Menyuarakan Persatuan dan Perdamaian Pascapemilu

Pemilu 2024, yang telah diselenggarakan pada 14 Februari 2024 lalu, merupakan pemilihan umum yang penting dalam sejarah elektoral Indonesia. Dalam pemilu ini, masyarakat Indonesia secara serentak memilih anggota legislatif, pemimpin daerah, dan pemimpin negara.

Dalam pelaksanaannya, terdapat banyak kepentingan para elite politik, yang ingin mendapatkan kekuasaan. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa para pemilik kepentingan tersebut menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan.

Mengutip Agus Sutisna dalam artikel Analisis Faktor-Faktor Non Elektoral Potensi Pemicu Konflik Pemilu Tahun 2024 (2023), terdapat sebuah fenomena dalam dunia perpolitikan Indonesia. Fenomean tersebut berupa pandemi atau wabah informasi (infodemi), yang berupa berbagai informasi seputar kepemiluan yang mengarus deras dan melimpah (overload of information) di ruang publik dengan tingkat akurasi yang rendah. Dalam konteks ini, berita bohong atau hoaks, berita palsu (fake news), kampanye hitam (black campaign), dan ujaran kebencian (hate speech) serta fitnah, memperoleh ruang tersendiri.

Ilustrasi ujaran kebencian, courtesy of detikcom/suaramuslim.net

Fenomena infodemi telah dikaji oleh para akdemisi. Namun, sebagian besar kajian tersebut masih berfokus pada isu perhelatan elektoral semata.

Isu infodemi, sejauh ini, lebih banyak didiskusikan dalam kaitannya dengan gejala pandemi Covid-19 dan/atau literasi digital. Sebagai contoh, artikel Rachmad Gustomy yang berjudul Pandemi ke Infodemi: Polarisasi Politik dalam Wacana Covid-19 Pengguna Twitter (2020), menggambarkan bagaimana gejala infodemi (khususnya yang berkembang di platform Twitter/X) seputar Covid-19 telah membelah masyarakat secara politik ke dalam dua kutub, yakni populis pluralis dan populis Islam.

Kedua kutub tersebut terbelah dalam merespon dan menyikapi wacana kebijakan pemerintah menangani Covid-19. Mereka bertengkar dan saling menyerang satu sama lain di ruang publik. Kondisi ini menjadi semakin ironis, ketika pertengkaran antara kedua kutub tersebut didominasi oleh para buzzer, menenggelamkan kelompok kritis dan rasional.

Baca Juga  Filsafat dan Agama, Dua Jalan Mencapai Kebenaran

Pada mulanya, istilah buzzer merupakan konsep dalam dunia bisnis, lebih tepatnya dalam bidang pemasaran ekonomi. Menurut Rieka Mustika dalam artikel Pergesesran Peran Buzzer ke Dunia Politik di Media Sosial (2019), buzzer merupakan teknik pemasaran barang atau jasa yang menggunakan kekuatan mata rantai informasi dari mulut ke mulut untuk menghasilkan bisnis yang menguntungkan.

Ilustrasi buzzer, courtesy of SINDOnews

Seiring dengan perkembangan media sosial dan teknologi, istilah buzzer berubah menjadi menjadi semakin populer dan tumbuh semakin masif. Ia tidak hanya berfungsi sebagai pengunggah cuitan di media sosial, tetapi juga menjalankan fungsi-fungsi kampanye kepada pengikuti buzz marketing.

Penggunaan buzzer di media sosial, pada mulanya adalah untuk melawan atau menegasikan kampanye hitam terhadap seorang kandidat sekaligus untuk meningkatkan citra positifnya di mata publik. Diharapkan, kandidat politik tersebut tidak kalah dan berakhir tenggelam karena tebaran fitnah para kompetitornya.

Namun, istilah buzzer saat ini mulai mengalami pergeseran fungsi yang drastis. Kini, mereka cenderung menjadi perangkat bagi para kontestan pemilu untuk kepentingan mengoperasikan berbagai bentuk kampanye hitam atau kampanye negatif di media sosial. Mereka juga kerap terlibat secara masif dalam penyebaran hoaks dan ujaran kebencian, mempengaruhi perspektif masyarakat.

Kini, setelah Pemilu 2024 telah usai, sikap menyebarkan kebencian dan perpecahan sudah seharusnya dihentikan. Para politisi dan kontestan pemilu perlu mengadakan rekonsiliasi, menyatukan kembali masyarakat yang telah terpecah karena perbedaan pandangan politik. Mengutip pandangan KH Khairil Anwar, Guru Besar IAIN Palangkaraya, pada akhir Februari 2024, rekonsiliasi sangat penting bagi setiap elemen masyarakat untuk mewujudkan kondisi pascapemilu yang damai.

KH Khairil Anwar, guru besar IAIN Palangkaraya, courtesy of Tribunnews.com

Rekonsiliasi perlu dilakukan untuk meredam polarisasi di tengah masyarakat pascapemilu. Namun, rekonsiliasi pascapemilu bukan merupakan hal yang sederhana. Ia membutuhkan komitmen dari semua pihak, terutama kandidat yang menjadi pemenang dan yang kalah, untuk menempatkan kepentingan bangsa di atas segalanya.

Baca Juga  Mitos 350 Tahun Dijajah, Apa Kita Masih Membutuhkannya?

Pada akhirnya, seluruh lapisan masyarakat diharapkan turut aktif menyuarakan rekonsiliasi, suara menuju perdamaian dan persatuan, di negara ini. Dengan semangat persatuan dan pedamaian, gelora untuk membangun bangsa dapat ditempatkan sebagai kepentingan paling utama di negara ini, mengalahkan kepentingan individu maupun kepentingan golongan.

*Tulisan ini merupakan penyuntingan terhadap versi awal yang dikirimkan penulis kepada editor-in-chief Historical Meaning. Versi lain tulisan ini telah terbit dalam koran Gala Bandung edisi 28 Maret 2024 dengan judul Pemilu Sudah Usai, Mari Suarakan Persatuan dan Perdamaian, dan Netral News (https://netralnews.com) pada 24 Maret 2024 dengan judul Pemilu Sudah Usai, Mari Suarakan Persatuan dan Perdamaian!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *