Indonesia memiliki jejak sejarah seni rupa yang unik, jika dibandingkan dengan perkembangan seni rupa Barat. Seni rupa di dunia Barat cenderung lebih terstruktur dan jelas batas perubahannya, mulai dari klasik, modern, sampai kontemporer. Perkembangan seni rupa yang terjadi di Indonesia tidak demikian. Seni rupa tradisional, modern, ataupun kontemporer, di Indonesia berjalan beriringan dan tumbuh subur.
Namun, kondisi ini tidak diimbangi dengan kesadaran dokumentasi yang baik dari masyarakat Indonesia sehingga banyak terdapat keterputusan sejarah seni rupa Indonesia. Masing-masing seniman sukar untuk ditempatkan dalam peta perkembangan seni rupa di Indonesia. Dari sekian banyaknya tokoh seni rupa Indonesia, terdapat satu tokoh yang keberadaanya menjadi penting, sekaligus menjadi penanda terhadap perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia. Seniman tersebut bernama Widayat.
Sekilas Tentang Widayat
Widayat lahir di Kutoarjo, Jawa Tengah, pada 9 Maret 1919. Ia dilahirkan dari seorang ibu seorang pembatik, yang memiliki kedekatan dengan seni rupa tradisi. Hal tersebut menjadi alasan mengapa Widayat memiliki kedekatan dengan dunia seni rupa.
Setelah perpindahan ke Bandung untuk menempuh sekolah menengah, ia bertemu dengan pelukis Mulyono. Setiap minggu, Widayat belajar melukis darinya.
Sejak 1939 sampai dengan 1942, Widayat bekerja di Palembang sebagai juru ukur pegawai kehutanan. Setelahnya, Widayat bekerja sebagai juru gambar untuk membuat peta rel kereta api Palembang. Pada 1945, ia bergabung dengan PMC (Penerangan Militer Chusus) hingga 1947 sebagai pimpinan seksi penerangan. Widayat kemudian diberi kepercayaan untuk bisa meneruskan kembali kerja lukisnya melalui publikasi poster perjuangan
Menurut A.T. Darmawan dalam buku Streams of Indonesian Art: From Pre-Historic to Contemporary, atas rekomendasi Kantor Urusan Demobilisasi Pelajar (KUDP), yang berkaitan dengan jasanya sebagai prajurit di Sumatera Selatan, Widayat diterima sebagai mahasiswa ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia). Pada dekade 1950-an, ia resmi menjadi mahasiswa ASRI bersama 45 orang lainnya sebagai mahasiswa angkatan pertama. Setelah selesai menempuh pendidikan di ASRI, ia mendirikan perkumpulan pelukis muda yang diberi nama PMI (Pelukis Muda Indonesia). Pada tahun yang sama, Widayat diminta oleh ASRI untuk mengajar di perguruan tinggi tersebut.
Informasi mengenai Kelahiran ASRI di Yogyakarta
Semangat gerakan seni rupa modern Indonesia hingga tahun 1950-an banyak melahirkan sanggar-sanggar seni rupa. Ia juga membangunkan kesadaran para seniman dan pencinta seni yang dedikatif, seperti Kusnadi, Hendar Gunawan, R.J. Katamsi, serta Djajengasmoro, untuk mendirikan akademi atau perguruan tinggi seni rupa. Dengan semangat tersebut, pemerintah mendirikan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), dengan tujuan untuk mengembangkan seni yang menunjukan jati diri bangsa Indonesia.
Pendirian ASRI didasarkan pada tradisi pembelajaran seni lukis yang dilakukan melalui sanggar di Yogyakarta. Beberapa pengajar yang terlibat merupakan seniman yang belajar secara mandiri dan memiliki pengetahuan serta ketrampilan semasa pergolakan seni rupa pada 1945 sampai dengan 1950. Mereka banyak bersinggungan dengan para pelukis senior, seperti Sujojono, Affandi, dan Hendra.
Menurut A.T. Darmawan, terdapat sebuah peristiwa penting yang menarik untuk diperhatikan mengenai kelahiran ASRI. Ia berdiri beriringan dengan lembaga pendidikan tinggi seni rupa di Bandung, yang berdiri lebih dulu pada 1947. Lembaga tersebut bernaung dalam Fakultas Teknik Institut Teknologi Bandung (ITB).
Kurikulum pendidikan yang digunakan keduanya didasarkan pada tradisi akademi Barat. Meski begitu, terdapat perbedaan yang mendasar di antara keduanya. Pendidikan tinggi seni rupa di ITB lebih berfokus pada bentuk abstrak yang universal, sedangkan ASRI memilih untuk memfokuskan diri pada jati diri bangsa.
Corak Lukis Dekoratif Primitif Seorang Widayat
Oleh banyak kalangan, seperti Supangkat dalam artikel Pameran Tunggal 83 Tahun H. Widayat: “Makin Tua Makin Menjadi” (2002), Widayat selalu disebut sebagai seniman dengan karya dekoratif atau penganut dekorativisme. Jika kita merujuk kepada kata dekoratif, (lihat Mikke Susanto dalam Diksi Rupa: Kumpulan Istilah dan Gerakan Seni Rupa), istilah tersebut sering disandingkan dengan seni menghias.
Namun, yang dilakukan Widayat tidak sekadar menghias. Dalam lukisnya, kita tidak akan menemukan hiasan atau yang dimaksudkan sebagai indah. Bahkan, oleh A.T. Darmawan dalam Pameraya 81 Tahun H. Widayat: Berdoa Berkarya Bersyukur Beramal, Widayat merupakan seniman yang mampu menyeberangi antarmilenium. Corak lukisnya sangat otentik, dapat membawa penikmatnya untuk melihat dunia masa silam yang begitu jauh ke belakang.
Lantas, mengapa lukis Widayat menjadi begitu membingungkan? Apakah ia dekoratif atau bukan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu menguraikan beberapa poin penting, sehingga kita dapat mengarahkan pikiran kita bahwa Widayat merupakan seorang pelukis dekoratif primitif.
Pertama, seni rupa primitif memiliki kecenderungan cara ungkap yang naïf. Menurut Sifyan Salam dkk. dalam buku Pengetahuan Dasar Seni Rupa, cara ungkap naïf terlihat pada karya seni rupa primitif (folk–art). Beberapa tokoh yang dipandang menggunakan cara ungkap demikian antara lain Gauguin, Pablo Picasso, Brancusi, Paul Klee, serta seorang pelukis otodidak Perancis bernama Henri Rousseau dengan karya yang berjudul Mimpi (The Dream, 1910). Objek-objek lukis Widayat sangat mencirikan cara ungkap yang naïf, yang dapat kita lihat pada salah satu lukisannya yang berjudul Jalan Pagi.
Kedua, Widayat kecil sangat dekat dengan seni rupa tradisi (batik). Semasa kecil, ia tinggal dengan ibunya yang merupakan seorang pembatik sehingga dalam lukisnya banyak terdapat cara ungkap membatik. Salah satu ciri seni batik ialah selalu dilakukan dengan cara memberikan isian, dan tidak membiarkan terdapat bidang kosong dalam karyanya.
Ketiga, pengalaman hidup Widayat, yang memiliki kedekatan dengan alam. Hal ini banyak muncul dalam beberapa lukis Widayat yang menggambarkan keragaman alam Indonesia.
Keempat adalah pengaruh ASRI Yogyakarta. Pribadi Widayat sangat kuat terbentuk ketika belajar dan mengajar di ASRI, hingga akhirnya menjadi tokoh kunci dalam penyebaran gaya lukis dekoratif. Cara melukis dekoratif merupakan cara yang tidak menampakan adanya volume ataupun perspektif; semuanya dilukis secara datar.
Cara melukis dekoratif sejatinya telah lama dimiliki oleh para pendahulu kita. Namun, ia baru dipopulerkan untuk melukis oleh rombongan pelukis, dengan Kartono Yudhokusumo sebagai salah satu tokoh utamanya.
Rombongan Kartono kemudian sedikit banyak menginspirasi tokoh lukis lain bernama Hendra Gunawan. Ia merupakan salah satu guru Widayat di ASRI, yang nantinya banyak mempengaruhi Widayat dalam melukis. Hal ttersebut dapat kita lihat dari cara ungkap Widayat dalam melukis. Pemilihan warna dan perbentukan yang ia lakukan memiliki kedekatan dengan Hendra Gunawan.
Polemik identitas pada dekade 1950 hingga 1970-an semakin mempertegas sekaligus membawa gaya dekoratif, yang dipopulerkan Widayat, menjadi dikenal dicirikan sebagai seni lukis Yogyakarta. Sosok Widayat menjadi penanda penting atas lahirnya seniman-seniman muda di Indonesia.