Harari dan Sejarah sebagai Alat Pembebasan Manusia

“Saya berharap sejarah dapat menjadi alat untuk membebaskan manusia daripada mengikat mereka,” begitu tulis Yuval Noah Harari, sejarawan Israel, ketika berbicara mengenai pengajaran sejarah kepada anak-anak. Dalam opininya, yang diterbitkan The Guardian pada 18 Oktober 2022, ia berharap sejarah dapat menjadi alat untuk menciptakan penyelesaian ketimbang menjaga bara api konflik lama.

Opini tersebut, dewasa ini, bernilai penting bagi kehidupan manusia. Selama ini, manusia menggunakan sejarah hanya untuk mengekalkan konflik yang dialami sesama manusia. Sejarah, oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, hanya digunakan sebagai alat untuk melegitimasi konflik.

Konflik yang berkecamuk di dunia, baik yang sedang terjadi maupun yang telah terjadi, semuanya memiliki akar masa lalu yang dikokohkan dengan legitimasi sejarah. Konflik Israel-Hamas, seperti yang berkecamuk sejak Oktober 2023 hingga hari ini, semua berawal dari klaim kedua belah pihak mengenai Tanah Palestina. Mereka berdua sama-sama merasa sebagai pewaris tunggal, pemegang wahyu yang berhak memerintah di tanah yang dijanjikan Tuhan tersebut.

Konflik lainnya, seperti yang terjadi di Tiongkok antara pemerintah dengan etnis Uighur di Xinjiang, semua memiliki legitimasi historis yang kuat. Tiongkok, melalui pemerintahan yang menekankan persatuan, berusaha menyingkirkan perbedaan-perbedaan masyarakat melalui politik penyeragaman. Kondisi ini, oleh etnis Uighur, dipandang sebagai upaya untuk merenggut identitas mereka. Karena kuasa Tiongkok atas sejarah lebih kuat, etnis Uighur sedikit banyak berhasil ditaklukan.

Bagi anak-anak, bercerita mengenai konflik yang berdarah tersebut merupakan hal yang rumit. Menjadi sebuah tantangan, untuk menciptakan kesadaran sejarah, terutama mengenai peristiwa yang memilukan, kepada mereka yang masih memiliki pemikiran sederhana.

Untuk itu, menurut Harari, dibutuhkan pendekatan yang penuh empati untuk bercerita mengenai hal tersebut kepada anak-anak. Ia mengatakan bahwa kisah-kisah kelam hanya bisa diceritakan kepada anak-anak ketika mereka telah siap untuk menerimanya. Selama mereka masih dipandang belum siap, cukup sajikan sejarah konflik sebagai upaya untuk menciptakan kemajuan yang lebih baik, meski, bagi Harari, itu merupakan sebuah wishful thinking.

Maka dari itu, mengutip pernyataan Kuntowijoyo, sejarah konflik maupun sejarah yang menampilkan kekerasan hanya dapat diceritakan kepada anak-anak yang telah memasuki jenjang pendidikan SMP. Mereka, yang sudah mulai memiliki kemampuan berpikir kritis, diharapkan dapat menentukan nilai dan makna dari peristiwa-peristiwa seperti itu. Pada akhirnya, mereka, sebagai generasi penerus, dapat membebaskan diri mereka dari akar konflik dan kebencian yang ditinggalkan generasi penerus.

Baca Juga  Sejarah Tampil Layaknya Sebuah Bawang

Disayangkan, bagi negara, sejarah hanya dianggap sebagai sarana untuk menumbuhkan nasionalisme. Alih-alih mengajak generasi penerus untuk menghayati nilai dari subjektivitas sejarah, sejarah versi negara hanya mendorong mereka untuk menghayati nilai luhur para pahlawan dan mencaci-maki para penjahat. Kondisi ini, justru, mengikat mereka dalam bara konflik alih-alih membebaskan mereka.

Pada akhirnya, sudah seharusnya negara menghayati kembali pernyataan Harari di atas. Sejarah, seperti yang diungkapkan Harari, diharapkan menjadi alat untuk membebaskan manusia dari ikatan konflik dan kebencian. Dengan memfungsikan sejarah sebagai demikian, generasi penerus tidak hanya mewarisi pemikiran kritis. Mereka juga akan mewarisi empati, tidak hanya dalam melihat masa lalu, tetapi juga untuk melihat masa kini dan masa depan.

Tulisan ini pernah diterbitkan di NNC Hype pada 23 Januari 2024. Tautan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *