Abdurrahman ad-Dakhil, Sang Rajawali Quraisy

Huru-hara yang terjadi dalam dunia Islam pada dekade 740-an semakin memuncak setelah Revolusi Abbasiyah pada tahun 750 M. Revolusi ini berhasil menggulingkan kekuasaan dinasti Umayyah yang telah berlangsung selama 90 tahun. Ibukota kekhalifahan di Damaskus berhasil diduduki tentara Abbasiyah. Khalifah terakhir dinasti Umayyah, Marwan II, terbunuh di Mesir sebagai pelarian.

Abu Abbas as-Saffah, selaku khalifah yang baru, menerbitkan pengumuman untuk melakukan pembersihan terhadap seluruh kalangan yang masih memiliki kaitan dengan dinasti Umayyah. Pembunuhan massal berlangsung di berbagai tempat, terutama di Damaskus.

Terdapat beberapa orang yang berhasil selamat dari peristiwa itu. Salah satunya adalah Abdurrahman, seorang pemuda berusia 22 tahun.

Ilustrasi kehidupan umat muslim di Cordoba, courtesy of ramadhan.republika.co.id

Abdurrahman merupakan cucu dari Hisyam bin Abdul Malik. Menghindari pembunuhan massal, ia harus hidup dalam pelarian. Bersama pengawal setianya, Baddar, ia melintasi gurun Suriay, masuk ke Gurun Sinai, memasuki berbagai kota di Afrika Utara, hingga akhirnya tiba di kota Meknes, sekarang berada di Maroko.

Kala itu, Meknes masuk dalam wilayah administratif Andalusia, yang beribu kota di Toledo. Kondisi politik Andalusia pada masa itu mirip dengan kondisi di Kekhalifahan Umayyah, yakni terjadi huru-hara. Terjadi perebutan kekuasaan yang berlangsung terus-menerus antara dua suku besar di Andalusia, yakni suku Mudhari dan suku Yamani.

Ketika Abdurrahman berada di Meknes, Yusuf al-Fihri menjadi penguasa Andalusia. Ia merupakan seorang pemimpin yang berasal dari klan Mudhari, yang menyatakan baiat kepada Khalifah Abbasiyah. Abdurrahman mengutus Baddar untuk menemui tokoh-tokoh berpengaruh di Andalusia yang disingkirkan oleh Yusuf Al-Fihri untuk mendapatkan dukungan. Ia juga menghubungi beberapa tokoh suku Yamani, yang notabene merupakan musuh Yusuf la-Fihri, untuk ikut bergabung.

Joesoef Sou’yb, dalam buku Sejarah Daulat Umayyah II di Cordova, memaparkan proses pengambilalihan kekuasaan di Andalusia oleh Abdurrahman. Setelah mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, Abdurrahman mulai masuk ke Andalusia dan menaklukkan berbagai kota yang enggan berbaiat kepadanya.

Ilustrasi umat muslim sedang menjalankan salat di Cordoba, courtesy of islamicspain.tv

Yusuf al-Fihri, yang mendengar kabar tersebut, segera menyiapkan pasukan besar di Toledo, guna menyerang kedudukan Abdurrahman yang bermarkas di Kordoba. Dengan cepat, pasukan besar Yusuf al-Fihri tiba di depan gerbang kota Kordoba, dan meminta penduduk untuk taat kepadanya.

Baca Juga  Jurusan Sejarah, Jurusan Kuliah yang Tidak Berguna?

Disayangkan, penduduk Kordoba tetap berada di belakang Abdurrahman. Keadaan menjadi semakin menguntungkan bagi Abdurrahman, setelah sebagian besar suku Mudhari mulai merapatkan barisan di sisi Abdurrahman.

Perang saudara pun pecah. Pasukan Yusuf a-Fihri berhasil dihancurkan. Ia akhirnya meminta perdamaian, dan tetap tinggal di Kordoba.

Sejak tahun 755 Masehi, berdiri Daulah Umayyah “Jilid 2” di Andalusia. Secara de facto, wilayah Andalusia merupakan wilayah yang independen dan bebas dari kekuasaan Abbasiyah di Bagdad.

Namun, Abdurrahman tetap mengamalkan salah satu hadis Rasulullah saw., yang mengatakan bahwa tidak boleh terdapat 2 khalifah bagi umat Islam. Meski secara de facto Andalusia adalah wilayah merdeka, Abdurrahman tetap menyatakan bahwa penguasa tertinggi bagi kaum Muslim adalah Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad.

Ilustrasi kegiatan umat muslim di Cordoba, courtesy of University of Barcelona

Setelah berhasil melakukan konsolidasi atas wilayah Andalusia, Abdurrahman ad-Dakhil, julukan baru bagi Abdurrahman, melakukan pembangunan besar-besaran di wilayah kekuasaannya. Ia membangun istana dan masjid dalam satu kompleks, yang dikenal dengan nama Alhambra. Ia juga membangun pusat-pusat ilmu pengetahuan serta masjid-masjid Jami’ di setiap kota di Andalusia. Untuk menciptakan kemakmuran bagi rakyat Andalusia, ia memerintahkan pengadaan saluran irigasi untuk pertanian.

Hasil dari usaha Abdurrahman ad-Dakhil dirasakan langsung oleh rakyatnya, baik Muslim maupun non-Muslim. Kaum Yahudi, yang selama berabad-abad hidup dibawah penindasan para penguasa Romawi maupun Visigoths, hidup dalam suasana tentram dan aman di bawah kekuasaan Abdurrahman. Bahkan, filsafat Yahudi berkembang pesat pada masa ini, yang ditadai dengan munculnya Maimonides.

Dilihat dari prestasinya, Abdurrahman ad-Dakhil adalah seorang pemimpin yang luar biasa. Setelah hidup dalam pelarian selama lima tahun, ia berhasil mengalahkan lawan-lawan politiknya, menjadi penguasa, dan sukses melaksanakan pembangunan besar-besaran hanya dalam waktu 10 tahun. Prestasi di atas membuat Abdurrahma ad-Dakhil disegani dan dihormati, baik oleh kawan maupun lawannya.

Baca Juga  Akhir dari Sejarah: dari Hegel sampai Pascastruktruralisme

Salah satu apresiasi terhadap Abdurrahman ad-Dakhil dilontarkan oleh Abu Ja’far al-Mansur, penguasa Bagdad. Abdurrahman, yang  dianggapnya sebagai saingan dalam percaturan politik dunia Islam saat itu, tetap dihargai olehnya. Bahkan, ia tidak ragu memberikan julukan “Rajawali Quraisy” kepada Abdurrahman.

Setelah berkuasa 32 tahun, hingga 788 M, Abdurrahma ad-Dakhil, sang Rajawali Quraisy wafat Ia mewariskan peradaban serta kemakmuran bagi rakyat Andalusia. Kemangkatanannya ditangisi oleh rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim.

Referensi

[1] Firas Alkhateeb. 2016. The Lost Islamic History. Terj: Mursyid Wijanarko (Yogyakarta: Bentang Pustaka).
[2] Joesoef Sou’yb. 1977. Sejarah Daulat Umayyah II di Cordova (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *