Judul Buku | Geger Pacinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC |
Penulis | Daradjadi |
Penerbit | Penerbit Buku Kompas |
Kota Terbit | Jakarta |
Tahun Terbit | 2017 |
Halaman | xlii + 254 halaman |
ISBN | 978-602-412-313-0 |
Sebagian besar orang Indonesia pasti mengenal Pangeran Diponegoro. Mereka pasti mengetahui perang yang dikobarkannya selama lima tahun, sejak 1825 hingga 1930, yang membuat Belanda hampir angkat kaki dari Jawa. Mereka telah dibuat akrab dengan sosoknya, seakrab mereka dengan sosok Soekarno dan peristiwa Proklamasi Kemerdekaan.
Jika Perang Diponegoro sudah dikenal sebagai perlawanan yang besar melawan Belanda, apakah orang Indonesia pernah mendengar tentang Geger Pacinan (1740-1743), perlawanan rakyat terbesar melawan VOC? Atau, justru, sosok antagonis VOC yang lebih akrab di telinga?
Sungguh ironis jika kondisi ini terjadi. Geger Pacinan menampilkan sebuah episode sejarah yang amat langka. Tak hanya sekadar angkat senjata, Geger Pacinan juga mengangkat kisah persaudaraan yang tak kenal perbedaan etnis dan agama—sebuah factor yang seringkali menghambat persatuan sejak zaman dulu—saat pasukan Mataram bahu-membahu bersama pasukan Tionghoa memporak-porandakan pasukan VOC di sepanjang pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Timur hingga ke pedalaman.
Sayang, hingga sejarah mulai berjalan di atas sebuah negara berdaulat yang bernama Indonesia, etnis Tionghoa terus didera stigma negatif. Sejak rapat BPUPKI, mereka tidak diakui sebagai bagian dari Indonesia. Padahal, rapat tersebut mengakui berbagai entis lain yang hidup di sepanjang kepulauan Nusantara.
Hingga kemudian pada era kepemimpinan Presiden Soeharto, stigma negative tersebut meningkat seiring pecahnya G30S. Semua yang berbau Tionghoa, dengan metode cocoklogi tak berdasar, dianggap sama dengan komunis. Bersamaan dengan itu, fase pembersihan jejak-jejak etnis Tionghoa dalam sejarah dimulai.
Episode Gelap dalam Kedigdayaan VOC
Di balik pamornya sebagai perusahaan dagang terkaya saat itu—yang menurut hitung-hitungan belum ada yang mampu menandinginya saat ini—Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) menyimpan banyak masalah birokrasi. Para pegawainya, mulai dari yang paling bawah hingga tingkat gubernur jenderal, terkenal akan gaya hidupnya yang hedonis. Untuk itu, korupsi adalah jalan paling halal bagi mereka untuk benar-benar bisa menikmati hidup di engah kesibukan perang dan gaji yang pas-pasan.
Di Batavia, seperti yang umum diketahui di pusat pemerintahan di mana pun itu, korupsi mengambil posisi amat penting di tengah dinamika sosial-politik. Hal itu tercermin dalam hubungan VOC dengan para pemukim Tionghoa, yang berakibat kelesuan ekonomi pada 1740.
Saat itu, angka pendatang Tionghoa meningkat dengan tajam. Tidak menjadi masalah, jika mereka datang untuk menopang perekonomian dengan menjadi tenaga kerja di berbagai bidang. Tetapi, kedatangan mereka yang terlalu membeludak dan tidak seimbang dengan lowongan pekerjaan yang tersedia, akhirnya berdampak pada masalah pengangguran dan kriminalitas yang serius.
Jika ditarik ke belakang, fenomena tersebut sebenarnya berakar dari mentalitas korupsi VOC. Sejak 1690, VOC telah memberlakukan kuota imigrasi untuk menahan laju imigran Tionghoa yang masuk ke Batavia.
Akan tetapi, para imigran dapat dengan mudah mengatasinya. Mereka membayar beberapa uang kepada pegawai VOC untuk meminta perlindungan dari hukum yang berlaku. Dalam perjalanan sejarah, mereka akhirnya menjadi sapi perahan VOC, yang selalu diperas untuk mendapatkan konsesi-konsesi perlindungan.
Pada akhirnya, seperti yang sudah dijelaskan di atas, petaka yang amat besar datang pada tahun 1740. Menyadari tidak terkendalinya para pemukim Tionghoa, pada bulan Februari tahun itu, VOC melakukan penangkapan besar-besaran terhadap mereka yang tidak memiliki izin tinggal secara tetap. Kepanikan pun meledak di seluruh penjuru kota.
Orang Tionghoa mulai membentuk gerombolan-gerombolan untuk memertahankan diri. Lama-kelamaan, tidak puas hanya memertahankan diri saja, mereka mulai menyerang penjara-penjara kompeni untuk membebaskan kawan-kawan mereka. Kekacauan menyebar di mana-mana.
Pada 9 Oktober 1740, kekacauan itu mencapai klimaksnya. Hari itu merupakan mimpi buruk bagi orang-orang Tionghoa di Batavia. Dengan dalih menyita senjata yang disembunyikan, para serdadu VOC menggeledah rumah-rumah orang Tionghoa dan menjarahnya. Tak sampai di situ, pada siang hari, karena situasi yang semakin runyam, mereka memulai sebuah pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang Tionghoa.
Puncaknya terjadi sehari kemudian, 10 Oktober 1740, ketika Gubernur Jenderal Valckenier memerintahkan untuk mengumpulkan orang-orang Tionghoa menjadi satu tanpa pandang bulu. Laki perempuan, tua muda, diseret keluar dari rumah mereka, untuk dipenggal satu per satu. Mayat mereka dibuang ke sungai dan kanal di sekitar Batavia.
Peristiwa tersebut terus terjadi hingga 13 Oktober. Tercatat, selama empat hari pembantaian, sekitar 7.000 hingga 10.000 orang Tionghoa tewas.
Mendengar kabar buruk yang menimpa saudara-saudara mereka, gerombolan Tionghoa yang berada di luar tembok kota mulai melampiaskan kemarahan mereka. Dipimpin oleh Kapitan Sepanjang, mereka mulai menyerang kota. Walau akhirnya gagal karena kalah persenjataan, Sepanjang berhasil melakukan konsolidasi kekuatan Tionghoa di sekitar kota. Akhirnya, gerombolan itu memulai konvoi besar menuju ke arah timur, masuk ke wilayah Mataram.
Saat itulah, perlawanan yang lebih besar dimulai. Orang-orang Tionghoa di Mataram, atas dasar solidaritas, ikut mengangkat senjata melawan kompeni dan mengobarkan perang ke seluruh penjuru kerajaan. Pasukan Mataram, dengan dasar kebencian terhadap VOC, ikut menggabungkan diri, meski pada akhirnya mereka terpecah (kubu Sunan Pakubuwono bergabung bersama VOC, tetapi beberapa bupati tetap beraliansi dengan pasukan Tionghoa.
Walau hanya berperang selama tiga tahun, ia telah cukup membuat kompeni menyadari adanya potensi bahaya yang besar, jika pasukan Tionghoa bersatu dengan Jawa.
Penciptaan Segmentasi Tionghoa-Pribumi
Peristiwa bermulanya Geger Pacinan di atas hanya satu dari sekian episode yang tertuang dalam buku ini. Daradjati, sang penulis, tidak hanya mengisahkan episode saat terjadinya Geger Pacinan saja. Ia juga menarasikan berbagai peristiwa lain yang berkaitan dengannya.
Misalnya, ia menceritakan bagaimana awal mula orang-orang Tionghoa datang ke Nusantara, sejarah VOC dan berbagai dinamika di dalamnya, hingga pasang surut Kerajaan Mataram.
Buku ini menyajikan semacamm sudut pandang lain dalam melihat Indonesia. Jika sejak dahulu etnis Tionghoa selalu dianggap sebagai si liyan (orang asing), hal tersebut muncul karena kebijakan VOC pascaditumpasnya Geger Pacinan. VOC merasa pembauran antara Tionghoa dan pribumi sama saja dengan mengawinkan sepasang singa yang melahirkan singa yang lebih buas.
Orang Tonghoa dikelompokkan menjadi satu dalam sebuah pemukiman yang disebut pecinan. Mereka hanya boleh menekuni pekerjaan di bidang perdagangan saja. Pecinan, yang pertama kali dibangun di Glodok, sengaja ditempatkan di depan pintu banteng Batavia, agar kompeni bisa leluasa mengawasi kelompok itu.
Hingga tahun-tahun seterusnya, stigma Tionghoa sebagai si liyan terus bertahan. Mereka dianggap sebagai kelompok oportunis yang lemah dan menghamba kepada penjajah. Bahkan, beberapa puluh tahunn setelah Perang Jawa, sentiment anti-tionghoa terus tumbuh di kalangan penduduk Jawa.
Saat itu, banyak terjadi serangan terhadap orang-orang Tionghoa, karena mereka dianggap adalah para bandar pajak yang mengeksploitasi perekonomian masyarakat Jawa. Padahal, menurut Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Republik, mereka sebenarnya hanya diperalat oleh penguasa karena keahlian mereka di bidang ekonomi.
Hingga saat ini, telah dilakukan beberapa usaha untuk merapatkan jurang pemisah antara etnis Tionghoa dengan bumiputra, utamanya dengan pendekatan antropologi dan ekonomi. Akan tetapi, menurut Daradjadi, pendekatan sejarah merupakan pendekatan yang paling tepat.
Alasan Daradjadi, banyak mitos tentang orang Tionghoa lahir akibat kesalahan persepsi sejarah. Mereka sejak dulu dianggap sebagai golongan eksklusif. Padahal, hal itu adalah warisan kolonial yang sengaja menjadikan mereka sebagai kelompok liyan.
Peta Harta Karun dan Babad Jawa
Ada satu hal yang menurut saya paling unik dari buku ini. Pada pertengahan buku, pembaca akan menemukan semacam lipatan kertas yang lebih tebal dari halaman lainnya, dana mat terasa menyelip di tengah-tengah buku. Saat lipatan itu dibuka, pembacca akan menemukan peta sebuah pulau dengan nama-nama daerah, ditambah rute-rute yang ditandakan oleh titik-titik merah yang memanjang, hingga beberapa tanda pedang dua yang bersilangan.
Mungkin sekilas akan tampak seperti peta harta karun. Tetapi, ia sebenarnya adalah peta kronologi Geger Pacinan.
Melalui peta itu, Daradjadi seakan-akan bisa menjawab keluhan penikmat buku-buku sejarah, yang seringkali kebingungan ketika mencerna sebuah peristiwa kronologis yang berkaitan dengan banyak tempat. Peta semacam itu sangat membantu, terlebih Geger Pecinan yang melibatkan hampir seluruh daerah di pulau Jawa.
Selain itu, untuk mengimbangi narasi-narasi sejarah para ahli, Daradjadi juga mengambil sumber babad. Hal tersebut merupakan sebuah kelebihan tersendiri, karena bagaimanapun, babad adalah sebuah catatan sejarah yang dapat menampilkan pandangan masyarakat Jawa terhadap peristiwa yang tengah terjadi saat itu. Selain itu, babad juga bisa menjadi kontranarasi kebanyakan sumber sejarah yang belanda-sentris.
Secara keseluruhan, buku ini sangat recommended di tengah Indonesia yang sedang berjalan menuju era keemasan pada 2045. Di belahan mana pun di dunia ini, kemajuan tak akan bisa diraih tanpa persatuan. Semboyan bangsa kita juga mengatakan hal serupa, yaitu untuk mencapai tujuan, harus ada satu jua (visi bersama) di tengah perbedaan. Buku tulisan Daradjadi ini adalah salah satu senjata untuk merapatkan jurang perbedaan etnis di Indonesia, utamanya antara Tionghoa dan pribumi, agar satu jua bisa tercapai.