Beberapa tahun yang lalu, publik pernah digemparkan oleh teori yang mengklaim bahwa Candi Borobudur merupakan peninggalan Nabi Sulaiman, sosok yang menjadi figur dalam 3 agama semitik (Islam, Kristen, dan Yahudi). Teori ini dilontarkan oleh Fahmi Basya dalam bukunya, Borobudur & Peninggalan Nabi Sulaiman, dengan menyertakan bukti-bukti dari hasil penelitian selama 33 tahun.
Sejumlah bukti yang ditulis Basya, adalah adanya tamatsil/patung yang belum selesai menyerupai seekor singa. Menurutnya, pada masa itu, singa belum dikenal oleh masyarakat Nusantara. Ia berpendapat bahwa tamatsil tersebut dibuat oleh jin. Namun, jin tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya setelah mengetahui bahwa Nabi Sulaiman telah wafat.
Bukti lainnya yang diungkapkan Basya adalah mengenai nama “Saba”. Menurutnya, nama “Saba” merujuk sebuah kota di Jawa Tengah, Wonosobo. Hal ini didasarkan pada sebuah ayat Alquran, yang mengatakan bahwa Saba memiliki banyak pepohonan dan hutan di sisi kanan dan kirinya. Ia juga merujuk Kamus Jawa Kawi Indonesia, mengatakan bahwa kata “Wonosobo” berasal dari kata “wana”, yang berarti “hutan”, dan “saba”, berarti “pertemuan”.
Juga, Basya menyatakan bahwa nama “Sleman” di Yogyakarta berasal dari kata “Sulaiman”, merujuk Nabi Sulaiman. Awalan “su”, yang merupakan awalan umum dalam nama orang-orang Jawa, dan nama “Sulaiman”, memperkuat pernyataan bahwa Saba terletak di Indonesia, dan Candi Borobudur adalah peninggalan dari sang nabi.
Bagi orang awam, argumentasi Fahmi Basya terdengar masuk akal, dan membuat banyak orang mempercayainya. Namun, banyak juga yang mengatakan bahwa teori yang ditulis Basya tersebut adalah sejarah semu (pseudohistory) dan mengandung anakronis. Salah satu akademisi yang membantah klaim Basya adalah Yusuf Baihaqi.
Dalam artikelnya, Baihaqi mengungkapkan beberapa argument. Salah satu diantaranya, ia mengatakan bahwa negeri Saba adalah wilayah yang terletak di selatan jazirah Arab, dengan penduduk yang memiliki tradisi menyembah planet. Candi Borobudur, yang memiliki banyak relief dan patung, tentunya tidak sesuai dengan tradisi penduduk negeri Saba.
Klaim Fahmi Basya ialah pernyataannya bahwa Candi Borobudur dibangun pada masa sebelum masehi, sementara bukti-bukti historis dan arkeologis mengungkapkan bahwa Candi Borobudur dibangun sekitar abad ke-8 masehi, yakni pada masa pemerintahan Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra. Hal itu juga diperkuat dari arsitektur Candi Borobudur yang bercorak Buddha.
Mengenai pembangunan Candi Borobudur, Daoed Joesoef, dalam buku Borobudur Warisan Umat Manusia, menulis bahwa Candi Borobudur diperkirakan dibangun secara bertahap selama puluhan tahun, dan dikerjakan oleh warga kerajaan secara bergiliran serta sukarela, sebagai tanda pengabdian kepada agama dan raja mereka. Meski argumentasi Joesoef masih merupakan perkiraan, tetapi ia dilandasi bukti arkeologi dan kajian yang mendukung, dan bukan sekadar “cocoklogi” dengan dasar kitab suci yang ditinjau secara tekstual.
Referensi
[1] Daoed Djoesoef. 2015. Borobudur Warisan Umat Manusia. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
[2] Fahmi Basya. 2012. Borobudur & Peninggalan Nabi Sulaiman. Jakarta: Ufuk Publishing House.
[3] Yusuf Baihaqi. 2016. “Antara Kisah Al Qur’an dan Sains (Studi Kritis Terhadap Buku “Borobudur & Peninggalan Nabi Sulaiman Karya Fahmi Basya)” dalam Al-Dzikra. Vo. X. No. 1. Januari – Juni.