“Andaikata saya malaikat Tuhan, yang bertugas menulis ‘Sejarah Keberanian’ jelas saya akan memilih Yulianto daripada Bambang Sudjatmiko, Ketua Partai Rakyat Demokratik yang dipersangkakan terlibat dalam kerusuhan 27 Juli 1996 di Jakarta,” ungkap Kuntowijoyo dalam buku Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas: Esai-esai Politik dan Budaya halaman 196.
Siapa yang mengenal nama Yulianto? Tak seorang pun di sekitar tempat tinggalnya di desa Mlilir, Kecamatan Mojogedang, Kabupaten Karanganyar, Surakarta, Jawa Tengah, yang mengenalinya. Hanya di masjid dan sekitarnya namanya dikenal. Lain halnya dengan Bambang Sudjatmiko. Namanya dikenal dan sudah pasti masuk dalam sejarah Indonesia versi manusia.
Seorang bernama Yulianto, yang hidupnya bergantung pada takmir (pengurus) masjid, mengajar agama di daerah pelosok itu dengan ikhlas, tanpa mengeluh, dan yang jelas, tanpa masa depan. Makan dari hasil jimpitan beras para anggota jemaah, yang setiap bulan hanya terkumpul 25 sampai 30 kg beras. Takmir hanya memberi 30 ribu rupiah untuk lauk-pauknya.
Entah bagaimana Yulianto dan keluarganya itu memenuhi kebutuhan pokok yang lain, seperti minyak goreng, deterjen, transportasi, sandang, dan sebagainya. “Kadang-kadang saya berpikir, bagaimana takmir masjid itu sampai hati ‘membunuh’ mereka, ‘menyiksa’ mereka dengan cara ‘eksploitasi’ semacam itu,” lanjut Kuntowijoyo dalam esai tersebut.
Itulah mengapa Yulianto masuk dalam sejarah versi malaikat. Sebab, menurut Kuntowijoyo, syarat untuk masuk dalam sejarah versi malaikat adalah keikhlasan. Semua dikerjakan atas panggilan Tuhan, tanpa pamrih, dan tidak pernah merasa menjadi pahlawan.
Bagi Kuntowijoyo, sejarah versi manusia hanya melihat data-data empiris, berupa catatan-catatan, buku harian, pemberitaan media massa, maupun secara lisan ke lisan. Namun, sejarah versi manusia tidak bisa melihat data-data batin, seperti niat, pikiran, perasaan, dan impian seseorang.
Oleh sebab itu, memahami sejarah tak sesederhana menceritakan kembali peristiwa yang terjadi di masa lampau. Sejarah merepresentasikan segala yang pernah dipikirkan, diucapkan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh manusia.
Sejarah diibaratkan sebagai orang yang berada di kereta yang duduk menghadap ke arah belakang. Ia hanya dapat melihat ke belakang serta ke samping, satu-satunya keterbatasan adalah tidak bisa melihat ke depan.
Kuntowijoyo, dalam buku Pengantar Ilmu Sejarah, menjelaskan fungsi sejarah yang meliputi nilai intrinsik dan ekstrinsik. Secara intrinsik, sejarah memiliki nilai pengetahuan. Jika didekomposisi lebih lanjut, ada empat fungsi sejarah secara intrinsik, yaitu sebagai disiplin ilmu, metode untuk mengetahui masa lampau, sarana menyampaikan pandangan, dan basis profesi.
Berbeda dengan nilai intriksik di atas, manfaat ekstrinsik sejarah terletak pada persiapan mahasiswa untuk mengembangkan kapasitas filosofis. Ini terkait dengan peran sejarah dalam mendukung pendidikan moral, penalaran, politik, kebijakan, perubahan, pemikiran masa depan, estetika, dan ilmu pengetahuan. Lebih jauh lagi, sejarah juga berperan sebagai latar belakang, referensi, dan bukti.
Itulah fungsi sejarah versi manusia; terpaku pada nilai intrinsik dan ekstrinsik, disiplin ilmu, serta metode-metode empiris. Sejarah versi manusia semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia, seperti pendidikan, penalaran, kebijakan, dan ilmu pengetahuan.
Sejarah versi malaikat tidak demikian. Ia tidak terpaku dengan berbagai elemen yang menjadi dasar sejarah versi manusia. Sejarah versi malaikat adalah karunia Tuhan, untuk mereka yang bekerja dengan ikhlas, dicatat sebagai keberanian sejati.
Membaca pemahaman Kuntowijoyo mengenai sejarah versi manusia dan versi malaikat ini, sudut pandang kita terhadap sejarah haruslah berubah. Selama ini, kita terlalu mengagung-agungkan sejarah versi manusia. Sebagai contoh, dalam kisah Peristiwa 10 November 1945, kita lebih menitikberatkan peran seorang Bung Tomo, dan mengesampingkan andil santri dan pesantren, sebagaimana yang dapat kita temui dalam buku Pertempuran 10 November 1945. Kisah mereka, para sosok tanpa nama yang berani membela nusa dan bangsa, hanya tampil tidak lebih dari dua halaman dalam buku tersebut
Kita perlu memperluas sudut pandang kita dalam melihat sejarah. Jangan hanya terpaku pada sejarah versi manusia saja. Kita perlu juga mempertimbangkan sejarah versi malaikat, yang menggambarkan para pelaku sejarah kecil yang ikhlas menjalani hidup mereka.