Wabah Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi ancaman besar bagi masyarakat Indonesia. Setiap tahun, kasus DBD selalu mengalami peningkatan. Berdasarkan data yang dicatat oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI pada periode Agustus 2023, kasus DBD di Indonesia telah menyentuh angka 60 ribu kasus, dengan angka kematian mencapai 430 jiwa.
Sebagai upaya untuk menangani DBD, berbagai inovasi dalam dunia kesehatan sudah banyak dilakukan. Salah satu upaya tersebut adalah metode Wolbachia. Dilansir dari situs resmi Universitas Esa Unggul, Maksum Radji, pakar Mikrobiologi dan Bioteknologi FIKES Universitas Esa Unggul, menjelaskan bahwa Wolbachia adalah metode penanggulangan DBD menggunakan nyamuk jantan berbakteri Wolbachia. Metode ini telah diimplementasikan di 14 negara, termasuk Indonesia, sejak 2011.
Maksum juga mengatakan bahwa Wolbachia merupakan bakteri yang lazim terdapat pada beberapa spesies serangga, seperti capung, kupu-kupu, dan nyamuk. Menurutnya, Wolbachia sudah melalui analisis risiko, yang menyimpulkan bahwa penggunaan metode kesehatan ini aman bagi lingkungan maupun manusia.
Kendati sejumlah pakar sudah menyatakan bahwa Wolbachia aman digunakan untuk menanggulangi DBD, keresahan dan keraguan masih menyelimuti masyarakat. Bahkan, penolakan kerap disuarakan dari berbagai pihak, termasuk kaum intelektual. Hal ini menambah kecemasan di masyarakat, dan menimbulkan pro dan kontra yang terus membuat pusing masyarakat.
Pembawa Bencana?
Adanya pro dan kontra mengenai Wolbachia di kalangan masyarakat, agaknya disebabkan oleh informasi yang simpang siur mengenai Wolbachia. Ada pihak yang sengaja menyebarkan kabar burung di media sosial mengenai dampak Wolbachia. Melansir pemberitaan Republika, seseorang menyebarkan informasi bahwa Wolbachia dapat menyebabkan radang otak Japanese Encephalistis.
Hal tersebut langsung dibantah oleh pegiat edukasi kesehatan, Adam Prabata. Ia menegaskan bahwa radang otak tidak disebabkan nyamuk Wolbachia, melainkan oleh nyamuk Culex tritaeniorhinchus. Ia juga mengatakan bahwa Wolbachia tidak menyebabkan penyakit pada manusia maupun binatang.
Di Bali, melansir situs berita Barometer Bali, Wolbachia mendapatkan penolakan dari Pusat Koordinasi (Puskor) Hindunesia. Mereka menolak rencana pelepasan 200 juta telur nyamuk Wolbachia yang akan dilakukan pemerintah daerah di Bali. Humas Puskor Hindunesia, I Putu Dewa Sudarsana, mengatakan bahwa penolakan terhadap Wolbachia dilandasi dampak buruk yang ditimbulkannya, seperti yang terjadi di Sri Lanka dan Kolombia. Kedua negara tersebut, klaim Dewa Sudarsana, mengalami pelonjakan kasus DBD pasca-penerapan metode Wolbachia.
Klaim yang dilontarkan Dewa Sudarsana berbanding terbalik dengan fakta di lapangan. Melansir pemberitaan CNN Indonesia, dinyatakan bahwa kasus DBD di Kolombia justru mengalami penurunan pasca penggunaan Wolbachia. Di negara bagian Antioquia, Lembah Aburra, misalnya, kasus DBD mengalami penurunan hingga 97 persen. Dapat dikatakan, informasi yang diterima, dan tentu saja dilontarkan, oleh Dewa Sudarsana bersumber dari sebuah misinformasi di media sosial.
Sejarah yang Terus Berulang
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, Wolbachia bukan merupakan satu-satunya metode penanganan wabah yang kontroversial dan mendapat pertentangan oleh masyarakat. Kasus yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia, Covid-19, merupakan contoh nyata. Sepanjang 2021, beberapa kelompok masyarakat menolak vaksinasi. Hal tersebut, salah satunya, dilandasi adanya kabar hoaks yang menyatakan bahwa terdapat chip pelacak dalam vaksin Covid-19.
Selain itu, alasan masyarakat enggan melakukan vaksinasi Covid-19 adalah tersebarnya informasi yang menyatakan bahwa terdapat kandungan yang diharamkan Islam dalam vaksin tersebut. Mengutip tulisan Putri Amalia Nidar dkk berjudul Kontroversi Vaksinasi & Covid-19 terungkap fakta bahwa masyarakat Indonesia menolak kampanye vaksinasi pemerintah karena mereka ingin memastikan efek samping yang akan ditimbulkannya.
Kendati menghadapi penolakan, vaksinasi Covid-19 berhasil dikampanyekan pemerintah. Masyarakat berbondong-bondong melakukan suntik vaksin. Pada 21 Juni 2023, pemerintah Indonesia secara resmi menyatakan bahwa pandemi Covid-19 telah berakhir melalui Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2023 tentang Penetapan Berakhirnya Pandemi Coronavirus Disease (Covid-19).
Jika kita mundur lebih jauh ke belakang, yakni pada zaman kolonial Hindia Belanda, kontroversi mengenai penanganan wabah lazim dilakukan masyarakat. Dalam skripsi Devi Nur Maharani berjudul Langit Kelabu Vorstenlanden: Kontroversi Tusukan Limpa (MILPUNCTIE) Masyarakat Surakarta dalam Menangani Epidemi PES Tahun 1915-1956, dinyatakan bahwa pemerintah kolonial dan raja-raja lokal melakukan tindakan kontroversial dengan menusuk limpa mayat yang terpapar wabah pes sebagai upaya penanggulangan.
Pemerintah Hindia-Belanda, sejak pes mewabah pada 1915 melalui tikus yang terbawa kapal pengangkut beras dari India dan Vietnam, melakukan berbagai upaya untuk menangani wabah tersebut. Berbagai langkah yang mereka lakukan, antara lain pemberlakuan karantina, hingga tusuk limpa. Langkah yang disebut terakhir mendapatkan protes dari masyarakat, karena dianggap bertentangan dengan kaidah agama yang menganggap penusukan limpa merupakan upaya perusakan terhadap jenazah.
Kendati mendapatkan protes dari masyarakat, tusuk limpa tetap dilakukan. Untuk meredakan protes tersebut, pada 1955, Madjelis Pertimbangan Kesehatan dan Sjara’ mengeluarkan fatwa bahwa tusuk limpa diperbolehkan, dengan syarat agar dilakukan dengan segera dan meminta izin kepada keluarga korban terlebih dahulu.
Belajar dari Masa Silam
Melihat perjalanan sejarah penanganan wabah di Indonesia, sebuah pertanyaan muncul dalam benak kita; apakah metode Wolbachia, yang mengundang polemik di masyarakat, benar-benar efektif untuk diterapkan di Indonesia?
Melansir pemberitaan Kompas.com, disebutkan bahwa terdapat penurunan kasus DBD hingga 77 persen pascapenyebaran nyamuk ber-Wolbachia di Yogyakarta. Menurut Kasi Pencegahan Pengendalian Penyakit Menular dan Imunisasi, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Yogyakarta, Endang Sri Rahayu, mengatakan bahwa kasus DBD di Kota Yogyakarta pada 2023 hanya sekitar 85 kasus, lebih sedikit dibandingkan pada tahun sebelumnya yang mencapai 160 kasus.
Meski telah teruji dan memiliki landasan secara akademis, metode penanganan wabah yang dilakukan pemerintah masih mendapatkan penolakan masyarakat. Secara historis, masyarakat kita masih bersikap pragmatis terhadap kampanye pemerintah Indonesia terhadap penanganan wabah dan penyakit menular. Kondisi ini menjadi semakin nyata di era internet dewasa ini, ketika hoaks dan misinformasi yang menyesatkan lebih dipercayai masyarakat, mengalahkan kampanye baik pemerintah untuk menekan laju penyakit yang telah mewabah di negara ini.