Judul buku | Sukarno’s Guided Indonesia |
Editor | T. K. Tan |
Penerbit | The Jacaranda Press |
Kota Terbit | Brisbane |
Tahun Terbit | 1967 |
Halaman | xi + 196 halaman |
Periode Demokrasi Terpimpin merupakan salah satu sejarah yang “hilang” dalam historiografi Indonesia. Tidak banyak kisah sejarah yang diketahui masyarakat mengenai periode ini. Hanya dua peristiwa besar yang masih dikenang mengenai periode ini dalam pemikiran kolektif masyarakat Indonesia, yakni Konfrontasi dan G30S. Selain kedua peristiwa tersebut, tidak banyak kisah yang dapat diceritakan.
Kekosongan sejarah periode ini, oleh Tjin-kie Tan, berusaha diungkapkan melalui buku Sukarno’s Guided Indonesia. Berbeda dari buku sejarah kebanyakan, buku yang merupakan kumpulan tulisan peneliti asing ini mengungkapkan kondisi ekonomi sejak 1959 hingga awal 1966.
Semenjak Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden pada 1956, otomatis menjadikan Sukarno sebagai pemimpin tunggal, kontrol pemerintah atas ekonomi mulai mengalami perubahan laju. Ekonomi, yang diwujudkan dalam bentuk kerja sama antara Belanda dan Indonesia, berubah ketika berbagai perusahaan Belanda dinasionalisasi pada 1957. Tenaga ahli Belanda, yang ditugaskan untuk mendidik tenaga lokal Indonesia agar bisa meneruskan ekonomi negara, terpaksa meninggalkan Indonesia, seiring dengan gelombang anti-Belanda yang digelorakan masyarakat Indonesia.
Nasionalisasi secara paksa tersebut membuat banyak kursi tenaga ahli kosong. Tenaga ahli Indonesia tidak cukup untuk mengisi kekosongan tersebut. Alhasil, pemerintah, melalui Angkatan Darat, mengisi kekosongan tersebut dengan menempatkan banyak tentara sebagai pemimpin perusahaan yang telah dinasionalisasi.
Kondisi di atas membuat tingkat produksi komoditas mengalami kemacetan. Harapan pemerintah bahwa perusahaan yang telah dinasionalisasi dapat menghasilkan devisa bagi negara melalui ekspor harus pupus karena ketiadaan tenaga ahli, sumber daya, serta korupsi yang menjamur.
Di sisi lain, Sukarno, melalui Ekonomi Terpimpin, mencoba menggerakan ekonomi terpusat demi masyarakat yang adil dan makmur. Alih-alih menciptakan program yang mampu mengatasi permasalahan ekonomi yang ada, Sukarno justru memperparah kondisi yang ada. Inflasi semakin tak terkendali, masyarakat sulit untuk membeli beras, serta pendapatan negara dari ekspor merosot.
Sukarno, menurut Tjin-kie Tan dalam bab Sukarnian Economics, lebih sibuk mengisi perut rakyat yang kosong melalui berbagai jargon politik alih-alih dengan beras. Terlebih, pada 1960-an, menurut R. C. de Iongh dalam bab West Irian Confrontation, pemerintah mengalihkan pinjaman yang diberikan negara asing, terutama Uni Soviet dan Blok Timur, dengan membeli persenjataan untuk merebut Irian Barat dari Belanda. Meski konflik fisik batal berlangsung, dan hanya menjadi perang urat syaraf, kondisi ini memperparah masalah ekonomi yang telah menjangkiti Indonesia sejak 1950-an. Terlebih, keputusan Sukarno tersebut juga membuat pinjaman, terutama dari negara-negara Blok Barat, batal diberikan.
Kondisi tersebut semakin parah dengan ketidakstabilan politik yang terjadi di dalam negeri. K. D. Thomas, dalam bab Political and Economic Instability: the Gestapu and its Aftermath, mengatakan bahwa G30S yang terjadi pada 1 Oktober 1965 menjadi puncak kemerosotan ekonomi yang terjadi. PKI dan PNI/Angkatan Darat lebih mementingkan ambisi politik mereka dibandingkan turun untuk menangani masalah ekonomi yang ada.
Keterpurukan ekonomi, dalam epilog yang ditulis H. W. Arndt, perlu segera disiasati agar tidak semakin berlanjut. Suharto, yang mengambil tampuk kepemimpinan sejak Maret 1966, mulai mengarahkan perhatiannya terhadap masalah ini. Dengan mewujudkan keterbukaan ekonomi dan modal serta pinjaman asing, diharapkan kondisi ekonomi yang sudah parah dapat segara diatasi.
Sebagai buku yang dirilis pada periode akhir Demokrasi Terpimpin, Sukarno’s Guided Indonesia memberikan analisis menarik terhadap kondisi perekonomian Indonesia. Analisis yang disajikan, seperti mengenai perusahaan negara oleh J. A. C. Mackie, wirausaha privat oleh Lance Castles, dan agenda production-sharing dengan perusahaan asing oleh Joyce Gibson, menyajikan data awal yang dapat menerangkan kondisi perekonomian Indonesia secara ringkas.
Buku Sukarno’s Guided Indonesia menjadi bacaan wajib bagi siapapun yang ingin mendalami sejarah ekonomi Indonesia pada paruh pertama 1960-an, sebuah kisah yang jarang dibicarakan masyarakat ketika berbicara mengenai Sukarno, yang saat ini diposisikan sebagai sosok yang hanya dilihat semua kebajikannya, tidak sebagai manusia yang dapat melakukan kesalahan, setiap Bulan Bung Karno.