Nama Nadiem Makarim menjadi perbincangan hangat selama seminggu kemarin, baik di media massa maupun media sosial. Hal tersebut disebabkan oleh adanya pemberitaan yang menyatakan bahwa Nadiem, yang menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), tidal lagi mewajibkan pramuka sebagai ekstrakurikuler di sekolah.
Keputusan Nadiem memancing reaksi dari banyak pihak, menimbulkan gelombang pro dan kontra. Mereka yang pro terhadap pernyataan Nadiem menilai bahwa ekstrakurikuler pramuka tidak ada gunanya sama sekali. Di sisi lain, pihak yang kontra memandang bahwa pramuka masih memiliki kegunaan dan relevansi dalam menanamkan nilai-nilai kedisipilinan kepada peserta didik.
Menanggapi reaksi publik, Nadiem akhirnya buka suara. Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi X DPR RI pada 3 April 2024, Nadiem membantah isu penghapusan pramuka dari ekstrakurikuler wajib sekolah. Dilansir dari situs Metro TV News, Nadiem mengatakan bahwa ia justru akan meningkatkan status nilai-nilai pramuka, sehingga tidak hanya menjadi ekstrakurikuler semata. Dengan meningkatkan nilai-nilai kepramukaan, diharapkan ekstrakurikuler ini dapat masuk ke dalam kokurikuler.
Dapat dikatakan, isu penghapusan pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib merupakan misinformasi semata. Namun, meski isu tersebut tidak benar, reaksi masyarakat yang bersuara pro dan kontra terhadap isu ini menarik untuk dibahas. Apakah pramuka memang masih relevan?
Perlunya Reformasi
Ketika muncul pemberitaan bahwa pramuka akan dihapus dari ekstrakurikuler wajib, mayoritas pelajar merasa senang dan menganggapnya sebagai kabar baik. Reaksi tersebut membuat saya bertanya-tanya, mengapa mereka justru senang dengan adanya isu tersebut?
Ketika saya masih duduk di bangku sekolah, mayoritas pelajar sering mengeluhkan ekstrakurikuler pramuka yang wajib diikuti setiap Jumat. Bagi mereka, pramuka hanyalah kegiatan yang tidak berguna, membuang-buang waktu, dan berisi permainan anak-anak seperti menyanyikan yel-yel atau kotor-kotoran.
Tak jarang, beberapa dari mereka menyebut ekstrakurikuler pramuka merupakan “perundungan berkedok uji mental.” Sebagai contoh, pada tahun 2022 silam, sebuah kasus perpeloncoan dalam kegiatan pramuka pernah terjadi. Mengutip pemberitaan Liputan6, kasus tersebut terjadi di SMAN 1 Ciamis, Jawa Barat. Para siswa pramuka diminta untuk saling menampar untuk menentukan calon ketua sangga Pramuka. Puluhan siswa menjadi korban dan mengalami luka-luka dalam kegiatan itu.
Berdasarkan keterangan salah seorang siswa, kegiatan tersebut telah menjadi tradisi yang sudah berlangsung sejak lama. Mirisnya, pihak sekolah justru mendukung dan melanggengkan praktik perpelocoan tersebut.
Kasus lainnya terkait dengan ekstrakulikuler pramuka, adalah beredarnya foto sekelompok siswa memakan nasi yang disajikan langsung di atas rumput. Dilansir melalui Kompas.com, foto tersebut merupakan dokumentasi kegiatan kwartir cabang (Kwarcab) gerakan pramuka yang diselenggarakan di Pantai Tanjung Kait, Tangerang, Banten pada 2017 lalu. Dadang Sudrajat, sekretaris Kwarcab Kabupaten Tangerang, menepis adanya dugaan perploncoan dalam kegiatant tersebut. Menurutnya, foto tersebut hanya sebuah sanksi, yang dijatuhkan karena mereka tidak mematuhi aturan makan bersama.
Kedua kasus tersebut merupakan contoh wujud perpeloncoan dalam kegiatan pramuka di sekolah. Mereka telah menodai kesucian gerakan kepramukaan, menjadikannya tampil hanya sebagai kegiatan yang penuh dengan aksi kekerasan. Perlu adanya reformasi menyeluruh, sehingga ekstrakurikuler pramuka tidak lagi dikenal sebagai kegiatan yang sia-sia, dan bahkan menumbuhkan jiwa kekerasan, dalam diri peserta didik.
Sebagai Sarana Pendidikan Karakter
Terlepas dari catatan dalam implementasi esktrakurikuler pramuka si sekolah, ia memiliki peran penting dalam pendidikan karakter dalam diri peserta didik. Jika diarahkah dengan benar, pramuka dapat membantu peserta didik keluar dari degradasi moral, yang banyak menimpa generasi muda Indonesia.
Dalam artikel berjudul Peran Pendidikan Pramuka dalam Pembentukan Karakter Bangsa Menuju Pembangunan Nasional, Hesti Adi Wahyuni dan Husni Mubarok mengungkapkan bahwa pendidikan kepramukaan memiliki andil dalam mencetak individu yang memiliki rasa tanggungjawab, membentuk watak dan akhlak yang mulia, melatih keterampilan kerjasama, dan meningkatkan rasa empati. Menurut Hesti dan Husni, pembentukan karakter dapat diperoleh dalam pendidikan kepramukaan, karena adanya konsep organisasi yang membentuk kepedulian sosial dan kemandirian melalui prinsip dasar, kode kehormatan, dan metode kepramukaan.
Selain itu, mengutip artikel Husnul Khotimah yang berjudul Ekstrakurikuler Pramuka Sebagai Pembentuk Pendidikan Karakter Kedisiplinan Siswa, kegiatan ekstrakurikuler pramuka mampu menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik. Ia mampu mengajarkan kedisiplinan secara praktis kepada peserta didik, bukan hanya sekadar teoritis. Kegiatan ekstrakurikuler dapat menjadi wadah bagi mereka untuk memahami makna kedisiplinan dan kepatuhan secara langsung.
Terakhir, ekstrakurikuler pramuka dapat membentuk generasi yang pancasilais. Mengutip Muhammad Adlin Sila dalam artikel berjudul Pramuka Sebagai Wadah Pendidikan Karakter Bangsa yang Pancasilais, terdapat beberapa implikasi nilai kepramukaan terhadap penanama karakter Pancasila dalam pendidikan. Nilai-nilai tersebut adalah peserta didik dapat memahami nilai-nilai dalam Pancasila, yang diimplementasikan di lapangan, mendorong tumbuhnya prinsip kemanusiaan dalam diri peserta didik.
Pada akhirnya, apakah ekstrakurikuler pramuka masih relevan bagi peserta didik? Menjawab pertanyaan ini, saya dapat katakan dengan tegas, ia masih relevan. Jika dihayati dengan sungguh-sungguh, ia mampu menciptakan generasi Indonesia yang kreatif dan inovatif, sehingga dapat bersaing secara global, tumbuh mengikuti perkembangan zaman tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur yang dianut oleh bangsa Indonesia.