Dahulu Bandar Internasional, Kini Tinggal Cerita: Riwayat Barus

Pernahkah Anda mendengar nama “Barus”? Sepintas, ketika mendengar nama tersebut, tidak ada yang istimewa dan menarik, kecuali menjadi nama sebuah kapur pewangi pakaian.

Bagi yang belum mengetahui tentang Barus, ia adalah sebuah nama kota kecil sekaligus kecamatan di kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Kini, kota tersebut tidak tampak istimewa, apalagi menarik bagi masyarakat Indonesia. Ini disebabkan karena Barus adalah sebuah kota kecil di barat Indonesia.

Namun, tahukah Anda bahwa kota Barus yang kecil tersebut menyimpan jejak historis yang begitu panjang. Wilayah di tepi barat Sumatera Utara ini pernah eksis menjadi kota perdagangan yang ramai dikunjungi para saudagar, baik lokal maupun nasional. Tentu saja, ini didukung oleh faktor geografis serta hasil alam yang dimilikinya, terutama kayu kamper dan rempah-rempah.

Seperti apa riwayat kota Barus, yang pernah berjaya sebagai kota perdagangan penting di Nusantara ini?

Terkenal di Dunia Internasional

Dinukil dari buku Sejarah Islam Nusantara tulisan Rahmat Sunnara, seorang pembuat peta kuno sekaligus gubernur di Yunani pada abad kedua tarikh masehi menyebutkan bahwa terdapat bandar perdagangan di tepi barat Sumatera yang disebut dengan nama Barousai (Barus). Tempat itu digambarkan sebagai penghasil kayu kamper sebagai bahan utama wewangian kapur barus.

Ilustrasi perdagangan antara saudagar Asia dengan pedagang Eropa, courtesy of NusantaraNews

Jauh sebelum itu, menurut beberapa sumber, masyarakat Mesir Kuno sudah beramai-ramai mendatangi daerah penghasil kamper itu. Mereka membeli kemenyan putih dan kapur barus sebagai bahan untuk mengawetkan jasad tokoh terkemuka di kerajaan mereka. Diantara mereka yang terbukti dimumi menggunakan kapur barus adalah Ramses II dan Ramses III.

Mengutip artikel berjudul Barus dalam Sejarah: Kawasan Percaturan Politik, Agama, dan Ekonomi Dunia tulisan Misri A. Muchsin, kerajaan Sassanid di Persia pada abad ke-4 Masehi juga sudah menjalin hubungan perdagangan dengan Barus. Mereka memperjualbelikan kamper sebagai obat obatan yang dibutuhkan di tanah Sassanid sana.

Baca Juga  Usaha Pembunuhan Presiden Soekarno pada Iduladha 1962

Sejak abad ke-6, jazirah Arab juga melakukan kontak dagang dengan masyarakat Barus. Hal itu dibuktikan dengan penemuan tempayan yang berisikan kamper di wilayah kerajaan Arab.

Menjadi Gerbang Masuknya Islam di Nusantara

Secara geografis, Barus merupakan wilayah yang strategis. Letaknya berada di ujung barat Sumatra, berbatasan langsung dengan Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan. Hal itu menjadikannya sebagai tempat transit para pedagang dari barat maupun timur Asia.

Menurut Muchsin, pada masa pemerintahan Khalifah Usman Bin Affan, mereka mengirim utusan ke Tiongkok untuk misi perdagangan sekaligus dakwah. Para utusan tersebut sempat transit dan singgah di Barus untuk menambah perbekalan makanan sembari menunggu angin muson. Selama mereka berada di Barus, mereka berinteraksi dan menyebarkan agama Islam sebelum menuju Kanton, Tingkok.

Makam Syekh Mahmud Barus, Papan Tinggi, courtesy of Wikipedia

Pada abad ke 8 Masehi, syarif Makkah pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid mengirim utusan yang dipimpin oleh Syekh Ismail dan Fakir Muhammad ke Samudera untuk misi mengenalkan Islam. Setiba di pulau Sumatera, rombongan tidak langsung tiba di tempat tujuan. Mereka memutuskan untuk singgah terlebih dahulu di bandar Barus.

Di Barus, Syekh Ismail dan Fakir Muhammad mengajak beberapa penduduk setempat untuk belajar agama Islam. Selain itu, rombongan tersebut mengajar membaca Alquran kepada penduduk setempat yang bersedia memeluk agama Islam. Setelah berhasil menunaikan tugas mereka, mereka melanjutkan perjalanan ke Perlak dan Samudera untuk misi yang sama.

Dihuni Beragam Suku Bangsa

Pada dasarnya, Barus dihuni oleh masyarakat lokal berbahasa Melayu. Namun, karena posisinya yang strategis, Barus menjadi tempat singgah dan transit para pedagang dari berbagai wilayah, baik di Nusantara maupun di luar Nusantara. Ini membuat Barus menjadi wilayah yang dihuni oleh beragam suku bangsa.

Jembatan gantung di atas Aek Raisan, Tapanuli, tahun 1905, courtesy of Wikipedia

Mengutip artikel berjudul Pelabuhan Barus Jalur Utama Rempah di Bagian Barat pada Masa Kejayaan Nusantara yang ditulis Mhd. Nur dkk., sejak abad ke-7 Masehi, Barus menjadi pelabuhan dagang rempah-rempah dunia. Pedagang dari India, Tamil, Arab, Persia, dan Romawi tertarik tinggal di Barus. Mereka melakukan hal tersebut karena Barus dekat dengan pusat produksi rempah-rempah dunia. Di pedalaman Barus, terdapat hutan yang kaya akan kayu kamper, cengkih, pala, rotan, dan gambir, sumber daya primadona pada masa itu.

Baca Juga  Alasan Hakiki Mengapa Mahasiswa Wajib Masuk Organisasi Kemahasiswaan

Bukan hanya itu, di Barus, juga terdapat populasi orang Jawa, khususnya dari wilayah Demak dan Banten. Mereka datang ke Barus untuk kepentingan berdagang.

Selain mereka, terdapat pula pedagang Tiongkok yang menetap di Barus. Selain berdagang, mereka juga bekerja sebagai pandai besi, pandai emas, tukang kayu, dan tukang obat. Keberadaan mereka dibuktikan dengan penemuan keramik/porselen yang diduga berasal dari abad ke-12.

Satu-satunya Tempat Penghasil Kayu Kamper

Kamper merupakan jenis kayu yang dapat diolah menjadi sebuah kapur bernama kapur barus. Menurut cerita, komoditas ini banyak diperdagangkan di berbagai wilayah, terutama Tiongkok dan Arab. Konon, kegiatan tersebut telah berlangsung sebelum tarikh masehi.

Pohon kamper, courtesy of Wikipedia

Menurut Claude Guillot, sebagaimana dikutip melalui Nurfaizal dalam artikel berjudul Barus dan Kamper dalam Sejarah Awal Islam Nusantara menyimpulkan bahwa istilah “kapur” berasal dari Asia Tenggara. Ini didasarkan karena kapur diproduksi di wilayah tersebut.

Berdasarkan sumber yang dikumpulkan Guillot, kemungkinan besar kayu kamper berasal dari Sumatera Utara, tepatnya di wilayah Barus. Kayu kamper inilah, yang kemudian diperdagangkan hingga ke Tiongkok dan jazirah Arab. Pada abad ke-4 Masehi, kamper masuk daftar bahan obatan kerajaan Sassanid.

Meski pernah menjadi pusat perdagangan penting di Nusantara, keberadaan Barus masa kini telah berubah menjadi sebuah kota kecil di Sumatera Utara. Ia tidak banyak dibicarakan, apalagi menjadi pusat perdagangan penting. Seiring dengan perkembangan zaman, kota dengan banyak riwayat tersebut semakin sepi dibahas. Kejayaannya kini hanya cerita, yang digambarkan melalui peninggalan arkeologis di sana-sini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *