Setiap 14 Februari, masyarakat dunia, khususnya para remaja, sibuk mempersiapkan diri untuk merayakan Hari Valentine. Hari yang dimitoskan sebagai perayaan kasih sayang ini, bagi para remaja, khususnya di Indonesia, ditandai dengan memberikan hadiah, berupa coklat ataupun bunga, kepada pasangan kekasih tercinta. Momen Valentine juga menjadi waktu yang tepat juga bagi para remaja untuk mengungkapkan perasaan mereka kepada seseorang yang mereka sukai.
Di balik gairah para remaja yang menyatakan kasih sayang pada Hari Valentine, sebagian kalangan masyarakat Indonesia, khususnya umat muslim, ramai-ramai menyatakan penolakan. Melansir sebuah berita yang diterbitkan infopublik.id, puluhan siswa SMA 3 Banda Aceh menolak perayaan hari kasih sayang tersebut. Menurut mereka, perayaan Hari Valentine merupakan sumber kemaksiatan, mengingat banyak remaja akan bersentuhan dengan lawan jenis. Bahkan, dalam banyak kasus, mereka akan melakukan hubungan seksual pranikah.
Lain di Banda Aceh, lain lagi di Surabaya. Mengutip pemberitaan Antaranews, puluhan siswa SMA Mujahiddin menolak perayaan Hari Valentine pada 11 Februari 2016 lalu. Menurut mereka, Valentine tidak sesuai dengan budaya Indonesia, yang menekankan sopan santun dan hubungan yang tidak terbuka dengan lawan jenis.
Penolakan-penolakan tersebut, jika ditarik ke belakang, bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Pada akhir Januari 1988, seperti yang diberitakan harian Bali Post, Zakiah Daradjat, seorang ahli jiwa yang memfokuskan diri pada urusan remaja, menyuarakan keberatan terhadap kegiatan perayaan hari Valentine. Baginya, hari Valentine tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia. Jika perayaan Valentine sampai memasyarakat, ditakutkan anak-anak dan remaja di Indonesia diajak kepada kehidupan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Suara yang dinyatakan Daradjat merupakan gema atas pernyataan Ketua Umum MUI saat itu, K.H. Hasan Basri. Dalam pernyataannya, Hasan Basri menyatakan sikap ketidaksetujuannya terhadap perayaan. Hari Valentine sampai memasyarakat di Indonesia Menurutnya, Valentine tidak sesuai dengan jiwa masyarakat Indonesia, yang saat itu sedang menggalakan pola hidup sederhana. Selain itu, Hasan Basri menyatakan bahwa perayaan Valentine merupakan budaya asing yang dapat membawa dampak negatif bagi perkembangan akhlak bangsa. “Biasanya … dirayakan dengan berpesta dan berhura-hura,” ungkap Hasan Basri, seperti yang ditulis dalam pemberitaan Bali Post pada 30 Januari 1988.
Tambahnya, Hasan Basri berpendapt bahwa perayaan tersebut tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Agama Islam mengajarkan umat untuk memberikan kasih sayang kepada sesama makhluk hidup sepanjang masa. Kasih sayang tidak butuh hari khusus untuk diberikan dan diwujudkan.
Meski perayaan Hari Valentine mendapatkan suara penolakan, remaja Indonesia tetap memperingatinya. Suara penolakan yang dinyatakan Hasan Basri dan Daradjat akhirnya masuk ke telinga orang tuli. Bahkan, di Bali, yang saat itu aktif mengembangkan pariwisata, penginapan menyiapkan perayaan istimewa kepada tamu-tamu mereka, seperti yang diberitakan dalam hrian Bali Post edisi 13 Februari 1988.
Hotel Bali Beach, seperti yang diungkapkan A.A. Gde Agung, sang manager hotel, dan public relation Hotel Pertamina Cottages, Melly St. Ange, kompak bersuara bahwa mereka menyiapkan momen istimewa pada peringatan Hari Valentine 14 Februrari 1988. Momen tersebut, bagi mereka, tidak dimaksudkan untuk menasionalkan hari Valentine. Ia lebih sebagai tindakan untuk mengajak para tamu untuk mengenang masa romantika … tatkala remaja.
Pada tahun-tahun berikutnya, suara penolakan terhadap perayaan Hari Valentine tenggelam. Ia tidak banyak terdengar lagi, apalagi termuat dalam media massa.
Suara berikutnya yang muncul mengenai perayaan Hari Valentine justru menyatakan bahwa perayaan hari Valentine di Indonesia sudah memasyarakat. Hal ini, mengutip harian Kompas edisi 15 Februari 2000, ditandai dengan banyaknya momen istimwa yang terjadi, terutama di kalangan remaja.
Hingga hari ini, suara penolakan terhadap perayaan Hari Valentine lebih banyak muncul dalam masyarakat arus bawah. Kalaupun muncul sebagai sebuah tulisan publik, ia terbit dalam media-media berbasis keagamaan, dengan warna religius. Hal ini, agaknya, memberikan penegasan kepada kita, bahwa perayaan Hari Valentine adalah urusan antara agama A dan agama B.