Sejarah Payung, dari Simbol Para Raja hingga Produksi Massal

Ada banyak benda dalam keseharian kita. Banyak dari mereka, seringkali terlewat dari perhatian kita. Salah satu benda tersebut, yang hampir selalu nyempil di pojok rumah, terselip di sudut mobil, atau digantung di balik pintu, adalah payung.

Ilustrasi orang Jepang yang sedang menggunakan payung, courtesy of Linkedln

Payung, dengan bentuknya yang sederhana, melindungi kita dari hujan deras atau sinar terik matahari yang membakar. Namun, siapa sangka, bahwa di balik fungsinya yang praktis, payung memiliki sejarah panjang yang membentang dari zaman kuno hingga menjadi bagian dari kehidupan manusia modern.

Bagaimana sejarah sebuah payung, sejak awal ia diciptakan hingga menjadi bagian integral manusia modern masa kini?

Simbol Kekuasaan para Raja dan Bangsawan

Payung pertama kali hadir dalam bentuk parasol pada zaman Mesir Kuno. Kehadiranya digunakan untuk melindungi para raja dan ratu dari terik matahari. Payung pada masa itu terbuat dari daun palma, papirus, atau kain yang dibentangkan di atas kerangka kayu.

Penggunaan payung pada masa itu bukan hanya alat praktis. Ia juga merupakan simbol kekuasaan. Keberadaan payung menunjukkan kedudukan sosial seseorang. Hanya kalangan bangsawan dan pejabat tinggi yang diizinkan menggunakannya, mengisyaratkan hanya mereka yang layak untuk dilindungi dari panas matahari.

Payung pada masa Mesir Kuno. Pada masa itu, payung menjadi alat bagi bangsawan untuk berlindung dari terik matahari, courtesy of Art of Counting

Fungsi serupa dari payung juga terdapat pada masa Tiongkok Kuno. Pada masa tersebut, payung, yang diperkirakan muncul sekitar 2.000 tahun sebelum Masehi, berbahan dasar kain sutra atau kertas yang dilapisi minyak.

Payung Tiongkok tidak hanya berfungsi sebagai pelindung, tetapi juga sebagai objek spiritual dari simbol langit yang melindungi kaisar dan keluarganya. Rakyat biasa tidak memiliki hak untuk menggunakan payung. Hal ini menegaskan adanya representasi dari herarki sosial, yakni menyiratkan kesenjangan sosial dan kekuasaan dalam tatanan masyarakat kuno.

Baca Juga  Melihat Kembali Polemik Kamus Sejarah Nasional

Di dunia Barat, payung dikenalkan melalui hubungan dagang dan penjelajah. Bangsa Yunani Kuno dan Romawi mengenalkan payung dalam kebudayaan mereka setelah melihat penggunaannya di wilayah Timur. Di Yunani Kuno, payung digunakan sebagai aksesori perempuan untuk melindungi diri dari matahari. Sementara, bangsa Romawi memanfaatkan payung sebagai simbol kemewahan dan kecantikan para wanita bangsawan.

Payung dalam sebuah terakota di Tiongkok Kuno, courtesy of Wikipedia

Pada abad pertengahan, payung nyaris hilang dari peradaban Eropa. Baru pada abad ke-16, payung ditemukan kembali oleh masyarakat Eropa. Kali ini, ia memiliki fungsi lebih praktis, yakni sebagai pelindung dari hujan.

Di negara seperti Inggris dan Prancis, payung juga berkembang sebagai aksesori mode yang penting bagi kalangan aristokrat. Penggunaan payung di kalangan pria mulai diterima pada masa itu, meski ia masih dianggap sebagai barang mewah yang hanya dimiliki oleh mereka yang berkantong tebal.

Berubah menjadi Produk untuk Masyarakat

Abad ke-18 menjadi titik balik bagi popularitas payung. Di Inggris, Jonas Hanway, seorang penulis dan filantropis, menjadi tokoh penting dalam mempopulerkan payung di kalangan pria.

Awalnya, ia menjadi bahan ejekan, karena sering terlihat berjalan dengan payung di jalanan London. Tetapi, lama-kelamaan, payung mulai diterima masyarakat Inggris sebagai kebutuhan. Payung menjadi pelindung dari hujan deras di kota-kota besar yang sedang berkembang pesar, ketika cuaca tak menentu sering menjadi bagian dari rutinitas harian.

Ilustrasi Jonas Hanway melintasi jalanan London dengan menggunakan payung, courtesy of Bite Sized Britain

Pada abad ke-19, inovasi dalam bahan dan desain payung semakin berkembang. Kerangka besi mulai menggantikan kayu, menjadikan payung lebih ringan dan tahan lama. Produksi payung secara massal juga dimulai pada masa itu, terutama di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Ini membuat payung lebih terjangkau bagi masyarakat umum.

Memasuki abad ke-20, payung menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya populer. Dalam film-film Hollywood, payung seringkali muncul sebagai simbol keanggunan atau penunjang cerita. Selain itu, di Jepang, payung kertas yang dikenal sebagai wagasa terus digunakan untuk melestarikan tradisi kuno dalam seni dan upacara teh.

Ilustrasi pabrik produksi payung di Tiongkok, courtesy of YouTube/@process1314

Di kehidupan modern abad ke-21, payung terus berkembang dengan berbagai desain dan inovasi. Kehadiran payung lipat yang mudah dibawa hingga payung otomatis yang bisa dibuka dengan satu tombol menjadi corak payung modern. Meski begitu, prinsip payung pada milenium ketiga tetap sama dengan abad ke-18, yakni sebagai pelindung dari hujan dan panas.

Baca Juga  Tradisi Kongkalikong Pejabat Indonesia dari Masa ke Masa

Di balik rangkulan lembut, pelindung dari hujan dan panas, payung memiliki riwayat yang lekat dengan kehidupan manusia. Berawal dari simbol para raja dan bangsawan, payung pada periode modern berubah menjadi sebuah produk untuk masyarakat. Ia tidak lagi berperan utama sebagai simbol kekayaan atau kebangsawan; perannya kini lebih dalam wujud fungsional, yakni sebagai pelindung dari cuaca basah dan panas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *