Setelah harus “berpuasa” karena pandemi, pemuda Bali diizinkan mengarak ogoh-ogoh dalam peringatan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1945, 21 Maret 2023. Sejak pertengahan Januari, pemuda di seluruh banjar di Bali sibuk mempersiapkan ogoh-ogoh terbaik mereka. Terlebih, dengan adanya lomba ogoh-ogoh tingkat provinsi yang kembali diadakan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, menambah gairah kaum pemuda untuk membuat ogoh-ogoh.
Jika kita bertanya kepada orang Bali mengenai sejarah ogoh-ogoh, mereka mungkin akan mengatakan bahwa ogoh-ogoh sudah ada sejak lama. Kebiasaan orang Bali yang sering lupa dengan perjalanan sejarah hidupnya membuat sejarah ogoh-ogoh tak banyak digali. Ini diperparah dengan enggannya masyarakat Bali menggali sumber-sumber terbitan berkala, yang dapat mengungkapkan riwayat pulau mungil tersebut.
Lalu, bagaimana sejarahnya? Ogoh-ogoh pertama kali tercatat dalam pemberitaan harian Bali Post edisi 6 Maret 1984. Dalam pemberitaan tersebut, ogoh-ogoh dikenal sebagai “onggokan”, berarti sesuatu yang di-onggok (diangkat), dan menjadi tradisi masyarakat banjar Kedaton, Kesiman Petilan, Kecamatan Denpasar Timur, sebagai wujud pengusir bhuta kala pada upacara “Tawur Kesanga”, atau malam Pangerupukan seperti yang dikenal sekarang.
Wujud onggokan yang dibuat pada periode tersebut, menurut pemberitaan Bali Post, didasari atas kisah-kisah historis yang erat kaitannya dengan upacara Hari Raya Nyepi maupun Tawur Kesanga. Sasih (bulan) Kesanga dikenal masyarakat Bali sebagai musim kawin bagi anjing, dan onggokan yang menggambarkan anjing yang sedang kawin menjadi bentuk populer.
Berbeda dengan ogoh-ogoh dewasa ini yang membutuhkan waktu dua bulan pengerjaan, onggokan pada masa awal dikerjakan selama lima hingga sepuluh hari, dengan biaya tidak kurang dari Rp 40.000 (sekitar Rp 760.000 dengan tingkat inflasi pada 2023). Onggokan dibangun dengan bahan-bahan yang sederhana, yakni kerangka bambu dengan pelapis kertas koran dan kain, yang diwarnai dengan cat warna-warni.
Setahun kemudian, onggokan, yang kini bernama ogoh-ogoh, meramaikan malam pengerupukan di wilayah Denpasar pada malam Pengerupukan 21 Maret 1985. Puluhan ogoh-ogoh tersebut mengikuti rute dari Jalan Imam Bonjol, berkeliling di pusat kota Denpasar dan berakhir kembali ke banjar masing-masing.
Menurut Ngurah Oka Supartha, dalam artikel berjudul “Ogoh-ogoh” yang terbit dalam Bali Post Edisi Pedesaan edisi 29 Maret 1987, ogoh-ogoh sudah ada sejak lama. Ia bermula dari bentuk bhuta kala yang biasa dibuat ketika ada upacara Pitra Yadnya (pembakaran mayat). Para undagi dan sangging (istilah bagi ahli konstruksi di Bali), membuat ogoh-ogoh dengan wajah yang dibuat sama persish atau mendekati dengan wajah orang yang meninggal. Tradisi tersebut kemudian diprofankan oleh pemuda Bali, menjadikannya sebagai sarana untuk meramaikan malam Pangerupukan.
Mulai akhir 1980-an, ogoh-ogoh mulai diadopsi pemuda di wilayah lain di Bali. Menurut IBG Agastia, ia menjadi wujud semangat keagamaan masyarakat Hindu di Bali. Ogoh-ogoh, menurutnya, lahir dari tangan para pemuda dan remaja yang menjadi wujud solidaritas, kreativitas, dan tidak ada alasan untuk melarang pembuatan ogoh-ogoh (Bali Post. 18 Maret 1988). Ogoh-ogoh, pada akhirnya, menjadi bagian tak terpisahkan dengan penyelenggaraan Nyepi di Bali.
Referensi
[1] Bali Post. 6 Maret 1984.
[2] Bali Post. 21 Maret 1985.
[3] Ngurah Oka Supartha. 1987. “Ogoh-ogoh” dalam Bali Post Edisi Pedesaan. 29 Maret.
[4] Bali Post. 18 Maret 1988.