Sudah 70 tahun berlalu sejak hari-hari yang tak terlupakan di bulan Oktober 1917, hari-hari legendaris yang mengawali hitungan zaman baru kemajuan sosial, sejarah nyata umat manusia. Masa lalu—kepahlawanan dan dramanya—tidak bisa tidak menggetarkan orang-orang sezaman kita menuju Revolusi dan Perestroika.
(Mikhail Sergeyevich Gorbachev, Document: The Revolution and Perestroika, 1987)
Pada abad ke-20 lalu, terdapat beberapa peristiwa besar yang terjadi. Mereka menjadi tonggak sejarah baru peradaban manusia.
Salah satu peristiwa besar tersebut terjadi di Eropa, tepatnya di Uni Soviet. Peristiwa tersebut, adalah berubahnya haluan negara adikuasa tersebut menuju Rusia, dari sistem komunis ke demokrasi dan liberalisasi.
Apakah ada aktor utama di balik peristiwa besar tersebut? Jawabannya, adalah ada. Perubahan ideologi Uni Soviet ke Rusia tidak terlepas dari geliat seorang Mikhail Sergeyevich Gorbachev (1931-2022).

Sergey Radchenko, dalam artikel Mikhail Gorbachev’s 1989, menyebut bahwa sebagai pemimpin Uni Soviet, Gorbachev berperan penting dalam peristiwa perubahan ideologi dan geopolitik di negara yang ia pimpin. Para sejarawan memuji Gorbachev sebagai sosok yang berani serta bertekad untuk mengakhiri doktrin intervensionisme Brezhnev, mengakhiri kekuasan Uni Soviet menuju demokrasi.
Dalam artikel Perestroika and the Russian Revolution of 1991, John Gooding mengatakan bahwa setelah mulai berkuasa di Uni Soviet pada 1985, Gorbachev memulai reformasi yang dirancang untuk merestrukturisasi tatanan sosial ekonomi (Perestroika) dan untuk mendorong perdebatan yang lebih kritis serta akuntabilitas publik (Glasnost). Hampir tidak ada seorang pun di Barat yang menduga bahwa ia memulai program reformasi besar-besaran tersebut, apalagi dalam waktu tiga tahun.
Perubahan yang dicetuskan Gorbachev, utamanya berpengaruh terhadap diskusi publik Uni Soviet atas Marxisme, ideologi negara adikuasa tersebut. Seperti apa kedua langkah reformasi Gorbachev tersebut, yakni Perestroika dan Glasnost, atas Uni Soviet, terkait dengan Marxisme?
Perestroika dan Glasnost Selayang Pandang
Dalam artikel Document: The Revolution and Perestroika, Gorbachev menyangkal klaim Partai Komunis atas akses istimewa terhadap pengetahuan objektif. Ia menyerukan demokrasi yang lebih besar, mendesak penghentian “birokratisasi” kehidupan rakyat Uni Soviet.
Melalui Perestroika, filsafat Soviet mengalami perubahan signifikan ke arah liberalisasi. Ben Brodinsky, dalam artikel The Impact of Perestroika on Soviet Education, mengatakan bahwa pengarajan Marxisme-Leninisme tidak lagi menjadi wajib di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Soviet. Bahkan, lambat laun, Marxisme-Leninisme segera ditinggalkan dari lembaga pendidikan tersebut.

Di sisi yang berbeda, Glasnost mendorong demokratisasi atas kehidupan masyarakat Uni Soviet. D.W.J. McForan dalam artikel Glasnost, Democracy, and Perestroika, mengatakan bahwa Voprosy Filosofii mulai menerbitkan perdebatan tentang demokrasi, supremasi hukum atas masyarakat sipil, serta diskusi tentang sejarah filsafat Soviet (yang sebelumnya tiadk pernah menjadi bahan diskusi sebelumnya). Selain itu, artikel-artikel karya pemikir Barat, dan karya-karya filsuf Rusia yang dilarang, seperti Berdiaev dan V.S. Solov’ev, juga diterbitkan.
Perdebatan atas Marxisme di Bawah Payung Perestroika dan Glasnost
Etos filosofis “resmi” Soviet di bawah Perestroika diilustrasikan melalui tulisan-tulisan Ivan Timofeyevich Frolov, penasihat Gorbachev dan pemimpin redaksi Pravda.
Dalam buku Man, Science, Humanism: A New Synthesis, Frolov menentang Prometheanisme Soviet, dengan alasan bahwa meskipun ada kepercayaan bahwa sains dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi kehidupan manusia, harus disadari bahwa kemajuan sains telah membawa ancaman dramatis bagi masa depan umat manusia. Hal tersebut merupakan sebuah pernyataan yang jujur tentang Marxisme humanis dari seorang tokoh berpengaruh Soviet di bawah pemerintahan Gorbachev.

Leszek Kolakowski, dalam buku Main Currents of Marxism, mengatakan bahwa Marxisme yang kritis dan humanis berusaha untuk menempatkan sains “dalam pelayanan kemanusiaan.” Frolov menekankan “keterbukaan” dari teori Marxis, mendesak bahwa prinsip-prinsipnya bukanlah sebuah kebenaran mutlak. Ia menyerang kebodohan kaum proletar ilmu pengetahuan, dan menyarankan solusi kompromi untuk beberapa kontroversi Soviet yang masih mengakar kuat, seperti mengenai dasar genetic mental. Ia juga mendesak adanya dialog dengan para pemikir Barat.
Meskipun lebih liberal daripada garis partai sebelumnya, posisi Frolov tetap mempertahankan gagasan bahwa semua masalah paling baik jika ditangani dari perspektif teori yang mencakup semua tentang tempat manusia di alam, sebagai sebuah teori yang pada prinsipnya tidak perlu diperdebatkan lagi. Tulisan-tulisan Frolov juga mewakili perluasan ortodoksi Soviet. Semangat kritik radikal tetap tidak ada.
Humanisme adalah pusat dari banyak diskusi filosofis di bawah Perestroika. Konsep seseorang (Lichnost) sebagai pusat agensi moral menjadi pusat diskusi, melengkapi perdebatan tentang tanggung jawab dan kesadaran hukum. Frederick Kagan, dalam artikel The Secret History of Perestroika, menyebut bahwa pendekatan yang berpusat pada manusia ini tercermin dalam sebuah buku teks resmi baru, Vvedenie v filosofiiu (Pengantar Filsafat), yang berfokus pada masalah eksistensi manusia, dan bukan pada keunggulan materialisme dan hukum-hukum dialektika.
John Gooding dalam artikel Perestroika as Revolution from within: An Interpretation, mengatakan bahwa ada ketertarikan baru kepada Marxisme antroposentris yang berkembang pada masa kekuasaan Khruschev, terutama filsafat Il’enkov, yang mengantisipasi banyak tema yang dibahas secara terbuka di bawah Glasnost. Iklim baru tersebut memicu sejumlah diskusi publik yang menyentuh hati tentang pertanyaan besar: apakah Marxisme sudah mati?
Marxisme Pasca-Perestroika dan Glasnost: Apakah Sudah Mati?
Dalam buku Man, Science, Humanism: A New Synthesis oleh Ivan Timofeevich Frolov, V.I. Tolstykh berpendapat bahwa Marx tidak boleh disalahkan begitu cepat atas eksperimen Soviet yang gagal. Pemikiran Marxis masih layak untuk terus dipelajari, seperti sistem filsafat besar lainnya.
Sebaliknya, Leszek Kolakowski serta A.S. Tsipko mencemooh pretensi filsafat Marxis. Ia menekankan adanya kekosongan pandangan Karl Marx dan ketidaksesuaiannya dengan realitas kontemporer sehingga tidak dapat diterapkan pada realitas masa kini. Di balik diskusi tersebut, ia mengungkapkan sebuah dunia intelektual yang berada dalam krisis, yang mengalami disorientasi oleh berkurangnya otoritas dari pusat.

Dengan runtuhnya Uni Soviet pada 1991, Rusia berkomitmen sepenuhnya untuk meninggalkan Marxisme. Meskipun pengaruh Marx sering terlihat dalam karya beberapa penulis, hanya sedikit filsuf Rusia masa kini yang melihat diri mereka sebagai kontributor pada tradisi Marxisme. R.G. Gidadhubli, dalam artikel Perestroika and Glasnost, menyebutkan bahwa meski kehausan akan penjelasan dan perspektif yang besar tidak kalah kuatnya dibandingkan dulu, para pemikir Rusia cenderung mencari di tempat lain, seperti filsafat agama Rusia yang ditindas oleh kaum Bolshevik, atau di dunia Barat, seperti pascamodernisme Foucault.
Perkembangan tersebut mengarahkan kita pada sebuah pertanyaan terbuka: apakah Marxisme di Rusia benar-benar telah hilang? Beberapa pakar berpendapat bahwa tampaknya sejarah Marxisme di Rusia telah berakhir. Namun, kata berakhir tidak berarti hilang; ada kemungkinan ideologi ini masih ada dan hidup di Rusia, tetapi tidak menjadi ideologi resmi negara.
Sebagai suatu bangsa besar, tentunya Rusia tidak akan pernah melupakan sejarahnya. Rusia menyadari bahwa Marxisme telah menjadi bagian dari perjalanan sejarah penting bangsanya. Tidak ada penyesalan dari sebuah perjalanan sejarah, karena ia adalah sebuah proses alam.