Teknologi, Pemantik Tak Terduga Semangat Nasionalisme di Hindia Belanda

Judul BukuEngineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni
PenulisRudolf Mrázek
PenerbitYayasan Obor Indonesia
Kota TerbitJakarta
Tahun Terbit2006
Halamanxxi + 442 halaman
PenerjemahHermojo

Perkembangan nasionalisme, terutama di Indonesia, seringkali dipahami sebagai perkembangan organisasi politik. Mereka, kaum nasionalis dan kaum religius, mengutarakan gagasan mengenai keindonesiaan, kebangsaan, dan kewarganegaraan. Mereka berselisih dengan negara kolonial, ditangkap, dipenjara, dan dibatasi hak berbicara mereka.

Namun, apakah pembaca pernah membayangkan nasionalisme melalui perkembangan teknologi? Pertanyaan ini berusaha dijawab Rudolf Mrázek melalui buku Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni. Dengan melihat bagaimana masuknya teknologi barat mempengaruhi gaya hidup masyarakat bumiputra dan Eropa di Hindia Belanda, Mrázek menemukan sebuah fakta menarik yang perlu kita pahami bersama.

Menurut Mrázek, masuknya teknologi barat ke Hindia Belanda mempengaruhi gaya hidup masyarakatnya. Masyarakat bumiputra, yang semula memiliki penguasaan teknologi serta minat mengenai teknologi yang minim, menjadi kelas menengah. Mereka menikmati berbagai teknologi yang masuk tersebut.

Sebagai contoh, masuknya jaringan radio di Hindia Belanda membangkitkan gelora masyarakat bumiputra akan akses informasi yang lebih cepat. Setiap masyarakat bumiputra berusaha memiliki radio. Beberapa di antara mereka, bahkan, memiliki stasiun radio amatir dengan siaran kebudayaan-kebudayaan lokal dan lagu-lagu Eropa.

Kondisi ini tidak digemari oleh orang-orang Eropa. Mereka, yang merasa diri superior secara kebudayaan, berusaha membatasi akses kebudayaan kepada masyarakat bumiputra. Melalui sebuah terbitan, H. F. Tillema berusaha meyakinkan pembaca akan nilai penting “hidup sehat”. Melalui jalan umum yang disiram dan tanpa debu, rumah dengan sistem saluran air dan MCK yang bersih, serta bahan bangunan yang kokoh dan kuat, menciptakan sebuah imaji “kelas Eropa” bagi masyarakat Eropa dan Indo-Eropa di Hindia Belanda.

Baca Juga  Napas Islam dalam Historiografi Indonesia

Meski begitu, ajakan Tillema tidak menghalangi orang-orang bumiputra, terutama mereka yang mampu, untuk membangun rumah mereka mengikuti “model hidup sehat”. Mereka menghiasi rumah mereka dengan pernak-pernik serba kolonial, layaknya orang-orang Eropa yang menata dekorasi rumah mereka seperti museum koloni yang hidup. Mereka juga meniru kebiasaan masyarakat barat yang masuk ke kehidupan mereka, seperti menaiki kendaraan bermotor, kereta api, dan mengirim pesan melalui telegram.

Penetrasi kebudayaan dan teknologi barat di Hindia Belanda mendorong sebuah semangat kolonialisme, seperti yang digambarkan oleh Mas Marco Kartodikromo. Melalui tulisan-tulisannya, terutama novel Student Hidjo, Kartodikromo mengajak masyarakat bumiputra untuk “menjadi masyarakat Hindia” melalui saluran kebudayaan. Jika sarana politik dan sosial sulit dicapai oleh mereka, diharapkan sarana-sarana kebudayaan dapat mendorong mereka setara dengan masyarakat Eropa dan Indo-Eropa.

Buku Engineers of Happy Land merupakan buku yang menarik untuk dibaca. Selain pendekatan yang unik dalam melihat tumbuhnya nasionalisme, buku ini juga disajikan dengan gaya bahasa yang sangat “sastrawi”. Pendekatan Mrázek kepada sastra dan filsafat membuat buku ini terasa spesial ketika dibaca lembar demi lembar.

Meski begitu, buku ini memiliki sebuah kekurangan mendasar. Edisi Indonesia, yang diterjemahkan oleh Hermojo dan diterbitkan Yayasan Obor Indonesia, diterjemahkan secara kaku dan berantakan. Banyak kalimat dan paragraf, yang benar-benar puitis dan bermakna dalam versi bahasa Inggris, menjadi kacau dan tak beraturan ketika diterjemahkan. Jiwa seorang Mrázek terasa hilang dalam buku ini. Seandainya buku ini diterjemahkan dengan lebih baik, buku ini dapat menampilkan ide-ide Mrázek dengan lebih utuh.

Terlepas dari kekurangan mendasar tersebut, buku Engineers of Happy Land menjadi buku wajib bagi siapa pun yang ingin mendalami perkembangan teknologi dalam masyarakat koloni. Perkembangan teknologi tidak hanya dimaknai sebagai negara yang “lebih canggih” menguasai negara yang “kurang canggih”, tetapi juga negara yang “kurang canggih” memahami kebudayaan yang masuk dengan cara mereka sendiri, menjadikannya khas wilayah mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *