Menggali Jejak-jejak Pascakebenaran dalam Dunia Akademik

Era pascakebenaran (post-truth) telah membawa perubahan mendasar dalam cara kita memahami dan memproses informasi. Pascakebenaran, yang mendorong manusia untuk melihat emosi dan keyakinan ketimbang fakta objektif sebuah informasi, telah memunculkan tantangan besar dalam berbagai sektor, terutama dalam dunia akademik, yang bergantung pada kredibilitas dan ketepatan data.

Di tengah gelombang informasi yang semakin cepat melalui internet, fakta seringkali tereduksi menjadi sekadar bagian dari narasi yang lebih besar, yang dikompromikan demi kepentingan politik atau ekonomi. Dalam konteks akademik, situasi ini menjadi lebih serius, karena penelitian ilmiah berfungsi sebagai salah satu pilar utama dalam masyarakat.

Ilustrasi akademikus Indonesia dalam sebuah acara, courtesy ANTARA Jateng

Jika objektivitas penelitian ilmiah terganggu, hasilnya dapat menyesatkan kebijakan publik, pendidikan, dan pengetahuan yang lebih luas. Akademikus, yang seharusnya menjadi penjaga integritas ilmu pengetahuan, kini menghadapi ancaman dari berita palsu (fake news) serta disinformasi yang menyusup ke dalam proses penelitian mereka. Di era pascakebenaran ini, akademikus tidak hanya harus melawan kealpaan informasi, tetapi juga harus bersaing dengan misinformasi yang terorganisir.

Kondisi ini diperparah dengan tingginya kecepatan penyebaran informasi melalui media sosial. Sumber-sumber yang tidak terverifikasi seringkali menyebarkan konten yang dianggap nyata oleh publik, sementara akademikus harus bekerja keras untuk memverifikasi kebenaran data. Situasi ini menyebabkan informasi palsu menngakar lebih cepat dalam benak masyarakat, menjadikan penelitian ilmiah yang benar lebih sulit diterima.

Karena hal tersebut, sangat penting untuk memahami bagaimana pascakebenaran memengaruhi dunia akademik. Dengan memahami tantangan ini, kita dapat mencari solusi yang lebih efektif untuk menjaga integritas penelitian ilmiah. Tanpa hal tersebut, kita berisiko kehilangan kepercayaan publik terhadap sains dan akademikus, yang pada akhirnya akan berdampak negatif terhadap perkembangan masyarakat secara keseluruhan.

Konsep Pascakebenaran Selayang Pandang

Konsep pascakebenaran muncul dalam perdebatan publik sejak awal dekade 2010-an, terutama setelah Referendum Brexit dan pemilihan umum presiden Amerika Serikat pada 2016. Kedua peristiwa tersebut menjadi titik awal penggunaan informasi untuk tujuan manipulatif. Melalui kedua peristiwa tersebut, serta penetapan kata post-truth sebagai Word of the Year pada 2016 oleh Oxford Dictionaries,membuktikan betapa signifikan fenomena ini.

Ilustrasi kata pascakebenaran (post-truth) yang menjadi Word of The Year pada 2016, courtesy of The Fader

Sepanjang sejarah, manipulasi atas informasi bukanlah fenomena baru. Namun, yang membedakan kondisi masa silam dengan era pascakebenaran adalah kecepatan dan skala penyebaran manipulasi informasi yang lebih masif, terutama melalui internet dan media sosial.

Baca Juga  Gig Economy dan Kemunculan Kelompok Precariat di Indonesia

Dalam era pascakebenaran, algoritma digital bekerja untuk memperkuat bisa pengguna, membentuk apa yang dikenal sebagai gelembung informasi (filter bubble). Gelembung informasi memungkinkan seorang pengguna hanya terpapar pada informasi yang mendukung keyakinan mereka sehingga menyebabkan terjadinya fragmentasi sosial. Kondisi fragmentasi sosial terjadi ketika kelompok masyarakat yang berbeda tidak lagi berbagai narasi yang sama, melainkan hidup dalam realitas mereka masing-masing.

Akibat dari kondisi ini, disinformasi, baik yang disebarkan secara sengaja untuk menyesatkan maupun yang terjadi akibat ketidaktahuan, menjadi kekuatan yang mengancam fondasi-fondasi objektivitas dalam dunia akademik.

Ilustrasi gelembung informasi (filter bubble), courtesy of Bermasa.com

Konten palsu menyebar dengan mudah, bahkan lebih cepat dari informasi yang benar, melalui viralitas internet. Dampaknya, banyak orang menganggap informasi palsu ini sebagai sebuah kebenaran, yang kemudian menimbulkan kebingungan dan keragukan otoritas akademik, berujung pada sebuah krisis epistemologi. Kondisi ini mendorong masyarakat kehilangan kepercayaan pada otoritas ilmiah, tidak lagi dapat membedakan mana fakta dan mana fiksi.

Bagi dunia akademik, ini adalah ancaman serius. Penelitian yang mereka hasilkan, yang seharusnya membantu mengarahkan kebijakan publik, justru diabaikan, jika kepercayaan terhadap para akademikus hancur.

Disinformasi dan Misinformasi dalam Penelitian Ilmiah

Dalam dunia akademik, disinformasi dan misinformasi telah memberikan dampak yang nyata. Salah satu kasus yang cukup menonjol adalah tentang vaksinasi. Berbagai penelitian palsu mengklaim bahwa vaksin menyebabkan autisme telah tersebar di masyarakat.

Studi yang tidak berdasar tersebut, meski telah disangkal oleh komunitas ilmiah, terus menjadi bahan perdebatan di berbagai forum internet. Akibatnya, gerakan antivaksin menjadi semakin kuat, yang berdampak langsung terhadap kesehatan publik, ketika kasus penyakit yang seharusnya dapat dicegah dengan vaksin meningkat.

Ilustrasi vaksinasi. Klaim bahwa vaksin menyebabkan autisme menyebabkan tumbuhnya gelombang antivaksin di berbagai negara di dunia, courtesy of The New York Times

Dalam bidang sosial, misinformasi juga mengaburkan pemahaman masyarakat tentang isu-isu kritis. Sebagai contoh, penelitian tentang perubahan iklim seringkali ditentang oleh kelompok-kelompok yang menyebarkan disinformasi untuk mempertahankan kepentingan bisnis tertentu. Dengan memanfaatkan ketidakpastian dalam penelitian ilmiah, mereka menciptakan keraguan di kalangan publik tentang realitas perubahan iklim, meski telah ada konsensus yang jelas di kalangan ilmuwan. Situasi ini memengaruhi kebijakan lingkungan global, memperlambat upaya untuk mengatasi krisis iklim.

Baca Juga  Menggugat Pancasila sebagai Sebuah Ideologi

Ketika informasi palsu menyebar dengan cepat, kepercayaan masyarakat terhadap akademikus akan menurun. Mereka mulai meragukan otoritas ilmiah, yang seharusnya menjadi sumber kebenaran. Krisis ini bisa memicu fenomena akademikus hanya dipandang sebagai bagian dari elit yang tidak relevan dengan kehidupan nyata, memperdalam kesenjangan antara ilmu pengetahuan dan masyarakat umum.

Mengapa Disinformasi Bisa Menembus Dunia Akademik?

Terdapat beberapa faktor mengapa disinformasi bisa menembus dunia akademik. Salah satu faktor terbesar adalah meningkatnya akses ke sumber informasi yang tidak terverifikasi.

Internet telah menyediakan kemudahan akses yang luar biasa terhadap berbagai macam data. Namun, tidak semua data tersebut dapat dipercaya. Para akademikus dan peneliti, terutama yang bekerja di lingkungan dengan akses terbatas ke jurnal ilmiah, seringkali tergoda untuk mengambil informasi dari sumber-sumber yang tidak kredibel.

Ilustrasi disinformasi. Dalam dunia akademik, disinformasi menjadi sangat berbahaya, courtesy of BaKTINews

Faktor lain adalah kecepatan publikasi. Di dunia yang semakin kompetitif, akademikus didorong untuk mempublikasikan hasil penelitian mereka dengan cepat agar tetap relevan. Dalam tekanan untuk menghasilkan lebih banyak publikasi, banyak dari mereka mungkin tidak melakukan verifikasi yang cukup ketat terhadap sumber informasi yang mereka gunakan, membuka pintu bagi masuknya disinformasi dalam penelitian mereka.

Kurangnya literasi digital di kalangan akademikus juga menjadi penyebab. Banyak akademiskus yang mungkin ahli di bidangnya, tetapi tidak cukup terampil dalam menilai validitas sumber-sumber informasi digital. Mereka mungkin mengambil data dari artikel daring yang terlihat kredibel, padahal sebenarnya informasi tersebut telah dimanipulasi.

Ini menunjukkan bahwa meskipun akademikus memiliki pengetahuan mendalam di bidangnya, mereka tetap membutuhkan keterampilan untuk menyaring informasi yang valid di era pascakebenaran ini.

Pengaruh Algoritma dan Media Sosial

Peran algoritma dalam media sosial semakin memperkuat fenomena pascakebenaran di dunia akademik. Algoritma ini didesain untuk memprioritaskan konten yang lebih sensasional atau kontroversial, karena konten tersebut cenderung mendapatkan lebih banyak interaksi dari pengguna.

Baca Juga  Antiperpustakaan dan Masa Depan Pembaca Buku

Akibatnya, informasi yang faktual tetapi kurang menarik seringkali tenggelam dalam lautan informasi yang lebih sensasional namun tidak akurat. Ini menciptakan ekosistem yang memungkinkan informasi palsu dapat menyebar lebih cepat dan lebih luas daripada kebenaran.

Ilustrasi penggunaan media sosial. Ia mempengaruhi cara masyarakat mengolah informasi, mendorong pascakebenaran terjadi lebih kuat, courtesy of IDN Times

Selain itu, gelembung informasi menyebabkan pengguna media sosial hanya terpapar pada informasi yang mendukung pandangan mereka. Akademikus yang mengandalkan media sosial sebagai salah satu sumber data atau komunikasi ilmiah dapat terjebak dalam gelembung ini, ketika mereka hanya melihat atau berinteraksi dengan data yang mendukung hipotesis mereka. Hal tersebut, tentu saja, membahayakan objektivitas penelitian dan mengurangi keanekaragaman perspektif, yang seharusnya menjadi bagian dari proses ilmiah.

Algoritma juga memengaruhi persepsi publik terhadap akademikus dan penelitian ilmiah. Ketika berita palsu atau disinformasi tersebar luas di media sosial, masyarakat mulai meragukan keabsahan penelitian yang sah. Misalnya, sebuah studi ilmiah yang memerlukan waktu bertahun-tahun untuk diselesaikan mungkin akan dikalahkan oleh sebuah klaim sensasional yang disebarkan dalam hitungan detik di platform X.

Pada akhirnya, akademikus tidak hanya harus bersaing untuk menghasilkan publikasi. Kini, di era pascakebenaran ini, mereka harus bersaing melawan disinformasi yang menyebar begitu cepat melalui internet. Algoritma, yang mendorong terciptanya gelembung informasi, menjadikan penelitian ilmiah mereka kalah melawan sebuah kalimat sensasional di media sosial.

Haruskan akademikus merubah strategi mereka untuk menyebarkan pengetahuan, dan menjadi apostel pencerahan, mengutip Andrew Goss? Hanya keinginan yang luhur yang mampu mendorong mereka melakukan cita-cita tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *