Ada Apa dengan “Sepatu” van Gogh?

Bagi orang awam, lukisan A Pair of Shoes karya Vincent Van Gogh mungkin akan dipandang seperti lukisan-lukisan lain, yakni mengambarkan objek sebagaimana adanya (realis), dan sebagai ungkapan estetis biasa dari sang pelukis. Namun, bagi para filsuf, lukisan tersebit memantik perdebadan filosofis yan penting. Mereka memandang, dengan alasan yang berbeda-beda, bahwa lukisan tersebut unik, estetis, dan “masuk akal.”

J.M. Bernstein, dalam buku The Fate of Art: Aesthetic Alienation from Kant to Derrida and Adorno (1992), menyebut ada dua filsuf besar, yakni Martin Heidegger (1889-1976) dan Jacques Derrida (1930-2004), serta seorang sejerawan seni, Meyer Schapiro (1904–1996), yang mengulas lukisan “sepatu” van Gogh. Ketiga tokoh tersebut memberikan interpretasinya masing-masing, sesuai dengan persepsinya. Bagaimana pandangan mereka?

Van Gogh dan “Sepatu”-nya

Vincent Willem van Gogh (1853-1890) merupakan seorang pelukis pos-impresionis asal Belanda. Ia merupakan salah satu tokoh berpengaruh dalam sejarah seni lukis Barat. Menurut Hourly Historydalam buku Vincent van Gogh: A Life From Beginning to End (Biographies of Painters) (2018), hanya dalam waktu satu dekade, van Gogh telah menghasilkan 2100 karya seni. Ini termasuk sekitar 860 lukisan cat minyak, yang sebagian besar dibuat dalam dua tahun terakhir hidupnya.

Self Portrait (1888) oleh Vincent Van Gogh, courtesy of Wikipedia

Mengutip Hourly History (2018), ada sebuah peristiwa unik yang dialami van Gogh. Peristiwa unik tersebut adalah pertemuan van Gogh dengan sepasang sepatu, yang kemudian menjadi objek lukisannya.

Peristiwa tersebut terjadi pada 1886 di Paris. Ia bermula dari van Gogh yang sedang berjalan-jalan di sebuah pasar lokal. Sebagai seorang pelukis yang dapat dikatkan miskin, hanya pasar loak yang menyediakan barang-barang bekas murah, yang dapat dibelinya.

Di pasar tersebut, tiba-tiba mata van Gogh tertuju pada sebuah dagangan, yang dirasanya, aneh dan menarik. Ia adalah sepasang sepatu buntut yang terbuat dari kulit binatang. Ia pun menghampiri penjual sepatu itu. Tawar-menawar pun terjadi, yang akhirnya disepakati harga yang pas untuk sepatu tersebut. Dengan sebuah sepatu di tangan, van Gogh membawanya pulang.

A Pair of Shoes (1886) oleh Vincent van Gogh, courtesy of introtowestern.blogspot.com

Sesampainya di rumah, van Gogh menuju studionya. Tanpa menunggu lama, dia mengambil alat lukis, mulai melukis sepatu itu. Dalam beberapa jam saja, lukisan tersebut berhasil ia selesaikan. Lukisan tersebut dikenal sebagai A Pair of Shoes.  Hingga kini, tidak diketahui motif mengapa van Gogh melukis sebuah sepatu tua.

Pandangan Heidegger atas “Sepatu” van Gogh

Antony F. Janson, dalam buku History of Art (2001), secara sekilas menulis mengenai “perjumpaan” Heidegger dengan A Pair of Shoes. Pada 1930, Heidegger mengujungi Museum Stadelijk di Amsterdam. Di museum tersebut, ia tertegun melihat lukisan A Pair of Shoes. Selang lima tahun, tepatnya pada 1935, Heidegger menulis komentar filosofis tentang A Pair of Shoes yang ia sampaikan dalam ceramahnya di Kota Freiburg.

Baca Juga  Gagalnya Persembahan Gubahan untuk Sang Napoleon

Menurut Heidegger, dalam artikel berjudul The Origin of the Work of Art (terbit dalam buku Heidegger: Off the Beaten Track, 2002[1971]), lukisan “sepatu” van Gogh mengandaikan adanya pesan nilai (value) yang dalam. Dalam lukisan tersebut, tergambar betapa pahit getirnya kehidupan; suatu gambaran buram tentang perjuangan hidup manusia petani. Sepatu, yang penuh dengan tanah, dipakai dalam mengolah tanah.

Martin Heidegger (1889-1976), courtesy of Internet Encyclopedia of Philosophy

Melalui sepatu dalam lukisan van Gogh tersebut, Heidegger memperlihatkan bahwa ia memberikan cerminan yang Ada (Being). Tersimpan sesuatu yang seharusnya tidak tersebunyi jauh di kedalaman, yang justru dijadikan tersebunyi oleh rutinitas hidup petani.

Menurut Heidegger, A Pair of Shoes menyimpan “sesuatu” yang tidak pernah diperlihatkan oleh sepatu itu sendiri, yakni Ia dalam dirinya sendiri. Seperti dalam bukunya, Being and Time (2010[1962]), sejarah filsafat Barat telah melupakan Ada, yang merupakan inti dalam filsafat Yunani kuno.

Di sini, Ada menjadi dasar interpretasi Heidegger terhadap lukisan van Gogh. Heidegger ingin menunjukkan bahwa sepatu van Gogh merupakan gambaran bumi dengan realitasnya; dari sepatu tersebut, manusia diajarkan bahwa keindahan yang Ada muncul, dan ia merupakan kebenaran di dalam sebuah lukisan (truth in painting). Bagi Heidegger, seni pun tidak lepas dari Ada.

Kritik Schapiro atas Heidegger

Pada 1968, interpretasi Heidegger atas A Pair of Shoes mendapat kritik dari seorang sejarawan seni Amerika Serikat, Meyer Schapiro. Schapiro, dalam artikel berjudul Further Notes on Heidegger and van Gogh (diterbitkan dalam Theory and Philosophy of Art: Style, Artist, and Society, 1994), mengatakan bahwa Heidegger terlalu filosofis, yang akhirnya melupakan historisitas sepatu itu sendiri. Heidegger dianggap terlalu dalam ketika menganalisis lukisan “sepatu” van Gogh dengan membawa konsep Ada.

Selain itu, Schapiro juga mengkritisi Heidegger dengan mengatakan bahwa apa yang diintrepretasikan Heidegger telah mengabaikan nilai kesenirupaan lukisan tersebut ketika membahasnya secara filosofistik, yang menurut Schapiro, sebenarnya tidak relevan dengan kondisi historisitas.

Meyer Schapiro (1904–1996), courtesy of Wikipedia

Schapiro menganggap Heidegger, yang telah memasukkan Ada ke dalam A Pair of Shoes, justru memburamkan makna historisitas. Seakan-akan, A Pair of Shoes berbicara tentang filsafatnya.

Baca Juga  Benarkah Palestina Negara Pertama yang Mengakui Kemerdekaan Indonesia?

Menurut Schapiro, Heidegger keliru ketika menganggap bahwa sepatu tersebut adalah milik seorang petani miskin di pedesaan. Ia justru adalah milik orang kota. Kelusuhan sepatu itu tidak berarti ia merupakan milik seorang petani, tetapi merupakan milik buruh pabrik di perkotaan

Bahkan, buku Theory and Philosophy of Art: Style, Artist, and Society (1994), Schapiro sempat mencemooh Heidegger yang dianggap tidak mengetahui bahwa van Gogh menggunakan sepatunya sendiri sebagai model lukisannya.

Namun, menurut Michael Kelly dalam buku Iconoclasm in Aesthetics (2003), mengatakan bahwa jika hal tersebut benar, hal tersebut tidak akan banyak berpengaruh pada interpretasi pengamat terhadap lukisan tersebut, kecuali jika lukisan tersebut memang benar dalam arti yang sangat harfiah, yang tentu saja tidak dimaksudkan oleh Heidegger.

Derrida yang Tergelitik

Debat Heidegger dan Schapiro terhadap A Pair of Shoes ternyata menggelitik filsuf Prancis, Jaques Derrida, yang mencoba menjauhi oposisi. Sebelum memberi komentar, Derrida, dalam buku berjudul The Truth in Painting (1987), bertanya: “sungguhkah A Pair of Shoes karya van Gogh itu berbicara mengenai sepatu?”

Bagi Derrida, karya seni, dalam hal ini adalah lukisan, memang harus ditempatkan pada posisinya, yaitu harus dihargai sebagai karya seni an sich. Lebih lanjut, Derrida mengatakan bahwa estetika karya seni seharusnya diapresiasi, dan jangan dikaitkan untuk pemikiran filosofis atau pengetahuan seni.

Jacques Derrida (1930-2004), courtesy of Contemporaryu Thinkers

Derrida menyebut, jika kita mengamati lukisan A Pair of Shoes, ia merupakan lukisan dengan dua buah sepatu kiri saja, bukan sepasang (kiri dan kanan). Derrida pun bertanya: “apakah A Pair of Shoes masih layak disebut sebagai lukisan sepasang sepatu?” Dalam pengamatan Derrida, masing-masing tali sepatu itu berbeda. “Lalu, sungguhkah A Pair of Shoes adalah Sein (Ada) atau Schein (yang semua Ada)?” tanya Derrida.

Baca Juga  Alasan Hakiki Mengapa Mahasiswa Wajib Masuk Organisasi Kemahasiswaan

Derrida juga kembali mempertanyakan, apakah A Pair of Shoes sebagai present atau absen. Bagi Derrida,  di dalam A Pair of Shoes, terdapat suatu suatu kebenaran estetis, dan masih terus meninggalkan jejak-jejak estetis.

Penutup

A Pair of Shoes merupakan karya seorang pelukis besar, Vincent van Gogh. Ia telah menghasilkan banyak karya lukisan yang dapat dikatakan masterpiece. Namun, hanya A Pair of Shoes yang telah menjadi diskursus filosofis para filsuf dan pemikir.

Memang, A Pair of Shoes bukanlah kebenaran ilmiah, sebab jika itu merupakan kebenaran, ia bukanlah seni. A Pair of Shoes merupakan kemungkinan kebenaran dalam value. Sepatu yang digambarkan van Gogh sekadar yang Ada. Akan tetapi sepatu itu melebihi yang Ada. Ia telah menjadi historisitas, memuat kekayaan estetis melebihi Das Sein. Bahkan, A Pair of Shoes telah melampaui historisitasnya (Das Sollen).

2 thoughts on “Ada Apa dengan “Sepatu” van Gogh?

  1. A pair of shoes bukanlah suatu kebenaran ilmiah, sebab a pair of shoes adalah pyuuuur karya seni atau kebenaran dalam values. Sepatu yang digambarkan Van Gogh bukan sekedar ada akan tetapi ia ada dan melampaui historisitasnya…..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *