Judul Buku | Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priayi dan Petani di Keresidenan Madiun Abad XIX |
Penulis | Ong Hok Ham |
Penerbit | Kepustakaan Populer Gramedia |
Kota Terbit | Jakarta |
Tahun Terbit | 2018 |
Halaman | xliv + 374 halaman |
Penerjemah | Oni Suryaman |
Dalam historiografi Indonesia, Madiun identik dengan salah satu kisah kelam dalam sejarah Indonesia. Wilayah tersebut, pada 1948, meletus Peristiwa Madiun, dikenal juga sebagai Pemberontakan PKI Madiun dalam penulisan sejarah Indonesia, ketika Musso dan kekuatan PKI menyatakan diri membentuk negara sosialis di Indonesia dan menentang Kabinet Hatta. Tetapi, adakah kisah lain dari wilayah ini?
Ong Hok Ham (akan ditulis sebagai Onze Ong pada bagian berikutnya tulisan ini) menyatakan Madiun tidak melulu harus identik dengan Peristiwa Madiun. Melalui disertasinya, yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dengan judul Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priayi dan Petani di Keresidenan Madiun Abad XIX, Onze Ong menampilkan sejarah Madiun dengan lebih luas dan dalam.
Dalam buku ini, yang dibagi menjadi lima bab, kisah mengenai hubungan para priayi (dalam hal ini para bupati yang berkuasa di Madiun) dengan para petani, rakyatnya, digulir dan diuraikan. Menurut Onze Ong, kondisi kepemimpinan antara bupati dan masyarakat petani yang ia naungi benar-benar stabil ketika pengaruh Mataram masih kuat. Kekuasaan, yang identik dengan karisma dan genealogis, membentuk sosok seorang bupati menjadi pemimpin yang disegani.
Ketika pengaruh barat, dalam hal ini Belanda, masuk di Madiun pada awal abad ke-19, kondisi tersebut mulai berubah. Belanda, yang mencoba untuk ikut mencampuri urusan agama Islam dan birokrasi lokal, mulai menunjukan taring mereka, mempengaruhi pola kekuasaan bupati. Bupati, yang semula menjadi pemimpin yang disegani oleh rakyatnya, kini menjadi kepanjangan tangan kolonial.
Kondisi tersebut mempengaruhi kehidupan petani Madiun. Mereka, yang semula masih bisa memiliki tanah milik pribadi dan hidup bersama petani numpang, kini mulai dihantam gelombang ekonomi kolonial. Sawah-sawah mereka berubah menjadi tanah komunal, dengan kepemilikan yang dipecah-pecah antara keluarga. Petani pemilik lahan menjadi semakin miskin, memaksa mereka untuk berpindah ke desa lain dan mencari penghidupan yang lebih layak.
Penetrasi ekonomi kolonial juga memaksa para petani Madiun untuk “membeli uang”. Mereka, yang bekerja untuk mendapatkan upah, menggunakan upah tersebut untuk membayar pajak tanah dan keluarga yang luar biasa tinggi. Mereka menjadi semakin tertekan secara ekonomi, membuat mereka menjatuhkan harapan kepada tokoh-tokoh karismatik ataupun mereka yang memiliki kesaktian (cekti).
Para bupati, yang semula dekat dengan petani, menjadi semakin jauh. Petani melihat mereka sebagai agen yang bekerja untuk memeras mereka. Sementara bupati, yang masih menikmati hak-hak lama mereka, dipandang sebagai pemimpin despotik oleh kekuasaan kolonial.
Meski merusak hubungan antara bupati dengan rakyat petani, hubungan kekuasaan antara Belanda dan para bupati berjalan saling mengisi. Menurut Onze Ong, bupati dan Belanda (dalam hal ini pegawai Binnenland Bestuur), bagaikan raja dan nabi. Bupati merupakan penguasa wilayah tersebut, sementara Belanda menjadi nabi yang memberikan nasehat kepada sang bupati.
Meski begitu, tidak selamanya hubungan antara bupati dan Belanda akur. Dalam kasus Brotodiningrat, kekuasaan Belanda menunjukan jari-jari kuasa mereka atas bupati. Residen Donner, yang berkuasa di Keresidenan Madiun dan mendampingi Brotodiningrat, mempreteli jejaring kekuasaan sang bupati, karena ia dituduh menciptakan konspirasi yang merugikan orang-orang Eropa di Madiun.
Meski tuduhan tersebut tidak terbukti di persidangan, dan Snouck Hurgronje dua kali turun tangan untuk menguraikan masalah ini atas nama Batavia, Brotodiningrat tetap dipreteli Belanda. Ia diasingkan ke Padang, Sumatra bagian barat, dan tidak diizinkan untuk kembali ke Madiun. Seluruh pemimpin lokal yang dianggap mendukung Brotodiningrat dicopot atau dijauhkan dari Madiun, termasuk seorang guru agama, Kiai Kasan Ngalwi.
Melalui buku Madiun dalam Kemelut Sejarah, Onze Ong tidak hanya menampilkan pola kepemimpinan bupati, Belanda, dan petani pada abad ke-19 saja. Melihat periode buku ini ditulis sebagai disertasi, pembaca dapat membayangkan hubungan ketiga kelompok ini pada masa Orde Baru, ketika “Belanda” (Jakarta) mempengaruhi para “bupati” (pemimpin lokal) dan “petani” (masyarakat di daerah) untuk melanggengkan program-program yang dirumuskan di pusat.
Kondisi tersebut dapat dilihat dalam kasus Bali pada 1990-an. Mengutip artikel Geroge Junus Aditjondro, “Belanda” mempengaruhi dengan kuat para penguasa lokal di Bali, dalam hal ini Gubernur Oka, sehingga dua megaproyek pariwisata, Garuda Wisnu Kencana dan Bakrie Nirwana Resort, dapat lolos dan dibangun.
Meski segenap elemen masyarakat Bali, mulai dari pemerhati budaya, pemimpin PHDI, hingga akademisi, menolak kedua megaproyek tersebut, “Belanda”, melalui “bupati”, berhasil meredam suara mereka. Pengaruh “Belanda” mulai dapat dikalahkan, ketika masyarakat mulai menggunakan cara lain dalam melakukan perlawanan kepada Gubernur Oka, yakni dengan sanksi adat kasepakang, mengutip Henk Schulte-Nordholt.
Buku Madiun dalam Kemelut Sejarah, oleh Oni Suryaman, berhasil diterjemahkan dengan bahasa yang populer dan ringan. Pembaca yang mulai belajar sejarah Jawa pada abad ke-19 dapat memahami dengan mudah isi buku ini. Selain itu, gaya kepenulisan Onze Ong yang dikenal naratif dan sederhana, membuat buku ini menjadi semakin mudah untuk dipahami.
Selama membaca buku ini, saya tidak menemukan kekurangan dalam buku ini. Madiun dalam Kemelut Sejarah disajikan secara sempurna, mulai dari bentuk, terjemahan, hingga isi buku. Ditambah dengan prolog dan epilog, masing-masing oleh Peter Carehy dan David Reeve, membuat buku ini menjadi semakin memiliki nilai plus.
Membaca Madiun dalam Kemelut Sejarah, mengajarkan pembaca dua hal mendasar. Pertama, bahwa Madiun tidak melulu hanya dikaitkan dengan Peristiwa Madiun pada 1948. Kedua, dan yang utama, membaca buku sejarah perlu dikaitkan dengan kondisi jiwa zaman buku tersebut ditulis. Dalam kasus Madiun dalam Kemelut Sejarah, buku ini tidak hanya mengisahkan bagaimana Madiun pada abad ke-19, tetapi juga kondisi politik dan kultural Indonesia pada masa Orde Baru.