian Tidak Perlu Ditakuti
Sokrates mengatakan bahwa orang yang memiliki semangat filsafat, mustahil takut akan kematian. Seorang filsuf sejati, menurutnya, tidak boleh takut akan kematian. Justru, ia seharusnya menyambut tibanya sang maut dengan sukacita. Argumen ini didasarkan dengan landasan berpikir bahwa seseorang akan menerima kebaikan terbesar di alam lain setelah kematiannya, yang tidak didapatkan di dunia ini.
Lebih lanjut, Sokrates menegaskan bahwa seorang filsuf hendaknya tidak terlalu tertarik pada kenikmatan jasmaniah. Hal ini tidak berarti bahwa seorang filsuf harus menolak segala bentuk kenikmatan jasmaniah secara total. Sokrates hanya menganjurkan bahwa kenikmatan rohani harus menjadi tujuan utama untuk dicapai, alih-alih kenikmatan jasmaniah seperti makan, minum, dan memiliki banyak uang serta perhiasan.
Dalam pandangan Sokrates, orang yang takut akan kematian adalah mereka yang terlalu mencintai tubuhnya. Ketakutan orang akan kematian juga menunjukkan bahwa mereka pecinta uang dan kekuasaan, bukan pecinta kebijaksanaan. Sokrates berharap bahwa dalam kematian, ia akan bertemu dengan orang-orang yang telah tiada, yang lebih baik daripada orang-orang yang akan ia tinggalkan.
Pada akhirnya, Sokrates mengatakan bahwa takut akan kematian merupakan hal yang irasional. Sepanjang dialog, Sokrates dan teman-temannya terlihat berupaya membuat kematian tampak lebih ceria. Bahkan, Sokrates sendiri, yang akan menghadapi eksekusi mati, tampak seperti orang yang akan hidup 1000 tahun lagi. Perkataannya dibuktikan dengan ketenangannya menghadapi hal yang ditakuti sebagian besar manusia.
Dialog Tentang Keabadian Jiwa
Hal menarik yang tak luput dari dialog ini, adalah kemungkinan bahwa jiwa tidak akan hancur bersama tubuh saat kematian tiba. Pandangan ini menjadi doktrin dalam berbagai agama, seperti Islam dan Kristen, yang menyatakan bahwa jiwa orang yang telah mati tetap abadi di Akhirat. Namun, dalam Matinya Sokrates, keabadian jiwa masih bersifat hipotesa.
Sokrates dan peserta dialog lainnya sepakat bahwa jiwa manusia telah eksis, bahkan sebelum tubuhnya diciptakan dan dilahirkan. Meski begitu, mereka kurang mampu untuk membuktikan apakah jiwa itu abadi atau tidak. Dialog pun terasa menggantung dan tidak mencapai kesimpulan yang memuaskan.
Buku Matinya Sokrates menjadi salah satu karya klasik yang wajib dibaca oleh siapa pun yang tertarik pada dunia filsafat. Sokrates, pada saat-saat terakhirnya, telah memberikan banyak pelajaran berharga tentang kehidupan dan kematian. Kematian, sebagaimana kehidupan, harus diterima tanpa rasa takut. Pada dasarnya, hidup adalah belajar untuk berani menghadapi kematian.
*Versi awal tulisan ini pernah diteritkan di IBTimes.ID (ibtimes.id) dengan judul Sokrates: Manusia Tidak Boleh Takut Akan Kematian! pada 5 Februari 2024.