Sebelum negara-negara di dunia mengenal prinsip-prinsip good governance, pemerintahan yang baik, kekhalifahan Islam di Madinah pada abad ke-7 Masehi telah lebih dulu mengenalnya. Di bawah kepemimpinan sang khalifah pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq (573-634 M), berbagai prinsip good governance, seperti transparansi dan supremasi hukum, telah ditegakkan.
Dalam pidato pertamanya pasca-menerima baiat kaum Muslimin di masjid Nabawi, Abu Bakar menyerukan kepada segenap rakyatnya untuk tak segan mengkritisi kepemimpinannya. Berkatalah Abu Bakar:
“jika aku melakukan langkah yang baik, maka bantu dan dukunglah aku, dan jika aku melakukan langkah jelek dan keliru, maka luruskanlah aku.”
Abu Bakar tak ingin rakyatnya bersikap masa bodoh terhadap segala kebijakan yang ditelurkan pemerintah. Ia tak ingin rakyatnya merasa sungkan, apalagi merasa takut terhadap keselamatan dirinya, ketika mereka hendak menyuarakan pendapatnya.
Selain jaminan akan kebebasan berpendapat, Abu Bakar juga memancangkan prinsip keadilan dalam pemerintahannya. Baginya, pemerintahan Daulah Islam wajib terbebas dari berbagai tekanan politik dan iming-iming kekayaan dari pihak manapun. Berkatalah Abu Bakar:
“orang lemah di antara kalian adalah orang kuat bagiku hingga aku mengembalikan kepadanya haknya. Dan orang kuat di antara kalian adalah lemah bagiku hingga aku mengambil hak darinya.”
Melalui pernyataan ini, Abu Bakar menutup pintu rapat-rapat bagi berbagai lobi politik dari kalangan berpengaruh dalam memutuskan suatu perkara.
Setelah menetapkan dua prinsip kepemimpinan dalam pidato kenegaraan yang pertama, khalifah Abu Bakar langsung tancap gas menjalankan roda pemerintahannya. Dengan legitimasi kekuasaan yang digenggamnya, ia bergerak cepat meneruskan kebijakan Nabi Muhammad sebelum beliau wafat. Kebijakan tersebut adalah mengirim pasukan Usamah bin Zaid ke perbatasan negeri Syam.
Kebijakan perdana tersebut sempat disangsikan oleh para sahabat Nabi Muhammad. Mereka mengkhawatirkan keselamatan dan keamanan ibukota kekhalifahan, apabila pasukan Usamah pergi keluar Madinah. Mereka menganggap, beberapa klan di berbagai wilayah Jazirah Arab mulai menunjukkan gelagat pengkhianatan.
Berbagai klan tersebut, menurut para sahabat Nabi, berdalih bahwa sumpah setia yang mereka nyatakan hanya berlaku semasa Nabi Muhammad hidup. Setelah Nabi wafat, mereka merasa tidak lagi terikat oleh perjanjian tersebut.
Ancaman keamanan tersebut kemudian diperparah dengan kemunculan para nabi palsu di wilayah tersebut, seperti Musailamah, Thulaihah Al-Asadi, yang mulai menghimpun kekuatan untuk menandingi kekuasaan Madinah.
Sekali lagi, Abu Bakar menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang pemimpin yang berwatak tegas dan visioner. Dengan percaya diri, ia berkata kepada para sahabat Nabi:
“seandainya pun aku akan tahu banyak binatang buas akan menyerang dan menerkamku, niscaya aku akan tetap merealisasikan pengiriman misi militer pasukan Usamah sebagaimana perintah dan instruksi Rasulullah.”
Ketegasan tersebut berhasil meyakinkan mereka, sehingga mereka menarik kembali kesangsian tersebut. Mereka, akhirnya, menyatakan dukungan penuh kepada Abu Bakar dan kekhalifahannya.
Dalam peristiwa pengiriman pasukan Usamah, terdapat kisah teladan yang memuat seni kepemimpinan seorang Abu Bakar. Sebelumnya, Abu Bakar mengetahui bahwa sebagian prajurit di dalam pasukan Usamah meragukan kepemimpinan Usamah, yang dianggap masih terlalu hijau untuk memimpin pasukan. Dengan bijak, ketika apel pelepasan pasukan ke luar kota, Abu Bakar memilih untuk berjalan kaki mengiringi Usamah, yang kala itu menaiki kendaraan.
Sungkan karena sang khalifah yang harus berjalan kaki, sedangkan ia sendiri berkuda, Usamah menawarkan pilihan kepada Abu Bakar. Abu Bakar diminta untuk memilih, antara ikut juga naik kendaraan, atau Usamah turun dan berjalan kaki. Sang khalifah menolak kedua pilihan tersebut, sehingga ia tetap berjalan kaki, dan Usamah tetap di atas kendaraannya.
Melalui sikap tersebut, Abu Bakar ingin menunjukkan kapasitas Usamah sebagai panglima perang. Seakan-akan, ia berkata kepada mereka, yang meragukan kapasitas Usamah:
“lihat dan perhatikanlah wahai kaum muslimin, aku, Abu Bakar, sekalipun aku adalah khalifah Rasulullah, namun aku tidak sungkan untuk berjalan kaki di samping Usamah yang naik kendaraan, sebagai bentuk pengakuan, legitimasi, dan penghargaan kepada kepemimpinannya yang ditunjuk langsung oleh Rasulullah, maka bagaimana kalian masih berani dan lancang mengkritik kepemimpinan Usamah?”
Inilah seni memimpin yang sangat cerdas yang diperlihatkan oleh Abu Bakar. Sikap dan tindakan tersebut jauh lebih mengena, ketimbang retorika-retorika kosong mengenai kepemimpinan, tetapi tanpa diiringi tindakan.
Berkat tindakan yang tegas dan pandangan yang visioner, Daulah Islam pimpinan Abu Bakar langsung memetik beberapa hasil manis. Pasukan Usamah berhasil meraih kemenangan atas tentara Bizantium di Syam. Kemenangan tersebut memberikan efek psikologis yang dalam bagi mereka yang hendak merongrong kedaulatan Daulah Islam.
Bagi berbagai klan yang ada di sekitar Madinah, mereka dibuat lebih takut lagi. Dalam bayangan mereka, umat Islam yang baru ditinggal Rasulullah, justru tampil sebagai negara yang kuat. Terbukti, hingga Abu Bakar wafat, Madinah aman dari ancaman mereka, yang sebelumnya menyatakan pembangkangan.
Seni kepemimpinan ala Abu Bakar yang layak untuk diketengahkan lagi adalah mengenai kesederhanaan dan kezuhudannya. Meski secara de jure dan de facto, ia mewarisi suatu negara dengan kekuasaan yang cukup besar, tidak berarti membuatnya lupa daratan. Abu Bakar, sebagai khalifah, tetaplah seperti Abu Bakar yang dahulu, yang sederhana, zuhud, dan amanah.
Beberapa hari pasca-pengangkatannya sebagai khalifah, Abu Bakar didapati oleh Umar bin Khattab masih keluar-masuk pasar menjajakan barang dagangannya di pasar Madinah. Umar bin Khattab merasa heran menyaksikan pemandangan ganjil tersebut. Bagaimana mungkin, seorang kepala negara masih menjual dagangannya di lorong-lorong pasar?
Ketika Umar bertanya kepada Abu Bakar, ia menjawab:
“lantas dari mana aku memberi makan keluargaku?”
Jawaban tersebut amat menohok, mengingat umat Islam, selaku pihak yang memberikan wewenang kepada Abu Bakar untuk mengurusi urusan mereka, justru lupa untuk memberikan sesuatu atas jasa kepemimpinan Abu Bakar.
Untuk memecahkan persoalan itu, para sahabat berembuk mencari penyelesaian. Disepakati, bahwa kekhalifahan akan memberikan gaji Abu Bakar sebesar 300 dinar setahun dan seekor kambing. Angka tersebut sangat kecil untuk ukuran seorang kepala negara kala itu.
Meski begitu, Abu Bakar tidak mengeluh, apalagi menyelewengkan kekuasaannya untuk menambah pundi-pundi kekayaannya. Ini merupakan hasil tarbiyah Nabi Muhammad, yang melahirkan anak didik yang sangat bersahaja, dan senantiasa merasa cukup dengan apa yang telah dimiliki.
Selain beberapa hal di atas, masih banyak kisah teladan yang dapat diselami dari sosok Abu Bakar. Semuanya telah tersedia di dalam berbagai buku sejarah, yang menunggu untuk dibuka, dipelajari, serta diambil “api sejarah”-nya, untuk diterapkan oleh siapa pun.
Referensi
[1] Ali Muhammad Ash-Shalabi. (2020). Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
[2] Firas Alkhateeb. (2014). Sejarah Islam yang Hilang. Yogyakarta: Bentang.
[3] Maulana Muhammad Ali. (2007). The Early Caliphate (Khulafa-ur-Rasyidin). Terj. Imam Musa. Jakarta: Penerbit Darul Kutubil Islamiyah.
keren tulisannyaa.
Terima kasih, kak~
Akan saya sampaikan kepada penulis kami
Prima