Antiperpustakaan dan Masa Depan Pembaca Buku

Ketika saya pertama kali mendengar istilah “antiperpustakaan” (antilibrary), saya pikir istilah tersebut merujuk kepada seseorang yang membenci perpustakaan. Namun, ternyata tidak demikian. Mengutip sebuah artikel di Ness Labs, anti-perpustakaanadalah sebutan untuk koleksi pribadi dari buku-buku yang belum dibaca.

Istilah anti-perpustakaan pertama kali disebutkan dalam buku The Black Swan tulisan Nassim Nicholas Taleb. Dalam buku tersebut, Taleb menyinggung tentang Umberto Eco, seorang filsuf dan cendekiawan yang memiliki perpustakaan besar dengan koleksi berjumlah sekitar 30.000 buku.

Taleb mengatakan bahwa Eco membagi pengunjung perpustakaannya menjadi dua kategori. Pertama, mereka yang terkagum-kagum dengan banyaknya koleksi buku di perpustakaan yang ia miliki, dan bertanya seberapa banyak buku yang sudah dibacanya. Kedua, adalah mereka yang beranggapan bahwa perpustakaan pribadi semestinya dijadikan sebagai alat penelitian, bukan untuk meningkatkan egoisme.

Umberto Eco (1932-2016) dan koleksi buku-bukunya, courtesy of Upstate Films

Bagi Eco, antiperpustakaan bertujuan untuk mengumpulkan koleksi buku yang memantik keingintahuan kita, bukan untuk memamerkan betapa banyak buku yang sudah dibaca dengan penuh kebanggaan. Menurutnya, perpustakaan dengan buku-buku yang belum dibaca adalah pengingat akan banyaknya hal yang tidak kita ketahui.

Secara sederhana, Eco beranggapan bahwa perpustakaan yang bagus berisi koleksi buku yang belum dibaca. Meski terkesan nyeleneh, saya dapat katakan bahwa antiperpustakaan merupakan sesuatu yang buruk. Ia, menurut hemat saya, melegitimasi tindakan menimbun buku.

Di Jepang, terdapat sebuah istilah yang sangat mirip dengan konsep antiperpustakaan. Ia dikenal sebagai tsundoku. Mengutip laman resmi FISIP Unair, tsundoku adalah keadaan ketika seseorang membeli, memiliki atau menumpuk banyak buku, akan tetapi tidak pernah membacanya. Seorang tsundoku akan membeli sebuah buku, meski ia sendiri tidak benar-benar membutuhkannya.

Fenomena anti-perpustakaan ataupun tsundoku, sepertinya terjadi juga di Indonesia. Pernah suatu ketika, saya berkomentar di satu unggahan Instagram mengenai buku, dan saya bertanya apa isi buku tersebut. Sang pengunggah menjawab bahwa dia sama sekali tidak mengetahui isinya. Buku tersebut belum pernah dibaca, meski sudah lama ia miliki.

Ilustrasi seorang tsundoku, courtesy of Linkedln

Hal yang mengejutkan, ketika ia mengatakan bahwa memang ada sebagian bukunya yang hanya dikoleksi, tanpa pernah dibaca. Ia mengaku, bahwa terkadang dirinya hanya tertarik pada sampul buku yang estetik. Terakhir, tentu saja, ia membeli dan mengoleksi buku demi kebutuhan konten Instagram.

Tidak hanya sekali, saya sering menemukan orang-orang yang berperilaku anti-perpustakaan seperti orang di atas. Mulai dari mereka yang mengoleksi ebook di gawai (smartphone) dan peralatan elektronik lainnya, hingga mereka yang memamerkan foto atau video buku estetik di media sosial. Meski tampak sebagai sesuatu yang positif, perilaku tersebut mampu menimbulkan dampak negatif bagi pelakunya.

Baca Juga  Akademisi Kampus Kritik Jokowi, Ke Mana Kalian Semua Selama ini?

Salah satu dampak buruk tersebut adalah dalam bidang ekonomi. Orang-orang yang kecanduan membeli buku dan tidak membacanya akan terus-terusan mengeluarkan uang untuk kebutuhan yang tidak penting. Seperti dikisahkan dalam novel Rumah Kertas karya Carlos Maria Dominguez, tokoh bernama Carlos Brauer sangat terobsesi dengan buku, sampai-sampai ia rela mengeluarkan uang yang tak sedikit untuk membeli buku langka di pelelangan.

Lantas saya bertanya-tanya, apa guna sebuah buku jika sekadar dikoleksi atau hanya menjadi objek foto? Buku-buku yang terpampang di rak tanpa pernah disentuh, dan dibiarkan berdebu, tak ada bedanya dengan objek koleksi, seperti guci antik dan lukisan yang menempel di dinding. Buku malah tampak sebagai dekorasi rumah semata.

Ilustrasi seorang anak yang sedang membaca buku, courtesy of BBC

Melihat perilaku mereka yang menganggap buku hanya sebagai pajangan, saya menjadi khawatir terhadap nasib pembaca buku di masa mendatang. Boleh jadi, di masa depan, tak akan ada lagi istilah “pembaca buku”. Yang ada hanyalah istilah “kolektor buku”.

Hal yang lebih menakutkan lagi, yang dijadikan sebagai sumber informasi bagi masyarakat hanya konten YouTube dan TikTok. Buku, yang seharusnya menjadi referensi utama, hanya dibiarkan nongkrong di rak sampai dimakan rayap.

Saya berharap situasi ini tidak berkelanjutan, dan tidak pernah terjadi. Jika orang-orang terus-menerus membeli buku hanya untuk ditelantarkan, sejatinya itu merupakan tragedi literasi. Minat koleksi buku tinggi, tetapi minat baca rendah.

Ilustrasi seorang pembaca buku, courtesy of Time and Date

Buku bukan hanya sebuah benda mati. Buku mampu memberikan spirit kehidupan bagi yang membacanya. Sebagaimana makanan adalah kebutuhan bagi jasmani, buku pun adalah kebutuhan bagi pikiran.

Lantas, bagaimana sebuah buku dapat memancarkan pengetahuan, jika orang tidak pernah membukanya? Tentu kita tidak akan berpikir bahwa pengetahuan yang ada di dalam buku tiba-tiba berada dalam otak kita hanya dengan mengoleksinya saja.

Baca Juga  Mencari Pemimpin Indonesia Pro Pembangunan Mental-Spiritual

Eco memiliki alasan tersendiri mengapa ia mengoleksi buku, tetapi tidak membacanya. Namun, saya ragu orang lain akan memiliki alasan serupa dengan Eco.

Demi menghindari punahnya pembaca buku, sudah sepatutnya orang-orang membuka bukunya yang belum sempat dibaca. Dengan demikian, pembaca buku akan terus eksis, dan buku tidak akan pernah kehilangan pembacanya di masa depan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *