Manusia adalah makhluk sosial. Ini berarti ia membutuhkan orang lain dalam perjalanan hidupnya. Secara biologis, manusia membutuhkan suatu hubungan untuk melengkapi hidupnya, yang dikenal sebagai perkawinan. Menurut Abdul Rahman Ghozali, perkawinan berasal dari kata “kawin”, yang berarti membentuk keluarga dengan lawan jenis, atau melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Mengutip Sayid Sabiq, melalui buku Hukum Perkawinan di Indonesia yang ditulis oleh Mesta Wahyu Nita M. H., menyatakan bahwa perkawinan merupakan satu sunatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik manusia, hewan maupun tumbuhan.
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia bukan hanya menghubungkan antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan formal, dalam bentuk keluarga, tetapi juga mempertalikan pihak keluarga laki-laki dan perempuan, keluarga besar, hingga suku.
Mengutip Ghozali, tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Bagi masyarakat adat, tujuan perkawinan lebih bersifat kekerabatan, yakni untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis bapak atau ibu, juga untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya. Melihat keberagaman suku di Indonesia, tujuan perkawinan bisa saja berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain, termasuk dalam hal hukum dan tata upacaranya.
Tradisi Arak Penganten di Dusun Pelinggihan
Seiring berjalanannya waktu, budaya yang telah terbentuk lama, termasuk adat perkawinan, mulai luntur sedikit demi sedikit. Generasi baru mengganti adat tersebut menjadi adat yang lebih sederhana. Hal tersebut, salah satunya terjadi di Dusun Pelinggihan, Desa Wringin, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur.
Tradisi perkawinan di Dusun Pelinggihan memiliki kemiripan dengan tradisi perkawinan di Madura. Ini terjadi karena, menurut kepercayaan masyarakat, leluhur masyarakat Pelinggihan merupakan orang Madura.
Masyarakat Pelinggihan, yang mayoritas berbahasa Madura memiliki satu tradisi perkawinan, yang kini sudah tidak digunakan lagi. Tradisi tersebut adalah arak penganten. Menurut penuturan Mbah Aksan, Kepala Dusun Pelinggihan, tradisi tersebut menghilang karena tergerus zaman.
Pada abad ke-20, tradisi arak penganten di Dusun Pelinggihan masih dibudayakan. Menurut penuturan Mbah Aksan, tradisi tersebut bahkan pernah menjadi ajang perlombaan di Madiun. “Saya salah satu peserta yang mengikutinya, dengan peran [sebagai] bapak kepala desa,” kenang Mbah Aksan, yang pernah aktif dalam kegiatan di dusun pada dekade 1990-an, ketika diwawancarai pada akhir Desember 2023.
Prosesi Perkawinan di Dusun Pelinggihan
Langkah pertama jika seseorang ingin melangsungkan perkawinan adalah dengan melakukan tradisi tunangan. Tradisi tersebut diawali dengan seorang laki-laki berkunjung ke rumah calon perempuan, dengan tujuan melamar. Kunjungan dilakukan dengan membawa buah tangan, yang umumnya berupa kopi dan gula.
Jika lamaran tersebut diterima, keluarga perempuan akan membalas kunjungan, dengan berkunjung ke rumah keluarga laki-laki. Kemudian, kedua keluarga akan saling berkunjung, dengan membawa tumpeng, kue, serta seserahan. Umumnya, pihak laki-laki membawa pakaian, alat berhias dan perhiasan, sedangkan pihak perempuan membawa pakaian dan rokok.
Setelah tunangan, dalam beberapa hari atau bulan, tentunya sesuai kesepakatan, kedua keluarga mempelai bermusyawarah mencari hari baik (nyareh dedhinan) untuk melaksanakan akad pernikahan. Umumnya, keluarga tidak langsung melakukan resepsi setelah akad. Resepsi cenderung dilaksanakan menyusul beberapa hari kemudian, sesuai kesepakatan kedua keluarga. Setelah menemukan hari baik (dedhinan), resepsi mulai dilaksanakan.
Pementasan Jaran Kencak
Pada upacara perkawinan, ia akan dimeriahkan dengan pementasan kesenian jaran kencak. Dusun Pelinggihan adalah salah satu wilayah yang memiliki kesenian ini, mengingat kesenian jaran kencak tersebar di Kabupaten Jember, Bondowoso, Probolinggo, Banyuwangi, dan wilayah Tengger.
Jaran kencak merupakan pertunjukan kesenian tari dengan jaran (kuda) yang menari-nari dan telah dirias dengan pakaian tertentu. Jaran yang dipentaskan umumnya sudah dilatih oleh sang pawang. Kesenian ini hampir sama dengan kuda renggong dalam masyarakat Sunda dan jaran jenggo di wilayah pantai utara Jawa (Pantura).
Awal mula kesenian jaran kencak bermula dari kepercayaan masyarakat Dusun Pelinggihan. Ketika ada anak mereka yang menderita sakit terlalu lama, orang tua akan mengucapkan niat (ketoprak), yang berbunyi “jika anaknya sembuh, ia berniat akan mengadakan pementasan jaran kencak”. Seiring berjalannya waktu, jaran kencak berubah menjadi bagian dalam upacara perkawinan Dusun Pelinggihan hingga sekarang.
Jaran kencak umumnya dilakukan di depan halaman rumah keluarga mempelai laki-laki atau perempuan. Ia dipentaskan dengan diiringi terbheng, permainan alat musik tradisional, seperti gendang dan lainnya, dan syair-syair sholawat. Jaran yang ditunggangi akan didandani dengan kostum kuda. Ketika kedua pengantin menungganginya, kuda tersebut akan berjalan keliling halaman, seakan-akan menikmati syair-syair yang mengiringinya.
Terkadang, jaran kencak diiringi dengan kidung dari ludruk. Namun, hal tersebut lebih banyak dilakukan oleh kaum yang berkecukupan, memiliki banyak uang. Sama seperti budaya arak penganten yang sudah jarang sekali dilakukan, kesenian jaran kencak ikut mengalami nasib serupa. Upacara perkawinan di Dusun Pelinggihan tidak semeriah dulu, ketika masyarakatnya masih memperingati penyatuan dua keluarga melalui arak penganten dan jaran kencak. Hal tersebut sangat disayangkan, mengingat kedua tradisi tersebut memiliki akar sejarah dan kultural yang kental dalam benak masyarakat Dusun Pelinggihan.