Menurut E. H. Carr dalam buku Apa Itu Sejarah?, sejarawan bukanlah bagian dari masa lalu, tetapi bagian dari masa kini. Sementara itu, Hugh Trevor-Raper berkata kepada kita, bahwa sejarawan ”harus mencintai masa lalu.”
Hal di atas tentu terlihat meragukan. Mencintai masa lalu merupakan ekspresi romantisme nostalgia orang tua dan masyarakat lama. Ia merupakan gejala hilangnya keyakinan dan ketertarikan terhadap masa kini dan masa depan.

Hal klise untuk yang klise, saya sendiri lebih menyukai pernyataan tentang membebaskan diri sendiri dari pengaruh persisten yang tidak diinginkan dari masa lalu. Fungsi sejarawan bukanlah untuk mencintai masa lalu atau mengemansipasikan dirinya sendiri dengan masa lalu, tetapi untuk menguasai dan memahaminya sebagai kunci untuk memahami masa kini.
Senada dengan pandangan di atas, seseorang yang suka akan sejarah harus mencintai masa lalu. Pernyataan tersebut merupakan kata kunci untuk menyelami romantisme kehidupan dan peristiwa yang sudah terjadi sebagai pembelajaran hidup.
Kuasa Data dan Kuasa Kata dalam sebuah Peristiwa Sejarah
Menurut Ahmat Adam dalam buku Antara Sejarah dan Mitos, sejarah merupakan rekaman peristiwa masa lalu. Setiap orang mempunyai ingatan yang berbentuk pengalaman dirinya. Melalui ingatan, ia mengenal dirinya. Bagi sebuah bangsa, peringatan terhadap pengalaman bangsa merupakan sebuah kumpulan ingatan yang dikongsikan bersama.
Jadi, sejarah ialah peringatan pada pengalaman manusia secara berkelompok. Tanpa sejarah, manusia tidak mungkin dapat dikatakan beradab, karena sejarah memungkinkan pengetahuan tentang jati diri manusia dapat eksis di dunia ini.

Kehidupan manusia penuh lika-liku, terutama mengenai proses perjalanan dan bertahan hidup. Banyak potensi kajian yang menitikberatkan pada kehidupannya. Berbagai potensi tersebut memberi warna pada segala aspek kehidupan manusia sebagai sikap-sifat kemanusiaan. Sementara itu, lingkungan tempat manusia berada menjadi tempat di mana seseorang berproses untuk menjalani hidup.
Sebagai seorang yang menyukai sejarah, melakukan rekonstruksi peristiwa membutuhkan data. Mendapat sumber data terkait peristiwa yang sudah terjadi memang perlu dilakukan. Ini penting, untuk bisa mempelajari, menyelami dalamnya data-data tersebut agar dapat memunculkan sebuah kuasa data.
Merajut sejarah juga diibaratkan sebagai sebuah benang kusut, yang perlu diuraikan agar memudahkan pemetaan ragam kajian. Jejak sejarah perlu diuraikan dengan hati-hati, karena ia masih banyak berserakan sebagai sebuah kisah-kisah masa silam. Penyusunan seperti ini, akan menghasilkan sebuah kuasa kata.

Sementara itu, peristiwa yang sudah terjadi adalah wujud pengetahuan bagi lintas generasi. Ia baru dapat diketahui dengan baik jika kuasa kata sudah memungkinkan peristiwa dapat dibaca oleh seseorang dalam sebuah generasi.
Perlahan namun pasti, merajut benang kusut perlu penguraian selaras dengan konteks kajian yang sedang dikaji. Memahami peristiwa masa lalu dengan kuasa data akan memungkinkannya untuk dapat dibaca secara nikmat.
Kini ada kuasa data dan kuasa kata. Bagaimana kita, sebagai seseorang yang menyukai sejarah, harus menempatkan hal tersebut?
Menjembatani Kuasa Kata dan Kuasa Data
Atmosfer penelitian terkait kemanusiaan perlu dirasakan lebih dalam, agar kita dapat merasakan nuansa kajian dengna lebih hakiki. Menguasai situasi serta kondisi lingkungan yang menjadi objek penelitian patut dilakukan, karena secara geografis, keberadaan lingkungan penelitian menjadi pendukung optimalisasi kuasa data.
Keadaan lingkungan penelitian perlu dikuasai, agar kita dapat menjamah kajian-kajian yang lebih luas. Untuk itu, ketika kita mampu menuangkan ide-ide dalam bentuk kuasa kata, alam pikiran akan berimajinasi luas untuk menjangkau pendekatan kajian secara objektif.
Menurut Muh. Fitrah dan Luthfiyah dalam buku Metodologi Penelitian: Penelitian Kualitatif, Tindakan Kelas & Studi Kasus, di era saat ini, telah begitu banyak penemuan baru dalam ilmu pengetahuan. Penemuan tersebut dapat dirasakan hampir dalam segala bidang dan lingkungan kehidupan manusia. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat terelakkan lagi, karena merupakan tuntutan dari keberadaan manusia itu sendiri.

Ketika imajinasi penulis dapat melampaui identitas kajian yang akan ditulis, yakni melalui kuasa kata, ia juga membutuhkan kuasa data sebagai bahan pelengkap kajian. Ketika telah memiliki data, seorang penulis akan mendalami terlebih dahulu tentang keberadaan sumber tersebut sehingga segala tulisan yang dihasilkan tidak jauh konsepsinya dari objektivitas yang sedan dikaji.
Dengan kuasa data, mengkaji sesuatu menjadi semakin mudah. Kekuasaan kuasa data menjadi bagian wajib dan pendukung kehadiran kuasa kata dalam sebuah kajian.
Namun, kuasa kata juga tidak kalah penting. Dengan kuasa kata, seorang penulis dapat membangun kejernihan jiwa kepenulisan, menghasilkan tulisan-tulisan yang lebih berwarna. Kuasa kata memberikan kekuatan bagi seorang penulis untuk memberikan gambaran peristiwa, dalam hal ini peristiwa sejarah, yang seolah-olah nyata terjadi pada masanya.
Dapat dikatakan, kuasa data dan kuasa kata saling mendukung dalam sebuah penulisan peristiwa masa silam. Tanpa kuasa data, peristiwa yang disajikan tidak akan memiliki pondasi yang kuat, dan tanpa kuasa kata, peristiwa yang ditulis akan terasa kering dan tidak memiliki jiwa yang hidup. Seorang penulis yang baik, dalam hal ini sejarawan dan mereka yang menyukai sejarah, perlu menyeimbangkan antara kuasa kata dan kuasa data, untuk menghasilkan sebuah rekonstruksi masa silam yang berwarna dan objektif.
‘kuasa kata’ dan ‘kuasa data’ . . . dua istilah yang akan melengkapi keindahan sebuah tulisan. Semoga.