Politik Historiografi dalam Sejarah Indonesia

Sejarah Indonesia telah memainkan peran penting dalam perjalanan negara-bangsa Indonesia, sejak masa praaksara hingga awal abad ke-21. Tentunya, seiring berjalannya waktu, perkembangan sejarah di Indonesia selalu terjadi, melalui gagasan serta pemikiran baru. Ini merupakan upaya untuk memberikan warna serta corak baru dalam diskursus sejarah Indonesia.

Apabila kita melacak kembali sejarah historiografi Indonesia, kita akan menemukan linatasan sejarah yang luar biasa panjang, dimulai dari historiografi tempatan (tradisional) yang menekankan kehidupan para pembesar kerajaan dan memuat kisah-kisah supranatural, hingga historiografi nasional yang menempatkan orang Indonesia sebagai aktor utama dalam peredaran sejarah Indonesia. Bagaimana perjalanan “politik historiografi” dalam perjalanan sejarah Indonesia?

Historiografi Tempatan dan Kolonial Selayang Pandang

Menurut Taufik Abdullah, melalui Wahyu Iryana dalam artikel Historiografi Islam di Indonesia, historiografi tempatan merupakan “the myth of concern”. Hal tersebut berarti bahwa historiografi tempatan lebih berfungsi sebagai pemantapan nilai atau makna simbolik dari pandangan masyarakat. Historiografi jenis ini tercipta sebagai ekspresi budaya alih-alih bertjuan untuk merekam peristiwa di masa lampau.

Babad Tanah Jawi, salah satu contoh produk historiografi tempatan, courtesy of Kompas.com

Satu ciri penting historiografi tempatan adalah adanya tingkat subjektivitas yang sangat tinggi. Ini terjadi karena ia memiliki muatan politik yang kental. Penulisan sejarah dalam historiografi jenis ini ditujukan sebagai upaya untuk melegitimasi kekuasaan seorang raja, pembesar, atau keluarga kerajaan.

Kedatangan Belanda ke Nusantara sejak akhir abad ke-16 memberikan pengaruh baru dalam historiografi Indonesia. Gaya historiografi yang dibawa Belanda, yang dikenal pada abad ke-20 sebagai historiografi kolonial, menjadikan Belanda sebagai pusat segala gerak sejarah di Indonesia.

Sejarah Indonesia, dalam kacamata historiografi kolonial, mengisahkan berbagai kehidupan orang-orang Belanda, menempatkan mereka sebagai subjek atas berbagai peristiwa sejarah yang terjadi. Dalam historiografi ini, orang Indonesia (kaum bumiputra) ditempatkan sebagai pelengkap bagi orang-orang Belanda. Kalaupun mereka mendapatkan tempat, mereka ditampilkan sebagai “pemberontak,” atau sesuai dengan kepentingan pemerintah kolonial Hindia Belanda saat itu.

Halaman pembuka buku Geschiedenis van Nederlands-Indië Jilid 2 yang disusun F. W. Stapel, courtesy of Boekwinkeltjes.nl

Salah satu karya monumental historiografi kolonial adalah lima jilid Geschiedenis van Nederlands-Indië yang disusun F. W. Stapel. Mengutip Abdul Syukur dalam artikel Historiografi Belandasentris: Pembentukan dan Perkembangannya, buku ini disusun untuk kepentingan pengajaran sejarah di sekolah-sekolah yang dikelola pemerintah kolonial, dan dianggap sebagai titik puncak historiograf kolonial Belanda.

Baca Juga  Akar Sentimen Anti-Yahudi di Indonesia

Dua jilid pertama buku ini membahas sejarah kerajaan-kerajaan di Indonesia pada masa Hindu-Buddha dan munculnya berbagai kerajaan bercorak Islam. Mulai jilid ketiga, fokus utama berubah drastis. Fokus mengenai orang-orang Indonesia dalam dua jilid awal berubah menjadi kehidupan orang-orang Belanda, menjadikan mereka tokoh utama yang memegang kendali lintasan sejarah Indonesia. Orang-orang Indonesia, pada tiga jilid terakhir, terpinggirkan dari pembahasan.

Penciptaan (dan Penghancuran) Historiografi Indonesiasentris

Titik balik perjalanan historiografi Indonesia terjadi sejak 1945, yang diawali dengan peristiwa proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Geliat untuk merekonstruksi sejarah Indonesia semakin gencar disuarakan rakyat Indonesia. Geliat tersebut semakin menguat, hingga mencapai puncaknya pada Seminar Nasional Sejarah Pertama pada 1957.

Seminar Sejarah Nasional Pertama, yang digelar di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, digelar untuk membahas penulisan sejarah Indonesia dengan perspektif bangsa Indonesia. Selain itu, seminar tersebut diarahkan untuk merekonstruksi sejarah nasional Indonesia, sehingga menjadi alat pemersatu bangsa dan pembangunan bangsa.

Pembukaan Seminar Sejarah Nasional Pertama di Yogyakarta pada 1957, courtesy of Tribunnews

Seminar tersebut melahirkan historiografi indonesiasentris. Menurut Sartono Kartodirdjo, melalui Triana Wulandari dalam pengantar buku Menemukan Historiografi Indonesiasentris, historiografi indonesiasentris merupakan “mercusuar” yang menunjukka arah pelayaran historiografi nasional. Melalui historiografi ini, diharapkan rakyat Indonesia dapat ditempatkan sebagai pemeran serta pelaku sejarahnya sendiri, atau history from within. Orang Indonesia tidak lagi menjadi objek sejarah bangsa lain, tetapi lahir sebagai subjek sejarah.

Namun, dalam perjalanannya, historiografi indonesiasentris justru hanya memutarbalikkan para pelaku dalam sejarah Indonesia. Belanda, yang semula menjadi tokoh sentral serba-baik, kini menjadi pelaku serba-jahat, sementara Indonesia menjadi pahlawan serba-baik. Mengutip R. Moh Ali dalam buku Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, historiografi indonesiasentris lebih tepat disebut sebagai historiografi antineerlandosentris.

Baca Juga  Mitos 350 Tahun Dijajah, Apa Kita Masih Membutuhkannya?

Menurut Bambang Purwanto, dalam buku Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!, kondisi tersebut menghilangkan perjalanan sejarah Indonesia dari peran serta pengaruh bangsa asing. Ia hanya menjadi sejara yang cenderung melebih-lebihkan peranan orang Indonesia. Historiografi indonesiasentris, pada akhirnya, hanya menjadi alat untuk menghujat kelompok lain, serta menggunakan masa lalu sebagai tameng pembenaran.

Buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid I (edisi 1975), buku babon pertama sejarah Indonesia dengan jiwa indonesiasentris, courtesy of Tokopedia

Dalam perjalananya, historiografi indonesiasentris, terutama pada masa Demokrasi Terpimpin menjadi alat ideologis untuk memobilisasi masyarakat. Oleh Soeharto dan Orde Baru-nya, historiografi tersebut dikembangkan lebih lanjut, untuk melegitimasi kepentingan politik dan ideologi rezim. Sejarah Indonesia, pada akhirnya, kehilangan esensi sebagai disiplin ilmu yang dinamis. Meminjam istilah Henk Schulte-Nordholt, melalui Febri Ganda Kurniawan dkk. dalam artikel Dominasi Orang-Orang Besar dalam Sejarah Indonesia: Kritik Politik Historiografi dan Politik Ingatan, historiografi indonesiasentris menjadi sebuah “politik historiografi.”

“Historiografi Pembebasan” sebagai Alternatif

Hingga kini, ketika Indonesia telah berada dalam era Reformasi, politik historiografi masih mengakar kuat. Salah satu bukti dari hal tersebut adalah penempatan para big man dalam penuliasn sejarah Indonesia.

Pembahasan sejarah berkosep big man, yang menekankan politik atau militer, menitikberatkan kiprah para tokoh besar yang memiliki kekuasaan atau kekuatan. Dalam konsep ini, mereka dianggap memiliki kuasa untuk menggerakan sejarah Indonesia, mengaturnya sedemikian rupa sesuai dengan keinginan mereka. Mengutip Febri Garda Kurniawan dkk., konsep big man melupakan peranan golongan kecil, yang dianggap tidak memiliki kuasa, dalam peredaran sejarah.

Ilustrasi tentara Indonesia. Historiografi Indonesiasentris menghasilkan produk sejarah yang cenderung big man-sentris, courtesy of Zona Jakarta

Sejarah big man di Indonesia, yang dikembangkan selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru, dilanjutkan hingga saat ini. Indonesia masih belum berdaya mengubah paradigma historiografi Indonesia, mendorongnya untuk menitikberatkan peran masyarakat kebanyakan.

Tentu, terdapat upaya untuk melakukan dekonstruksi sejara Indonesia pada masa Reformasi. Namun, mengutip Slamet Subekti dalam artikel Tinjauan Kritis terhadap Kecenderungan Historiografi Indonesia Masa Kini, upaya tersebut belum sepenuhnya menemui titik terang. Kaum elit masih berkuasa menentukan gerak sejarah, menjadikannya alat pembenar bagi kepentingannya.

Baca Juga  Sejarah Penyerbuan Gajah Mada ke Bali, Awal Bali menjadi Wilayah Kekuasaan Majapahit

Diperlukan antitesis yang kuat untuk melawan historiografi indonesiasentris yang sudah mengakar kuat ini. Historiografi alternatif, yang memperkenalkan perspektif kaum yang terabaikan, perlu digemakan lebih kuat dalam penulisan sejarah Indonesia. Sebuah “historografi pembebasan”, mengutip Singgih Tri Sulistyo dalam artikel Historiografi Pembebasan”: Suatu Alternatif, perlu dibangkitkan, sehingga kesadaran historis masyarakat Indonesia dapat tumbuh bersemi, membebaskan mereka dari manipulasi politis dan ideologis dalam memahami sejarah Indonesia. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *