M.H. Thamrin dalam Pusaran Pergerakan Nasional

Hampir sebagian besar kelompok terdidik pergerakan nasional di Hindia Belanda hidup dalam kondisi serba pas-pasan, hingga terkesan penuh kekurangan. Meski secara pendidikan, mereka adalah golongan terpelajar, tidak berarti mereka menjadi kelompok yang sejahtera secara ekonomi.

Dibanding mengabdi sebagai ambtenaar dalam struktur pemerintah kolonial, mereka lebih suka mencari penghidupan dari berjualan kecil-kecilan, menjadi wartawan surat kabar, dan profesi bergaji kecil lainnya. Dunia pergerakan menuntut lebih banyak waktu dan tenaga, sehingga bayangan untuk membangun kehidupan yang mapan dan serba kecukupan, jarang terlintas di benak mereka.

Melihat fenomena tersebut, salah seorang tokoh pergerakan nasional yang terkemuka, M.H. Thamrin, berinisiatif untuk mendirikan Fonds Nasional. Wadah ini bertujuan untuk menghimpun dana, yang akan disalurkan kepada keluarga anggota kaum pergerakan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Muhammad Husni Thamrin (1894-1941), courtesy of detik Finance

Tak berhenti sampai di situ, solidaritas M.H. Thamrin juga ditunjukkan dengan tindakan lain, seperti menyediakan rumah sewanya di gang Kenari untuk rapat kebangsaan kalangan pergerakan. Sikap demikian memang sudah menjadi rahasia umum dalam hidup Thamrin, ketika putra asli Betawi ini selalu siap sedia berkorban demi kepentingan bangsa.

Lahir pada 16 Februari 1894 di Batavia, Muhammad Husni Thamrin termasuk ke dalam golongan masyarakat bumiputra terpandang. Ayahnya, Haji Tabri Thamrin, merupakan seorang wedana di Batavia. Kakeknya, yang bernama Ort, adalah seorang hartawan besar nan terkemuka di Batavia. Berbekal latar belakang ini, Thamrin kecil bisa menikmati akses pendidikan yang disediakan pemerintah kolonial bagi kalangan pribumi atas.

Tercatat, Thamrin pernah bersekolah di Instituut Bosch, kemudian Bybel School, dan juga merasakan Gymnasium Koning Willem III yang ada di wilayah Salemba. Saat bersekolah di Salemba, Thamrin muda memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya. Ia berkeinginan untuk terjun langsung ke masyarakatnya, kaum Betawi.

Baca Juga  Akar Sentimen Anti-Yahudi di Indonesia

Keputusannya untuk meninggalkan sekolah menandai sepak terjang Thamrin dalam dunia pergerakan. Mencicipi kursi Gementeraad (dewan kota) Batavia sejak tahun 1919, Thamrin mengusahakan perbaikan masyarakat lewat saluran formal. Saat duduk di dalam dewan kota, ia menjalin hubungan dengan seorang sosialis berkebangsaan Belanda bernama Van Der Zee, yang memiliki visi kurang lebih sama dengannya.

Suasana sidang dalam Volksraad, courtesy of Wikipedia

Kepiawaiannya dalam mengartikulasikan keinginan rakyat membuatnya dipercaya sebagai ketua Perkumpulan Kaum Betawi, sebuah organisasi kedaerahan yang didirikan pada 1 Januari 1923. Dibawah kepemimpinannya, organisasi ini berkembang pesat. Bahkan, Perkumpulan Kaum Betawi terlibat dalam menginisiasi pembentukan Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), yang dibentuk pada 17 Desember 1927.

Setelah dipandang sahih sebagai tokoh Betawi terkemuka, Thamrin melangkah ke lapangan yang lebih luas. Pada 16 Mei 1927, M.H. Thamrin terpilih untuk duduk di dalam Volksraad, setelah Tjokroaminoto dan Sutomo menolak tawaran kursi di lembaga tersebut.

Meski Volksraad kala itu dilabeli sebagai “komidi omong” oleh kalangan nonkooperasi, tak membuat surut semangat Thamrin untuk berbuat lebih. Sutrisno Kutoyo dan Mardanas Safwan, dalam buku M.H. Thamrin Riwayat Hidup dan Perjuangannya, menguraikan perjuangan Thamrin membuat terobosan. Melalui Fraksi Nasional, Thamrin berjuang menggalang kemerdekaan selekas-lekasnya, dan menghapus perbedaan politik, ekonomi, dan intelektual, melalui cara-cara yang dianggap sah.

Suasana politik Hindia Belanda pada awal dekade 1930-an ditandai dengan kebijakan tangan besi pemerintah kolonial. Melalui exorbitante rechten, satu kewenangan pemerintah yang melegalkan penggeledahan, penangkapan, penahanan, membuat banyak tokoh politik Indonesia, terutama yang dipandang radikal, dibuang. Tercatat, tokoh seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, menjadi korban dari peraturan ini.

Patung wajah M.H. Thamrin di area Monuman Nasional (Monas), courtesy of Elshinta

Melihat fenomena tersebut, M.H. Thamrin, bersama tokoh lainnya, berinisiatif untuk melanjutkan estafet kepemimpinan nasional dengan membentuk Partai Indonesia Raya (Parindra) pada 24 Desember 1935. Ia sendiri mengambil alih kepemimpinan Parindra pada tahun 1938 setelah ketuanya, Sutomo, wafat.

Baca Juga  Kemelut Hubungan Indonesia-Israel dalam Sejarah

Sikap paranoid yang ditunjukkan pemerintah kolonial Hindia Belanda sepanjang 1930-an diperparah dengan kekhawatiran akan meletusnya Perang Pasifik. Segala hal yang berbau Jepang di Hindia Belanda, menjadi demikian dicurigai. Sikap paranoid tersebut menjurus pada sejumlah aksi penangkapan tokoh-tokoh yang dianggap memiliki kontak dengan Jepang. E. F. E. Douwes Dekker, dan Sam Ratulangie, menjadi contoh korban dari sikap pemerintah kolonial.

Tokoh terkemuka selanjutnya yang menjadi sasaran ialah M.H. Thamrin. Berbekal tuduhan mengadakan kontak dengan Jepang dan bersikap unloyaaliteit (tidak setia) pada negara, kediaman Thamrin digeledah. Ia dikenai tahanan rumah sejak 6 Januari 1941.

Penahanan Thamrin menuai reaksi keras publik. Mohammad Natsir, lewat tulisannya dalam majalah Pandji Islam pada April 1941, menggugat tuduhan pemerintah kolonial tersebut. Natsir memandang itu hanya akal-akalan saja, untuk meredam kelompok pergerakan.

Akibat dari penahanan itu, Thamrin, yang memang sedang menderita sakit, menghembuskan napas terakhirnya pada 11 Januari 1941, dengan status tahanan rumah. Dua hari kemudian, sidang Volksraad dibawah pimpinan Mr. Jonkman mengadakan peringatan kematian M.H. Thamrin sembari mengenangkan jasa-jasanya.

Kiprah Thamrin diakui baik oleh kawan maupun lawannya. Sosok Thamrin juga diakui oleh De Jonge, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang dikenal bertangan besi. Menurut D. M. G. Kock, dalam buku Menuju Kemerdekaan, Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia, De Jonge, dalam satu kesempatan, pernah mengatakan bahwa Thamrin adalah “orang berbahaya dan pintar”. Ia tidak seperti Sukarno yang “berbahaya tapi bodoh”; Thamrin lebih licin dan sulit dipegang.

Referensi

[1] D. M. G. Koch. (1951). Menuju Kemerdekaan: Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia sampai 1942. Jakarta: Yayasan Pembangunan.
[2] M.C. Ricklefs. (1999). Sejarah Indonesia Modern. Terj: Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: UGM Press.
[3] Petrik Matanasi. (2018). “Husni Thamrin, Pahlawan Betawi yang Berjuang di Volksraad”. Tirto.ID. https://tirto.id/husni-thamrin-pahlawan-betawi-yang-berjuang-di-volksraad-bUVr, diakses 13 Maret 2024.
[4] Sutrisno Kutoyo dan Mardanas Safwan. (1980). M.H. Thamrin Riwayat Hidup dan Perjuangannya. Bandung: Angkasa.
[5] Toto Widyarsono. (2020). Melawan Dalam Volksraad: M.H. Thamrin dan Gerakan Nasionalis Kooperasi di Indonesia 1927-1941. Yogyakarta: Matapadi Pressindo.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *