Konflik Negara Islam dan Awal Kemunculan Dinasti Umayyah

Masjid Agung Damaskus

Sebagian besar umat muslim di Madinah dan sekitarnya sepanjang periode 656 hingga 661 M barangkali mendambakan periode penuh ketentraman di zaman Nabi Muhammad dan kedua khalifahnya, yaitu Abu Bakar dan Umar ibn Khattab.

Revolusi yang menyapu kawasan Jazirah Arabia pada 622 M berhasil menjadikan bangsa Arab menempati posisi yang belum pernah mereka bayangkan sebelumnya. Kegemilangan bangsa Arab terus berlanjut pada awal masa pemerintahan Utsman bin Affan, khalifah ketiga Islam. Bangsa Arab berhasil melebarkan kekuasaan hingga ke bibir pantai Mediterania dan dataran tinggi Sindh di India.

Namun, masa kejayaan itu sudah lewat. Sejak 655 M, dunia Islam mengalami gejolak. Utsman bin Affar terbunuh oleh pemberontak. Kematiannya meninggalkan luka yang sulit disembuhkan.

Pewaris Ustman, Ali ibn Abi Thalib, terhuyung-huyung menegakkan kewibawaan kekhalifahan. Sejumlah kritikan, cacian, hingga tuntutan keras, ditujukan pada dirinya, karena pembunuh Utsman tak kunjung tertangkap dan diadili.

Kaum oposisi, di bawah Zubair ibn Awwam, Thalhah ibn Ubaidillah, dan Siti Aisyah, istri abi Muhammad, pada tahun kematian Utsman bin Affar, mengobarkan api perang besar kepada kekahalifahan. Perang yang kemudian dikenal sebagai Waq’atul Jamal, Pertempuran Jamal, berakhir dengan kemenangan pihak Ali.

Dome of the Rock, salah satu peninggalan Islam pada masa Umayyah, couresy of Smarthistory

Berikutnya, kelompok oposisi dari Damaskus di bawah pimpinan gubernur Mu’awiyah ibn Abi Sufyan beserta puluhan ribu pendukungnya bergerak ke Kufah, ibukota kekhalifahan yang baru. Perang saudara hadir kembali di pelupuk mata kaum Muslim.

Perang Shiffin, yang meletus pada tahun 658 M, berujung tanpa pemenang. Arbitrase (tahkim bi kitabillah) menjadi jalan tengah penyelesaian perang saudara, meski keputusan tersebut tidak diindahkan kedua belak pihak. Ali ibn Abi Thalib harus menjalankan roda pemerintahan di bawah bayang-bayang pembangkangan gubernurnya yang keras kepala.

Baca Juga  Piramida Agung Giza, Misteri dan Keajaiban Dunia

Di luar batas-batas negeri, para musuh kekhalifahan bersorak-sorai kegirangan, seraya menunggu kesempatan membalas dendam pada kaum Muslim.

Hingga akhirnya, di suatu subuh yang sendu di tahun 661 M, kala mengambil wudhu, Ali ibn Abi Thalib tertebas sabetan pedang beracun seorang khawarij, kaum pembelot pasukan Ali, tepat di bagian tengkuknya. Ia rubuh seketika, dan divonis menderita radang selaput otak yang mustahil untuk disembuhkan.

Serbuan pasukan Umayyah ke Konsatinopel (717 M), courtesy of World History Encyclopedia

Empat hari kemudian, Ali bin Abi Thalib wafat. Kufah berduka. Penduduk beramai-ramai mengangkat baiat pada Al-Hasan, putra sulung Ali.

Sementara itu, di Damaskus, Mu’awiyah melihat sebuah peluang. Bersama pasukannya, ia bergerak ke Irak untuk mencari sesuatu yang selama ini ia harap-harapkan. Baginya, Al-Hasan merupakan orang yang cinta damai, tak seperti ayahnya yang dianggap keras kepala.

Apa yang dipikirkan Mu’awiyah terbukti. Ketimbang menyaksikan kembali beribu-ribu Muslim tewas di ujung pedang saudara sendiri, Al-Hasan menyerahkan tampuk kekuasaan tertinggi Daulah Islam kepada Mu’awiyah. Peristiwa tersebut dikenang sebagai Aamul Jama’i, Tahun Persatuan.

Pada masa berikutnya, terjadi perubahan besar dalam suksesi. Mu’awiyah berpandangan, untuk meminimalisir pertumpahan darah saat peralihan kekuasaan, ia memilih untuk meneruskan kekuasaan secara turun-temurun. Sejak saat itu, eksistensi Dinasti Umayyah, sebagai sebuah entitas politik yang kelak menaklukan berbagai negeri jauh, dipersembahkan kepada Islam dan kaum Muslim.

Referensi

[1] Abdussyafi Muhammad Abdulatif. (2016). Khilafah Bani Umayyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
[2] Al Hamid Al Husaini. (1981). Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib R.A. Semarang: CV Toha Putra.
[3] Firas Alkhateeb. (2014). Sejarah Islam yang Hilang. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *