Ketika kita berbicara mengenai dunia politik dewasa ini, kita tak dapat m elepaskan diri untuk tidak membicarakan para pendengung (buzzer). Mereka, yang menghabiskan waktu menggemakan isu-isu tertentu untuk mendiskreditkan atau memperhebat citra seorang atau sekelompok entitas politik, aktif berperan dalam proses perpolitikan dunia.
Hal tersebut tidak terkercuali di Indonesia. Dengan populasi pengguna internet yang besar, para pendengung di Indonesia memanfaatkan hal tersebut untuk mendorong opini publik terhadap suatu isu maupun suatu tokoh dan entitas politik tertentu.
Kita ambil saja contoh pilgub DKI beberapa tahun yang lalu, ketika Anies Baswedan harus berhadapan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Baik kedua calon gubernur tersebut menggunakan pendegung untuk menggemakan nama mereka di internet. Tak jarang pula, mereka memoles citra calon gubernur yang dipilih dengan mendiskreditkan calon lainnya.
Kalau contoh tersebut dirasa terlalu jauh, kita lihat pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) selama 10 tahun terakhir. Sejak 2012-2013, ketika ia masih menjadi gubernur Jakarta, dan kemudian menjadi calon presiden, para pendengung memiliki andil besar dalam memoles citra Jokowi. Lihat bagaimana mereka menyiarkan berita mengenai Jokowi yang masuk ke gorong-gorong, kita akan temukan polesan yang sangat cantik yang dilakukan oleh para pendengung.
Apakah salah bagi seorang pemimpin untuk memiliki kelompok-kelompok pendengung? Melihat gaya politik yang dilakukan para politisi dewasa ini, keberadaan kelompok pendengung tidak dapat dihindari. Sebagai buah karya demokrasi, keberadaan pendengung tak bisa dilepaskan dengan kebebasan berpendapat.
Hanya saja, yang perlu menjadi catatan, seorang pemimpin perlu menertibkan kembali pendengung mereka. Mereka perlu diatur, terutama dalam menyampaikan dan menggiring opini publik, agar tidak menciptakan polar-polar disintegrasi bangsa. Untuk mengatur ini, dibutuhkan kesadaran pemimpin tersebut.
Disayangkan, mereka jarang tergerak untuk melakukan penertiban. Karena mereka, sebagai pemimpin negara, mendapatkan keuntungan besar dari penggiringan opini yang dilakukan pendengung, mereka memilih untuk membiarkan eksistensi mereka alih-alih menertibkanya. Hasilnya, perselisihan antarpolar, yakni polar pro sang pemimpin dengan polar kontra, saling berkonflik, menghasilkan perpecahan.
Dibutuhkan sebuah kesadaran, agar calon pemimpin masa depan Indonesia melakukan penertiban terhadap para pendengung. Mereka harus mengorbankan keuntungan pribadi yang didapat dari suara para pendengung, demi menciptakan integrasi bangsa. Jangan sampai, ketika pemimpin berbicara dan berjanji mengenai persatuan kepada para elite dan masyarakat, ia justru membiarkan para pendengung merusak janji-janji manis sang pemimpin.
Indonesia membutuhkan pemimpin yang tidak hanya memiliki wawasan pembangunan yang luas. Negara ini juga membutuhkan pemimpin masa depan yang berani menertibkan para pendengung, agar tidak menggiring opini seenak mereka. Meski akan kehilangan suara dukungan dari para pendengung, hal tersebut perlu dilakukan, untuk menciptakan integrasi bangsa di Indonesia.
*Tulisan ini pernah diterbitkan di NNC Hype pada 7 Desember 2023. Tautan