Benarkah Suara Rakyat adalah Suara Tuhan?

Sebagian orang mungkin tidak asing lagi dengan istilah Latin vox populi vox dei, yang artinya “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Istilah ini berkembang sejak Revolusi Perancis, sebagai antitesis jargon vox rei vox dei atau “Suara Raja adalah Suara Tuhan”. Istilah ini erat kaitannya dengan sistem demokrasi, yang menempatkan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat.

Pasca-pemilu 2024 ini, istilah tersebut kembali ramai digaungkan. Salah satunya oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haidar Nashir. Ia mengatakan bahwa jika rakyat sudah memilih, maka itu suara Tuhan.

Penggunaan istilah ini, setidak-tidaknya, perlu dikritisi lebih lanjut. Benarkah suara rakyat adalah suara Tuhan?

Suara Mayoritas Belum Tentu Benar

Dapat dikatakan, istilah “suara rakyat adalah suara Tuhan” merupakan istilah hiperbola. Harus diakui, bahwa suara rakyat, dalam sistem demokrasi, sangat dihargai dan disakralkan. Namun, agaknya terlalu jauh, ketika mengatakan bahwa suara mayoritas rakyat merupakan suara Tuhan, meski sebagai metafora.

Jika dilihat, sebagian besar orang malah mengamini istilah tersebut. Terlihat dalam masyarakat kita, mereka beranggapan bahwa pemimpin yang dipilih oleh rakyat adalah pemimpin yang benar. Namun, sebetulnya tidak sesederhana itu.

Ilustrasi pemilihan umum, sebagai wujud pengumpulan suara mayoritas dalam sebuah negara, courtesy of detikNews

Suara mayoritas tidak dapat dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran, apalagi menganggap suara Tuhan berada di pihak mayoritas. Jika kita berpandangan bahwa sesuatu itu benar hanya karena mayoritas orang meyakini sesuatu itu benar, maka kita sudah terjebak pada argumentum ad populum, atau “menanyakan pendapat kepada rakyat”.

Demokrasi memang melihat kuantitas, bukan kualitas. Dalam sistem demokrasi, seorang yang buruk pun bisa menjadi seorang pemimpin. Fenomena seperti ini dapat dilihat di tengah masyarakat kita, yang memilih pemimpin bukan berdasarkan pertimbangan rasional. Mereka masih memilih pemimpin berdasarkan isi amplop yang diterima.

Baca Juga  Bungkus Baru, Isi Lama: Sedikit Catatan mengenai Peringatan Hari Sumpah Pemuda di Indonesia

Tidak heran jika Sokrates sangat antidemokrasi. Pernyataan Sokrates tertuang dalam karya Plato yang monumental, Republik. Dalam buku tersebut, Sokrates menganalogikan negara demokrasi sebagai sebuah kapal yang dikendalikan oleh sembarang orang. Asalkan banyak yang memilihnya, ia bisa menjadi pengemudi kapal sekalipun ia tidak memiliki kemampuan tersebut.

Sokrates (Alopece – 399 SM), filsuf Yunani kuno yang menggambarkan analogi tentang seorang pemimpin yang ditentukan melalui suara mayoritas, courtesy of Britannica

Analogi Sokrates agaknya tepat untuk menggambarkan sistem demokrasi. Seringkali, seseorang keluar sebagai pemimpin bukan karena kompetensi dan dikehendaki Tuhan. Mereka menjadi pemimpin karena suara mayoritas, banyak yang memilihnya. Sedangkan, kebanyakan orang, terutama di Indonesia, masih tidak mampu memilih pemimpin secara obyektif. Mereka masih memilih berdasarkan rasa suka atau tidak suka.

Oleh karena itu, sangat sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa suara mayoritas rakyat itu benar. Apalagi, mengatakan bahwa jika rakyat sudah memilih, maka itu adalah suara Tuhan. Tuhan pastinya berpihak pada kebenaran, tetapi sangat keliru jika beranggapan bahwa suara mayoritas sebagai sebuah kebenaran.

Suara Rakyat Tidak Hanya Mayoritas

Jika ditelisik lebih jauh, tentunya istilah vox populi vox dei juga mengandung semacam generalisasi. Istilah ini seolah-olah mereduksi suara rakyat menjadi suara mayoritas. Dalam hal ini, suara minoritas terkesan diabaikan dan tidak dianggap sebagai bagian dari suara rakyat.

Senada dengan yang diutarakan oleh Deden Koswara dalam tulisan berjudul Realita Vox Populi Vox Dei, bahwa tidak ada suara rakyat secara keseluruhan. Menurutnya, suara yang ada hanyalah suara milik sekelompok atau segelintir orang. Tidak ada suara yang bersifat universal dan mencakup seluruh rakyat.

Kegiatan pesantren waria di Yogyakarta. Di Indonesia, para transpuan merupakan salah satu kelompok dengan suara minoritas di Indonesia, courtesy of totabuan.news

Dalam kehidupan sehari-hari, hal ini memang kerapkali terjadi. Misalnya, seseorang mengatakan bahwa rakyat puas dengan kinerja pemimpin A. Padahal, pernyataan tersebut mengandung ambiguitas, karena tidak jelas rakyat mana yang dimaksud. Hanya karena sebagian besar rakyat puas, tidak berarti bahwa seluruh rakyat merasakan kepuasan yang sama.

Baca Juga  Apakah Media Populer Solusi atas Penyajian Sejarah di Indonesia?

Harus diakui bahwa suara minoritas memang terkesan tidak dianggap dalam jargon tersebut. Sekecil apapun keberadaan mereka, suara minoritas tetap berpengaruh. Boleh jadi, sebetulnya suara minoritaslah yang mengandung kebenaran di dalamnya, dibandingkan suara mayoritas yang hanya menang secara kuantitas.

Sebab Bagi Lahirnya Tirani Mayoritas

Ketika orang-orang berpendapat bahwa suara mayoritas adalah benar dan representasi dari suara Tuhan, maka hal tersebut akan melahirkan sebuah tirani mayoritas. Situasi ini terjadi ketika kaum mayoritas mendominasi dan menentukan suatu kebijakan, bahkan jika kaum minoritas tidak menyetujuinya.

Sangat berbahaya jika kehendak mayoritas dijadikan sebagai kehendak yang benar dan mewakili kehendak universal. Kita tahu, pasti ada minoritas yang tidak sependapat, dan menentang kehendak umum tersebut. Sekali lagi, sekecil apapun suara minoritas, ia tetap harus diperhitungkan.

Kim Jong-un, diktator Korea Utara dan salah satu wujud tirani mayoritas di dunia, courtesy of Kompas.com

Idealnya, kepentingan atau kebijakan harus didasarkan pada kehendak mayoritas dan minoritas. Jika kepentingan hanya didasarkan pada salah satunya saja, maka akan menghasilkan diskriminasi dan ketidakadilan. Hal ini justru akan menyimpang dari prinsip demokrasi.

Oleh karena itu, sebetulnya istilah vox populi vox dei mengandung kecacatan. Pertama, karena suara Tuhan tidak selalu berpihak pada suara mayoritas. Kedua, suara minoritas pun adalah bagian dari suara rakyat. Terakhir, pengakuan akan suara mayoritas sebagai suara Tuhan akan melegitimasi sebuah tirani mayoritas.

*Tulisan ini pernah diterbitkan di Mabur.co dengan judul yang sama pada 22 Februari 2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *