Pengakuan Status Eksil G30S bukan Pengkhianat Sejarah, Apa Cukup?

Pada 2 Mei 2023 lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan akan mengakui status warga negara terhadap sejumlah eksil tragedi Gerakan 30 September (G30S). Mengutip Tempo, mereka merupakan “warga negara yang tidak pernah mengkhianati negara.” Meski begitu, terdapat keraguan mengenai pernyataan Presiden Jokowi ini.

Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965, Bedjo Untung, sebagaimana dikutip melalui BBC Indonesia, menyebut bahwa terdapat banyak korban G30S yang harus dipulihkan, karena dituduh terdapat dalam Gerakan 30 September. Menurutnya, pemerintah perlu “menetapkan bahwa seluruh korban 1965, baik di Indonesia dan luar negeri, tidak terlibat, bukan pengkhianat, dan tidak ada kaitannya dengan G30S.”

Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965, Bedjo Untung, courtesy of Suara

Hal serupa juga dinyatakan seorang eksil yang saat ini tinggal di Swedia, Tom Iljas. Menurutnya, pemerintah hanya menyelesaikan “masalah administrasi, tentang status WNI dan santunan saja”, sementara masalah inti yang mereka derita selama ini, yakni siapa aktor di balik peristiwa G30S, permintaan maaf negara, dan pemulihan nama baik seluruh korban “tidak menjadi prioritas.”

Pertanyaan yang menarik untuk dibahas mengenai peristiwa ini adalah, apakah pemulihan status warga negara para eksil G30S akan mengubah narasi mengenai peristiwa tersebut dalam sejarah Indonesia? Menurut hemat saya, tak ada yang berubah.

Sejarah Indonesia, sejak diformulasikan oleh Orde Baru, telah memposisikan PKI sebagai sosok antagonis yang berusaha menghancurkan eksistensi bangsa Indonesia. Melalui berbagai pemberontakan, terutama Peristiwa Madiun dan G30S, mereka berusaha merongrong bangsa, mengacaukan segalanya. Penumpasan terhadap mereka yang terjadi setelahnya adalah “karma” perbutannya yang telah merusak identitas bangsa Indonesia.

Para prajurit bersenjata sedang mengangkut anggota kelompok Pemuda Rakyat, 10 Oktober 1965, courtesy of BBC Indonesia

Mengubah narasi peristiwa G30S akan berarti memberikan ruang yang berbeda bagi kelompok antagonis, dalam hal ini PKI. Meski secara historiografi tindakan ini merupakan hal yang baik, dan dinanti-nantikan oleh segenap elemen dan sejarawan di Indonesia, secara ideologi, ini dapat menghancurkan “the very core” bangsa Indonesia.

Baca Juga  Ketika Buku Lebih Sering Dibajak Ketimbang Dibaca

Kondisi ini akan membuat posisi pemerintah dalam melihat G30S menjadi dilematis. Di satu sisi, mereka mulai memberikan ruang bagi para penyintas konflik berdarah tersebut. Tetapi, di sisi lain, mereka masih mempertahankan narasi sejarah yang mempersekusi mereka dengan berbagai tuduhan yang bukan-bukan.

Jika pemerintah benar-benar punya keinginan untuk menyembuhkan luka para eksil, dan para penyintas konflik G30S lainnya, tidak cukup dengan memberikan status WNI dan santunan semata. Hal yang lebih penting, dan utama, untuk mengobati luka menganga seluruh rakyat Indonesia ini adalah dengan memaknai kembali historiografi peristiwa G30S (dan peristiwa-peristiwa lainnya yang terkait dengan PKI dan kekuatan kiri).

Hanya proses ini yang mampu menyembuhkan borok besar yang telah kita derita selama puluhan tahun ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *