Jago, Prototip Preman di Indonesia

Pada 10-11 Juni 2021, merespon berita adanya supir truk yang harus membayar pungutan liar (pungli) di Tanjong Priok, Jakarta Utara, Kepolisian di beberapa wilayah di Indonesia mulai aktif menggeliat. Dengan mendasarkan diri pada instruksi Kapolri untuk melakukan penindakan terhadap tindakan pungli, mereka mulai mengadakan penangkapan para preman jalanan yang banyak meresahkan masyarakat. Bahkan, dalam pernyataan resmi, diharapkan bahwa seluruh wilayah Indonesia dapat bersih dari segala tindakan premanisme dan penangkapan serta “bersih-bersih” yang dilakukan dua hari belakangan dapat terus digalakkan.

Pertama, ketika berbicara mengenai asal-usul preman, kita sering memulai dari akar kata, yakni mereka berasal dari vrijman atau freeman, secara harfiah berarti “orang yang bebas”. Dan, setelah memulai dari akar kata, dan tahu bahwa ia telah ada sejak masa sebelum kita lahir, kita biasanya berhenti untuk berpikir. Dalam tulisan pendek ini, yang mungkin akan dibagi menjadi beberapa bagian, kita akan menyelami keberadaan para preman dalam sejarah secara singkat dan ringan.

Hingga awal abad ke-20, mereka yang sekarang kita sebut sebagai preman dikenal masyarakat sebagai “jawara” atau “jago”. Secara umum, mereka secara umum digolongkan sebagai “bandit” atau “perampok” (bukan perampok dalam arti mereka yang datang ke rumah dan menguras isi rumah!). Keberadaan mereka tidak meresahkan seperti dibayangkan ketika mendengar kata “preman” dewasa ini. Mereka merupakan bagian integral dalam kehidupan masyarakat feodal di Indonesia.

Ilustrasi preman di Indonesia pada masa kini, courtesy of Jawa Pos

Eric Hobsbawm, dalam buku berjudul “Bandits”mengatakan bahwa para “jawara” dan “jago” ini disebut sebagai “bandit sosial” (social bandits). Keberadaan mereka dipandang sebagai pelindung rakyat jelata (peasants), dibayangkan sebagai sosok pahlawan (Hobsbawm membayangkan mereka seperti Robin-Hood, dengan merujuk pada karya folklore) yang melawan opresi kaum penguasa. Lebih lanjut, ditekankan bahwa “bandit sosial” adalah penggerak protes sosial dalam lingkungan pra-kapitalis, yang dipenuhi dengan masyarakat yang bermatapencaharian sebagai petani atau penggarap lahan.

Baca Juga  Benarkah Palestina Negara Pertama yang Mengakui Kemerdekaan Indonesia?

Tesis Hobsbawm tidak begitu saja diterima. Anton Blok, dengan merujuk pada kelompok mafia di Sicilia pada abad ke-19 dan abad ke-20, mengatakan bahwa “bandit sosial” tidak selamanya bersikap melindungi rakyat jelata. Dalam banyak kasus, terutama di wilayah Asia Tenggara, para bandit sering memeras rakyat, dan berlindung di balik penguasa lokal untuk mengamankan posisi mereka. Semakin kuat posisi mereka sebagai bandit, maka semakin kuat orang yang akan melindungi mereka. Membayangkan tesis Blok, bisa kita bayangkan bahwa apa yang kita sebut “ormas” (di tempat saya disebut “laskar”) tidak hanya kelompok paramiliter, tetapi juga termasuk dalam apa yang saya sebut sebagai “bandit kontemporer”.

Lalu, bagaimana dengan keberadaan para bandit di dalam sejarah Indonesia? Henk Schulte Nordholt berpendapat bahwa para “jago” (dalam hal ini juga termasuk “jawara”) adalah “perampok”, “broker kuasa”, “pahlawan lokal”, dan seseorang yang memiliki “kesaktian” (ngelmu) dalam satu wadah. Dalam beberapa kasus kecil, mereka bisa bersikap sebagai “pahlawan”, meski dalam catatan, mereka lebih sering muncul sebagai sosok pahlawan bagi para klien mereka, penguasa dan rakyat yang berlindung padanya. Lebih sering, mereka tampil sebagai seorang pencuri sapi, pembakar rumah, perampok harta rakyat, perusak kebun tebu, dan tindakan kriminal yang merusak tatanan “rust en orde” (ketertiban umum). Mereka tidak bergerak untuk melakukan protes sosial; dunia mereka lebih banyak tesembunyi, berada di dalam bayangan yang tidak bisa disentuh oleh birokrasi kulit putih.

Eric Hobsbawm, pencetus teori mengenai bandit sosial, courtesy of Jacobin

Meski begitu, keberadaan mereka sulit diketahui, karena sering mereka juga adalah bagian dari rakyat. Sulit menemukan siapa yang termasuk dalam “jago”, dan juga menentukan bagaimana “jago” terbentuk, tetapi semua penduduk tahu bahwa orang dekat mereka adalah “jago”, dan mereka takut serta memilih berlindung pada mereka. Terlebih, dengan menguasai ilmu kekebalan, memiliki jimat, serta menguasai kemampuan bela diri, mereka terlihat sebagai pemilik kuasa dalam suatu wilayah, yang sulit dilawan bahkan dengan senjata polisi kolonial.

Baca Juga  Teungku Daud Beureueh, Aceh, dan Republik

Dengan membayangkan keberadaan “jago” dan “jawara” dalam kehidupan dan perjalanan sejarah, apa yang ditangkap dan ditindak kepolisian saat ini bukanlah “preman” atau “bandit”. Mungkin sekilas, mereka hanya preman sebagai nama. Secara profesi, mereka lebih terlihat sebagai pemungut pajak liar ketimbang bandit yang bersembunyi dalam gelap. Mungkin polisi perlu lebih teliti lagi dalam memaknai kata “preman” dalam kamus mereka, sehingga tidak hanya terfokus pada kelas teri, tetapi juga dapat menjangkau kelas kakap. Tetapi, membayangkan bahwa polisi bisa menindak para “jago kontemporer” kelas kakap adalah sebuah keniscayaan, mengingat para penguasa di Senayan sangat dekat dengan mereka, dan bahkan seorang mantan wakil presiden pernah menyatakan bahwa “Indonesia butuh preman”!

Refrensi

[1] “Penangkapan Massal Preman Usai Jokowi Telepon Kapolri”. https://news.detik.com/berita/d-5603751/penangkapan-massal-preman-usai-jokowi-telepon-kapolri. Diakses 13 Juni 2021.
[2] “Kapolri Instruksikan Operasi Premanisme di Seluruh Indonesia”. https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-5602131/kapolri-instruksikan-operasi-premanisme-di-seluruh-indonesia. Diakses 13 Juni 2021.
[3] Eric Hobsbawm. (1959). Primitive Rebel. Manchester: University of Manchester.
[4] Eric Hobsbawm. (1974). “Social Banditry” dalam Henry A. Landsberger. Rural Protest: Peasant Movements and Social Change. London dan Basingstoke: The Macmillan Press.
[5] Eric Hobsbawm. (1981 [1969]). Bandits Revised Edition. New York: Pantheon Books.
[6] Anton Blok. (1972). “The peasant and the brigand: social banditry reconsidered” dalam Comparative Studies in Society and History. Vol. 14.
[7] Henk Schulte Nordholt. (1991). “The Jago in The Shadow: Crime and ‘Order’ in the Colonial State in Java” dalam Review of Indonesian and Malaysian Affair. Vol. 25. No. 1.

Bacaan lebih lanjut

[1] Cheah Boon Kheng. (1985). “Hobsbawm’s social banditry, myth and historical reality: A case in the Malaysian state of Kedah, 1915-1920” dalam Bulletin of Concerned Asian Scholars. Vol. 17. No. 4.
[2] Cheah Boon Kheng. (2014). The Peasant Robbers of Kedah, 1900-1929: Historical and Folk Perceptions. Singapura: NUS Press.
[3] Onghokham. (1979). “Social change in Madiun during the 19th century: taxes and its influence on landholdings”. Makalah. Dipresentasikan dalam Proceedings of the 7th IAHA Conference. Bangkok.
[4] Suhartono. (1991). Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920. Yogyakarta: Tiara Wacana.

One thought on “Jago, Prototip Preman di Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *