Dalam sejarah, ada banyak pemimpin, pahlawan, dan tokoh berjasa, yang tercatat dalam karya atau diberi penghargaan oleh orang lain dalam bentuk karya seni. Berbagai karya, seperti puisi, novel, cerpen, lukisan, patung, dan gubahan musik, telah dipersembahkan kepada orang-orang yang dianggap berjasa, pahlawan, atau tokoh pencerah.
Salah satu penghargaan tersebut pernah dibuat oleh Ludwig von Beethoven (1770-1827) untuk Napoleon Bonaparte. Bentuk persembahan tersebut adalah gubahan Simfoni No. 3.
Pada awalnya, sang komposer kagum akan kepahlawanan Napoleon, yang hampir mampu menaklukkan Eropa. Dalam hal apapun, rencana Beethoven untuk menghormati Napoleon dapat menjelaskan hubungan yang kuat dengan musik dari Republik Prancis. Dan Beethoven pun mantap, menulis kepada penerbitnya bahwa judul simfoni itu adalah “Bonaparte.”
Pada 1809, ia melakukan pertunjukan simfoni tersebut di Wina selama pendudukan Prancis di kota itu, ketika Bonaparte seharusnya hadir. Seiring perjalanan sejarah, kekaguman sang komposer legendaris harus dihapus, dan berganti dengan kebencian. Akhirnya, gubahan untuk Sang Napoleon tersebut dicabut oleh sang komposer. Apa alasan hal tersebut terjadi?
Musik dan Revolusi Prancis
Revolusi Prancis menandai babak baru dalam penggunaan musik oleh negara. Cita-cita Revolusi—kebebasan, kesetaraan, persaudaraan—meminta pendekatan terhadap musik yang pada dasarnya bersifat publik dan non-elitis.
Pemerintah baru mendorong nyanyian serta lagu-lagu oleh orang banyak yang antusias sebagai cara untuk menyebarkan ideologi revolusioner dengan cara yang hampir sama sama seperti digunakan Martin Luther dalam menyebarkan nyanyian pujian untuk menyebarkan berita Reformasi pada abad ke-16.
Festival tahunan untuk memperingati ulang tahun revolusi membuat musik menjadi acara yang partisipatif, bukan sekadar tontonan hiburan penonton. Pertemuan terbuka yang sangat besar ini menampilkan banyak lagu-lagu rohani dan lagu-lagu politik.
Berbagai konstitusi negara baru sebenarnya diatur ke dalam musik—sebagian besar dengan lagu-lagu terkenal—untuk tujuan yang jelas, yakni menyebarluaskan isinya dengan cara yang dapat dimengerti oleh orang awam.
Revolusi Prancis tidak hanya memiliki satu, tetapi dua lagu kebangsaan. Alexander L. Ringer dalam artikel berjudul The Rise of Urban Musical Life between the Revolution, menyebut bahwa Ça ira (“Ini akan terjadi”), dengan kecamannya terhadap aristokrasi (“Kami akan mengikat para aristokrat! Despotisme akan mati, Kebebasan akan menang. Ini akan terjadi, ini akan akan terjadi!”), dinyanyikan tanpa henti oleh kerumunan orang di jalanan.
La Marseillaise, digubah pada 1792 oleh Claude-Joseph Rouget de Lisle, seorang kapten tentara, menjadi lagu kebangsaan Prancis pada 14 Juli 1795, atau ulang tahun keenam Revolusi. Kapasitasnya untuk menginspirasi semangat revolusioner mendorong beberapa rezim berikutnya—termasuk rezim Napoleon, Louis XVIII (setelah tahun 1815), dan Napoleon III (pada 1850-an dan 1860-an)—melarang pertunjukannya. La Marseillaise baru dikembalikan sebagai lagu kebangsaan Prancis pada tahun 1879.
Pemerintah baru juga mengubah Royal Conservatory of Music menjadi Konservatori Nasional, yang bertujuan untuk melatih para musisi yang dapat menggubah dan menampilkan musik untuk kepentingan publik yang lebih luas. Agenda dari lembaga baru ini sangat nasionalis. Menurut Ralph P. Lockedalam artikel Paris: Centre of Intellectual Ferment, komponis sekaligus direktur pertama Konservatori, François-Joseph Gossec (1734-1829), berpendapat pendirian sekolah semacam itu sebagai benteng melawan:
“musisi asing, yang tidak memiliki keterikatan ke negara kita, merusak bahasa kita dan memutarbalikkan rasa . . . Oleh karena itu, akan sangat menguntungkan —atau lebih tepatnya, perlu— bahwa kita memiliki musik yang benar-benar nasional, dan untuk untuk mencapai tujuan ini, kita membutuhkan Akademi Musik.”
Pada akhirnya, tujuan pemerintah Prancis adalah jauh lebih tinggi daripada pencapaiannya. Dalam beberapa tahun, sekali lagi Paris menarik musisi asing yang berbakat, mendorong penekanan pada musik politik yang mulai menurun. Meski begitu, penggunaan musik sebagai alat negara memberikan model yang kuat untuk revolusi dan rezim berikutnya di seluruh dunia.
Dari“Simfoni Besar Berjudul Bonaparte” ke Eroica
Dalam entri mengenai Beethoven, Dino E. Buenviaje mengatakan bahwa seperti banyak dari generasinya, Beethoven terjebak dalam kultus Napoleon, seorang pria dari asal-usul tidak jelas yang naik dari posisi kopral di Angkatan Darat Prancis menjadi Kaisar Prancis dan mendominasi Eropa selama satu generasi. Sebagian besar musik Beethoven mencerminkan peperangan pada awal abad ke-19, termasuk karya pembukaan Kemenangan Wellington (Wellington’s Victory).
Sembilan simfoni Beethoven mencakup berbagai macam pendekatan komposisi. Simfoninya sangat bervariasi sehingga tidak mungkin untuk memilih salah satu sebagai tipikal. Hampir semuanya mengeksplorasi beberapa pendekatan baru yang fundamental terhadap genre. Dengan Simfoni Ketiga, misalnya, ia memperluas jangkauan genre ke dalam ranah moral, sosial, dan filosofis untuk pertama kalinya. Judul karya tersebut, Eroica, membangkitkan cita-cita etis dan politik yang terkait dengan Revolusi Prancis.
Beethoven menggubahnya pada 1803, ketika Napoleon Bonaparte memulai penaklukan di Eropa. Barry Cooper, dalam buku Beethoven, mengatakan bahwa Beethoven, yang awalnya mengidealkan Napoleon sebagai penguasa yang tercerahkan, bermaksud untuk menyebut karya tersebut sebagai Simfoni Besar Berjudul Bonaparte. Beethoven menamai Simfoni No. 3 ini dengan Bonaparte untuk menghormati Napoleon, yang dikaguminya sebagai pahlawan Republik Prancis.
Lewis Lockwood, dalam buku Beethoven: The Music and the Life, mengatakan bahwa menurut murid Beethoven, Ferdinand Ries, sang komposer berubah pikiran menjadi marah ketika mengetahui bahwa Napoleon telah memahkotai dirinya sendiri sebagai “Kaisar” pada 1804. Dengan penuh amarah, Beethoven merobek halaman judul simponi tersebut. Ia kecewa karena idolanya terbukti menjadi penguasa yang ambisius dalam perjalanannya menjadi seorang tiran. Pada akhirnya, simfoni ketiga ini diberi judul Eroica (atau to the Momory of Great Man).
Sikapnya terhadap Napoleon berkisar dari sebuah kekaguman hingga rasa jijik. Simfoni Ketiga Beethoven, yang awalnya didedikasikan untuk Napoleon, berganti nama menjadi Eroica setelah Napoleon memahkotai dirinya sebagai Kaisar. Beethoven marah karena dikhianati oleh orang yang seharusnya menjadi penyelamat Eropa. Konon, ia berseru, “Jadi dia adalah seorang pria!”
Mark Evan Bonds, dalam buku A History of Music in Western Culture,mengatakan bahwa Beethoven membatalkan judul asli Simfoni Eroica. Dari halaman judul partitur tanda tangan Simfoni Eroica, terlihat jelas bahwa Beethoven mencoret kata-kata intitolata Bonaparte setelah Sinfonia Grande (“Simfoni Besar berjudul Bonaparte”). Halaman sampul partitur Simfoni Eroica, yang bertuliskan Sinfonia Grande Intitolata Bonaparte, kemudian ditambahkan dengan tinta yang berbeda. Dia kemudian menambahkan dengan pensil kata Geschrieben auf Bonaparte (“digubah tentang Bonaparte”), yang tidak terlihat dalam foto di bawah.
Lewis Lockwood mengatakan bahwa keyakinan politik Beethoven sangat dipengaruhi oleh Zaman Pencerahan, yang mengajarkannya untuk membenci tirani dan despotisme. Seperti para filsuf pada zamannya, ia adalah seorang deis yang percaya pada makhluk tertinggi hanya berperan sebagai pencipta semesta. Ketika Revolusi Prancis meletus, Beethoven prihatin dengan meningkatnya sensor dan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah Austria.
Pada pertunjukan pertama Simponi Eroica di istana Wina pada 1805, di depan Pangeran Lobkowitz, karya ini menciptakan terobosan baru dalam banyak hal. Ia diakui sebagai karya yang penting. Namun, panjang dan kerumitannya, yang belum pernah terjadi sebelumnya, membuat karya ini sulit untuk dipahami oleh beberapa penonton.
James Hepokoski, dalam artikel Beethoven Reception: the Symphonic Tradition, mengatakan bahwa para kritikus yang ingin menggambarkan efek dari lintasan Simfoni Eroica secara konsisten menggambarkannya sebagai sebuah perjalanan dari perjuangan (gerakan pertama) dan kematian (gerakan kedua) menuju kelahiran kembali (gerakan ketiga) dan kemenangan (gerakan keempat). Karya ini dapat membangkitkan asosiasi yang begitu mendalam, menjadi penghargaan terhadap kekuatan musik Beethoven sekaligus sebagai refleksi yang tinggi terhadap musik instrumental sebagai kendaraan untuk mengekspresikan ide-ide abstrak dalam Estetika Romantis.
Rasionalitas Pencerahan, secara bertahap, memberi jalan kepada mode pemikiran baru yang secara longgar dikenal sebagai “Romantisisme.” Istilah ini telah digunakan untuk banyak hal yang berbeda—seorang sarjana yang bekerja di pertengahan abad ke-20 menghitung tidak kurang dari 11.396 definisi—sehingga definisi ringkas tentang Romantisisme tampaknya mustahil. Namun demikian, ini memberikan kemudahan dalam melihat pandangan estetika dan filosofis baru yang muncul pada di Eropa awal abad ke-19.
Sangat mulia pandangan dan filosofi Bethoven dalam harmoni kedamaian.keselarasan.perjuangan dan kejayaan.yang mengedepa nkan untuk kemakmuran serta kesejahteraabn bersama . Anti mendewa kan diri..andaikan Romantisisme merambah pada estetika filosofi pendiddikan dan pembelajaran akan kah mengubah rasionalisasi pencerahan?
Itu akan menjadi sangat menarik sekali, jika pendidikan Indonesia menerapkan ide-ide filsafat Romantisisme
Selalu mencerahkan. Romantisme ala Prancis dan bagaimana romantisme, mungkin pada saat abad yg sama di Nusantara?
Di Nusantara, mungkin era Romantisisme seirama dengan gelombang awal ketertarikan Eropa terhadap tanah jajahan. Awal2 studi indologi, meski masih cenderung kasar dan berat sebelah
Sebuah tulisan yang lengkap dan inspiratif membuka wawasan seni musik pada zamannya.
Tulisan2 Pak Sunarto benar2 wah~
Mencoba memahami bahwa musik milik beethoven tak hanya gubahan semata melainkan pengubah arah cara berpikir manusia, paling tidak dalam upayanya melalui seni.
Keren sekali Pak Narto🤩
Terimakasih pak Narto atas pencerahannya. Jd tambah wawasan baik secara materi maupun penyajian narasinya. Kiranya sehat selalu pak Narto 👍
idola pokoknya