Ruwahan, Tradisi Menghormati Arwah Leluhur dalam Masyarakat Jawa

Pada 23 Maret 2023, umat Muslim di Indonesia akan menyambut bulan suci Ramadan. Berbagai persiapan dilakukan jauh-jauh hari, yakni pada bulan Syaban dalam kalender Hijriah, atau Ruwah dalam kalender Jawa. Pada bulan tersebut, umat Muslim di Jawa melakukan tradisi yang umum dikenal sebagai Ruwahan.

Ruwahan, yang diambil dari akar kata Ruwah, merupakan nama umum untuk tradisi menghormati arwah leluhur pada bulan Syaban atau Ruwah. Dilansir dari halaman resmi Kapanewon Samigaluh, Ruwahan muncul sebagai perpaduan adat masyarakat Jawa dengan ajaran Islam.

Ruwahan memiliki beberapa nama. Di Samigaluh, Kulon Progo, tradisi menghormati roh leluhur pada bulan Ruwah dikenal dengan nama Nyadran. Untuk memperingati tradisi Nyadran, masyarakat beramai-ramai membersihkan makan leluhur, menabur bunga, dan melaksanakan kenduri pada malam hari. Istilah Nyadran juga dikenal di wilayah Wonosobo dan masyarakat Kecamatan Cepogo, Boyolali di lereng Gunung Merapi.

Di Wonosobo, tradisi Nyadran umum dilakukan oleh orang tua. Mereka mengunjungi makam leluhur yang telah meninggal, membersihkan makam, serta mendoakan mereka. Setelah itu, desa dan masjid akan mengadakan kenduri. Mengutip Abdul Basir, tradisi ini dilakukan rutin, meski tidak dirayakan secara besar-besaran ketika bulan Ruwah. Kebersamaan menikmati berkah adalah hal yang lebih diutamakan.

Masyarakat Wonosobo menyantap hidangan di dalam tenong ketika Nyadran, courtesy of GenPi.co

Lain di Wonosobo, Nyadran lain lagi di Boyolali. Tradisi Nyadran di Boyolali, yang dilakukan pada pertengahan bulan Syaban, menjadi destinasi wisata bagi masyarakat luar. Tradisi tahunan ini dilakukan secara bergiliran oleh beberapa desa dengan membawa arak-arakan tumpengan dan makanan khas daerah sarat makna, seperti kue apem, ketan, dan pisang, ke makam leluhur dan keluarga.

Mengutip Azkia Farah Iffana, masyarakat Boyolali menyiapkan tahlil (undangan berdoa) di malam sebelum Sadran (ziarah). Keesokan paginya, mereka berziarah dengan membawa tenong. Usai berziarah, mereka duduk bersama dan memakan makanan yang mereka bahwa. Bahkan, makanan yang dibawa juga dibagikan kepada peziarah lainnya. Terakhir, mereka menggelar open house bagi siapapun yang ingin mengikuti kenduri dengan hidangan khas Boyolali.

Baca Juga  Ketika Kartini Ingin Menjadi Hamba Allah

Di Jawa Timur, Ruwahan memiliki nama yang berbeda. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Clifford Geertz yang dituangkan dalam Agama Jawa, Ruwahan dikenal dengan nama Megengan. Megengan dilakukan pada tanggal 29 Ruwah, dengan berziarah, menabur bunga dan apem di atas makam. Selain berziarah, masyarakat Mojokuto yang diteliti Geertz juga mandi dan keramas untuk menyambut Ramadan keesokan harinya.

Megengan dilakukan dengan menyiapkan nasi berkat dan sejumlah lauk pauk kepada sejumlah tamu yang akan diundang. Mereka yang datang akan berdoa untuk keselamatan leluhur dan mereka yang hadir, agar dibersihkan dari perbuatan dosa sebelum memasuki bulan Ramadan. Di akhir acara, mereka saling bermaaf-maafan dan bercengkrama menikmati nasi berkat yang telah dipersiapkan.

Meski memiliki beberapa nama, tradisi Ruwahan memiliki dua esensi penting, yakni sebagai ibadah untuk menghormati arwah leluhur dan berkumpul bersama menikmati makanan khas, bercengkrama dengan sesama untuk menyambut Ramadan.
Ribuan warga merebut kue apem ketika tradisi Megengan dilakukan di Surabaya, Jawa Timur, courtesy of Kompas Regional

Menurut Ali Ridho, tradisi Megengan mengutamakan nilai silaturahmi, saling memaafkan antar masyarakat, dan memanjatkan doa kepada leluhur supaya leluhur yang sudah meninggal. Momen Megengan digunakan oleh masyarakat untuk berkumpul dan berdoa, agar leluhur mereka ditempatkan di tempat yang layah oleh Allah. Juga, mereka saling bermaaf-maafan, yang disimbolkan dengan kue apem, afuwum dalam bahasa Arab, yang berarti memaafkan atau mengampuni.

Meski memiliki nama yang berbeda, Ruwahan merupakan wujud masyarakat Islam di Jawa yang masih memiliki hubungan kedekatan dengan leluhur. Penghargaan terhadap keberadaan leluhur tidak berbenturan dengan pemahaman masyarakat akan agama Islam. Ruwahan menjadi wujud hubungan yang harmonis antara tata kehidupan masyarakat Jawa dengan Islam.

Referensi

[1] “Nyadran dan Ruwahan, Tradisi Warga Samigaluh Sambut Ramadhan” https://samigaluh.kulonprogokab.go.id/detil/491/nyadran-dan-ruwahan-tradisi-warga-samigaluh-sambut-ramadan. Diakses 19 Maret 2023.
[2] Abdul Basir. 2013. “Nilai Pendidikan Islam dalam Budaya Tenongan Nyadran Suran di Dusun Giyanti Wonosobo” dalam Jurnal Kependidikan Al-Qalam. Vol. 9. No. 2.
[3] Ali Ridho. 2019. “Tradisi Megengan dalam Menyambut Ramadhan, Living Qur’an sebagai Kearifan” dalam Jurnal Literasiologi. Vol. 1. No. 2.
[4] Azkia Farah Iffana. 2017. “Pola Komunikasi Tradisi Sadranan (Pola Komunikasi Masyarakat Desa Cepogo, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali dalam Melestarikan Tradisi Sadranan)”. Publikasi. Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
[5] Geertz, Clifford. 2017. Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa. Depok: Komunitas Bambu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *