Periode 1950 hingga 1965 merupakan masa penuh gejolak dalam perjalanan sejarah Indonesia. Konferensi Meja Bundar pada Desember 1949, yang menjadi tonggak awal Indonesia dalam menjalankan pemerintahan, membawa konflik dan pergolakan di daerah. Dalam waktu singkat, terjadi berbagai jenis gejolak, seperti APRA, RMS, pemberontakan Andi Aziz, DI/TII, dan PRRI/Permesta.
Dampak pergolakan di daerah tersebut terasa hingga ke ibu kota. Pada 14 Mei 1962, saat melakukan salat Iduladha, Presiden Soekarno nyaris tewas terkena tembakan peluru. Ia, yang shalat di baris pertama, hampir tertembak saat berdiri setelah sujud pada rakaat kedua.
Upaya pembunuhan ini terjadi pukul 07.50 pagi di lapangan Istana Negara. Dilansir dari Nieuwe Eindhovense Krant tertanggal 15 Mei 1962, peristiwa ini terjadi pada hari Senin pagi, saat prosesi salat Iduladha sedang berlangsung. Percobaan pembunuhan ini dilakukan seorang pelaku dari jarak 15 meter, atau 4 baris, di belakang barisan salat Soekarno.
Pelaku menembak beberapa kali dan melukai tiga pengawal presiden, Ketua DPR-GR, Zainal Arifin Pohan, dan Wakil Perdana Menteri sekaligus imam salat, K. H. Idham Chalid.
Sementara, harian Nieuw Guinea Koerier tertanggal 17 Mei 1962 memberitakan bahwa kejadian berlangsung tiba-tiba dan ditangani dengan cepat. Dua pengawal presiden yang tidak ikut salat langsung mendatangi dan melucuti senjata pelaku, membuatnya jatuh sampai tersungkur. Pelaku kemudian diamankan ke dalam istana, dan salat Iduladha dilajutkan sampai selesai.
Pelaku yang tertangkap bernama Sanusi Firkat. Ia bersama Kamil Djadja Permana, Napdi, dan Abudin merupakan kaki tangan Kartosuwiryo, pemimpin DI/TII, yang diperintahkan untuk membuat teror di ibukota.
Atas peristiwa tersebut, Djadja Permana alias Dayat, Napdi alias Hamdan, dan Abudin alias Hambali divonis hukuman mati setelah sidang pemeriksaan gelombang kedua di pengadilan militer Angkatan Darat pada 6-8 Agustus 1962. (Merdeka, 9 Agustus 1962). Mengutip harian yang sama, Sanusi Firkat alias Usfik, dan Kamil alias Harun, telah menjalani sidang pada bulan sebelumnya, dan masih menunggu keputusan Presiden atas permohonan grasi mereka.
Dalam persidangan, mereka secara terang-terangan mengaku bahwa sudah berkali-kali mencoba melakukan makar terhadap Presiden Soekarno. Sebelumnya percobaan pembunuhan sempat mereka lancarkan di 8 Maret 1962 di Istana Negara saat perayaan Idulfitri, dan 20 Maret 1962 di Jalan Partyse Lumumba.
Merespon berbagai aksi teror yang dilakukan kelompok DI/TII, yang tentu saja membahayakan nyawa Presiden Soekarno, pemerintah mengerahkan pasukan untuk menjaga terlaksananya Manipol USDEK sesuai cita-cita revolusi kemerdekaan Indonesia.
Pengerahan pasukan tersebut berbuah hasil pada 4 Juni 1962, ketika Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo, pimpinan gerakan DI/TII, ditangkap dalam keadaan sudah lemah dan sakit. Tercatat, Kodam VI Siliwangi, melalui Operasi Baratajuda, berhasil melumpuhkan 302 anggota, menyita persenjataan, dan menarik mereka kembali ke wilayah Indonesia. (Merdeka, 23 Mei 1962 & 9 Juni 1962). Penangkapan dan pengamanan Kartosuwiryo memperlemah gerakan anggota DI/TII lainnya. Semakin banyak anggota DI/ TII yang harus turun gunung sejak kepala mereka berhasil diputus TNI.
Pada 5 September 1962, Presiden Soekarno, dengan berat hati, memutuskan untuk mengeksekusi mati Kartosuwiryo, sahabat lamanya sendiri, mengakhiri perjalanan teror DI/TII terhadap Republik Indonesia.
Referensi:
[1] “Daroel Islam Schiet In Paleistuin Soekarno Overleeft Zijn Vierde Moordaanslag Verwarring Door Doodsbericht”. Nieuwe Eindhovense Krant. Selasa, 15 Mei 1962.
[2] “Aanslag Aanleiding Tot Nieuwe Zuiverings Acties”. Nieuw Guinea Koerier, De Groene. 17 Mei 1962.
[3] “Hasil Operasi Baratajuda”. Merdeka. 23 Mei 1962.
[4] “Peristiwa Idul Adha Segera Disidangkan”. Merdeka. 9 Juni 1962.
[5] “Kartosuwiryo Dipindahkan ke Tempat yang Aman”. Merdeka. 9 Juni 1962.
[6] “Mahadter Putuskan Hukuman Mati”. Merdeka. 9 Agustus 1962.
[7] Nugroho Notosusanto & Marwati Djoened Poesponegoro. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.