Judul Buku | Konstitusi & Konstitualisme Indonesia |
Penulis | Jimly Asshiddiqie |
Penerbit | Sinar Grafika |
Kota Terbit | Jakarta |
Tahun Terbit | 2020 [2010] |
Halaman | xvi + 340 halaman |
Dewasa ini, konsep masyarakat madani (civil society) masih digemakan dan berusaha diwujudkan di Indonesia. Mengutip Imam Suprayogo dalam artikel berjudul Membangun Masyarakat Madani Indonesia, masyarakat madani merupakan konsep yang telah dimiliki dan dilaksanakan di Indonesia sejak lama. Konsep ini, menurutnya, merupakan buah pemikiran para founding fathers (pendiri bangsa) yang mewakili semua elemen bangsa.
Melalui buku Konstitusi & Konstitualisme Indonesia, Jimly Asshiddiqie mengajak pembaca untuk mewujudkan masyarakat madani dalam bidang kewarganegaraan, politik, dan hukum tata negara. Melalui halaman demi halaman buku ini, Jimly memantik semangat pembaca untuk memahami kembali konstitusi di Indonesia.
Secara umu, UUD 1945 merupakan konstitusi tertinggi di Indonesia. Ia menjadi sumber hukum paling tinggi dan paling mulia dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Meski begitu, pada awal pendirian bangsa Indonesia, UUD 1945 hanya diberlakukan secara kertas. Meski dalam UUD 1945, sistem pemerintah negara Indonesia yang baru merdeka telah disepakati menganut sistem presidensial, terjadi penyelewenagan dengan menerapkan sistem parlementer melalui Maklumat X pada November 1945. Sejak 1945 hingga 1949, Indonesia resmi dipimpin oleh seorang perdana menteri, dan presiden hanya menjadi kepala negara semata.
Selain hanya berlaku di atas kertas, sejak 1949 hingga 1959, terjadi perubahan dalam konstitusi negara. UUD 1945 digantikan dengan Konstitusi RIS (berlaku hingga Agustus 1950) dan UUDS 1950 (berlaku hingga 1959). Pergantian tersebut, yang juga masih di atas kertas, mengubah kehidupan konstitusi di negara yang masih berumur muda tersebut.
Baru pada Juli 1959, Sukarno, melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 kembali menjadi konstitusi tertinggi Indonesia. Kondisi tersebut tidak berubah hingga saat Jimly menulis buku tersebut, meski UUD 1945 mengalami amandemen sebanyak 4 kali sejak 1999 hingga 2002.
Pada masa Orde Baru, terjadi penyelewengan terhadap UUD 1945. Ia, yang harusnya ditafsirkan dinamis dan dapat dirubah sesuai dengan perkembangan zaman, dibuat beku dan kaku. Bahkan, UUD 1945 ditempatkan sebagai sesuatu yang sakral dan tidak boleh disentuh atau dirubah oleh siapa pun, dan hanya Presiden semata yang memiliki narasi tunggal atas UUD 1945.
Kondisi tersebut berubah sejak Orde Baru runtuh. MPR, melalui sidang, melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Hingga 2002, UUD 1945 telah diamandemen sebanyak empat kali. Selain mengubah UUD 1945, amandemen membawa pesan kepada seluruh masyarakat Indonesia bahwa UUD 1945 harus dipahami secara dinamis dan mengikuti peredaran zaman, tidak boleh dimaknai sempit, kaku, dan sakral seperti yang dilakukan Orde Baru.
Selain berbicara mengenai perjalanan UUD 1945 sebagai konstitusi tertinggi Indonesia, Jimly juga berbicara mengenai peran dan fungsi lembaga-lembaga negara. Menurutnya, sejak MPR tidak lagi ditempatkan sebagai lembaga tertinggi negara, terjadi perubahan paradigma dalam konstitualisme di Indonesia. Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif kini berdiri sama kuat, dan bersifat melakukan check and balance satu sama lain. Ini berarti, keputusan satu lembaga tidak boleh mendahului keputusan lembaga lainnya, selain juga keputusan yang diterbitkan dipandang sama secara konstitusi.
Buku Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, oleh Jimly, disajikan dengan ringan dan segar. Sebagai buku pengantar bagi mahasiswa hukum dan ilmu politik untuk mendalami tata negara Indonesia dari masa ke masa, buku ini berhasil memantik semangat pembaca, terutama di kalangan mahasiswa, untuk mendalami lebih jauh mengenai konstitusi Indonesia.
Juga, buku Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia disajikan dengan beberapa selingan dan humor, yang mungkin dapat dikatakan, khas Jimly Asshiddiqie. Jika menyimak sidang MK Mahkamah Konstitusi pada awal November lalu, penonton sidang dapat melihat humor dan selingan yang dilemparkan Jimly seusai sidang. Hal tersebut juga dilontarkan dalam buku ini, membuatnya mampu menghibur pembaca.
Meski begitu, buku ini memiliki satu catatan yang perlu diperhatikan pembaca. Sebagai buku ilmu politik yang membahas banyak peraturan dan hukum tata negara Indonesia, buku ini disajikan dengan bahasa hukum. Bagi pembaca yang tidak menyadari hal ini, membaca buku ini dapat memusingkan dan menguras energi.
Sebagai antisipasi, pembaca perlu memahami lebih awal bahwa buku ini merupakan buku hukum tata negara, dengan gaya bahasa khas dan sangat formal. Dengan adanya antisipasi, pembaca diharapkan dapat mencerna informasi dalam buku ini dengan lebih mudah dan cepat.
Meski terdapat satu catatan penting sebelum membaca buku ini, buku ini, yang telah diterbitkan beberapa kali mengikuti kebutuhan pembaca akan buku pengantar hukum tata negara Indonesia, merupakan buku pengantar yang segar untuk belajar perjalanan konstitusi di Indonesia.
Buku Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia dapat menjadi buku wajib bagi mahasiswa hukum serta ilmu politik, siswa yang sedang mempelajari Pendidikan Pancasila, maupun masyarakat umum yang ingin belajar mengenai hukum tata negara Indonesia. Diharapkan, buku ini dapat mendorong terciptanya masyarakat madani, masyarakat yang paham dengan konstitusi, di negara ini.