Memaknai Kembali Peran Sejarah Lokal sebagai Bagian dari Identitas Lokal

Hidup ini dijalankan ke depan, akan tetapi dipahami ke belakang.
Soren A. Kierkengaard

Kutipan Kierkengaard di atas menegaskan bahwa untuk memaknai dan memahami kembali berbagai pengalaman masa silam sebagai bahan refleksi. Proses pemahaman tersebut tidak akan bisa lepas dari sebuah cabang ilmu pengetahuan, yakni sejarah.

Mengapa sejarah? Sebab, dalam sejarah, berbagai dinamika yang telah terjadi di masa lampau akan diuraikan kembali, sebagai upaya untuk mengenal lebih jauh identitas kita sebagai manusia, baik dalam tingkat lokal maupun nasional, individu maupun masyarakat.

Nilai Penting Sejarah Lokal

Satu hal yang menarik dalam upaya pemahaman kembali identitas kita melalui sejarah, adalah mengenal dinamika masa lalu dalam tingkat yang lebih kecil, tetapi memiliki tingkat kedekatan emosional yang sangat kental dan mendalam. Dalam ilmu sejarah, ia lebih dikenal sebagai sejarah lokal. Menurut Carol Kammen dalam buku On Doing Local History, sejarah lokal adalah:

the study of the past events, or people or groups, in a given geographic area. The focus of the local history can be the place itself, the people who lived there or events that took place in a particular location.”

[studi tentang peristiwa di masa lalu, baik itu perseorangan maupun kelompok, dalam suatu kawasan geografis tertentu. Fokus kajian dalam sejarah lokal dapat membahas mengenai wilayah itu sendiri, masyarakat yang tinggal disana atau peristiwa yang terjadi di lokasi tertentu].

Carol Kammen (lahir 1937), sejarawan yang mengabdikan dirinya pada kajian sejarah lokal, courtesy of Historic Itacha

Sejarah lokal, yang berfokus pada ruang geografis yang kecil, tentu berbeda dengan kajian sejarah nasional, dengan ruang lingkup sebuah negara sebagai suatu kesatuan nasional. Umumnya, sejarah nasional memiliki narasi yang lebih kompleks, dibandingkan sejarah lokal yang lebih sederhana. Pemaparan yang disajikan dalam sejarah jenis ini sangat luas, berbeda dengan sejarah lokal yang cenderung sempit.

Namun, sejarah nasional sering tidak menyentuh berbagai hal fundamental yang ada di masyarakat. Narasi yang disajikan sejarah nasional masih terbatas pada berbagai narasi besar, yang tentu saja sesuai dengan kepentingan yang ingin dicapai negara sang penulis sejarah. Sebagai contoh, dalam penulisan sejarah nasional di Indonesia, ia sering dibumbui dengan historiografi Indonesiasentris yang sarat muatan ideologis dan politis.

Baca Juga  Polemik BEM UI vs TNI, Ketika Emosi Mengalahkan Rasio

Agar sejarah nasional mampu menyentuh aspek yang lebih fundamental dalam penuliasn sejarah, sejarah lokal memiliki peran penting dan perlu dilibatkan. Sejarah lokal, yang memiliki ikatan kuat dengan masyarakat setempat dalam ruang geografis tertentu, dapat memberikan warna khas dalam penulisan sejarah nasional. Ia dapat memberikan paradigma baru terhadap sejarah nasional, yang tidak hanya menjadi akumulasi dari berbagai lokalitas yang dipandang sesuai dengan corak historiografi nasional.

Taufik Abdullah (lahir 1936), sejarawan Indonesia yang berpendapat bahwa sejarah lokal memiliki keunikan dan dinamika tersendiri, courtesy of Kompas.com

Selain itu, sejarah lokal juga memiliki keunikan dan dinamika tersendiri. Mengutip Taufik Abdullah dalam buku Nasionalisme dan Sejarah, sejarah lokal bukan diciptakan sebagai “replika pusat”. Ia memiliki dinamika sejarah tersendiri, yang terkadang berada di luar periodisasi dan dinamika sejarah nasional.

Realita Sejarah Lokal di Indonesia

Disayangkan, meski sejarah lokal memiliki peran yang sangat penting dalam penyusunan sejarah nasional, ia masih belum mendapatkan ruang cukup dalam sejarah nasional. Sejarah lokal seolah terpinggirkan oleh berbagai narasi besar dalam sejarah nasional.

Kenyataan tersebut pernah disampaikan oleh Federasi Serikat Guru Indonesia pada 2013. Melansir pemberitaan detikcom, mereka meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengubah konsep mata pelajaran sejarah, dengan mendorong muatan sejarah lokal, dalam mendukung wacana penyederhanaan kurikulum 2013 yang saat itu hangat diperbincangkan publik. Menurut Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, hal tersebut bertujuan untuk mendorong siswa lebih mengenali peristiwa sejarah yang terjadi di daerahnya sendiri, sehingga tidak ada lagi persepsi bahwa lingkungan tempat mereka tinggal tidak memiliki kontribusi historis.

Jika ditelaah lebih mendalam, saran yang disampaikan FSGI merupakan saran yang sangat bagus. Ia menjadi salah satu upaya untuk memberikan porsi yang cukup bagi sejarah lokal. Namun, bagaimana menempatkan sejarah lokal dalam sejarah nasional? Apakah ia dilakukan secara serentak dan keseluruhan di berbagai jenjang pendidikan? Yang terpenting, apakah kita siap melakukan perubahan yang tergolong revolusioner tersebut?

Menghubungkan Kembali Sejarah Lokal dan Sejarah Nasional

Untuk menjelaskan dinamika sejarah, mengutip Kuntowijoyo dalam buku Pengantar Ilmu Sejarah, kita tidak akan dapat melepaskan diri dari peranan manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, sebagai subjek maupun objek penggerak sejarah. Dalam prosesnya, setiap ruang dan waktu dalam sejarah memiliki perbedaan antara satu sama lain. Meski saling mempengaruhi, akan tampak perbedaan khas jika kita amati secara lebih mendalam.

Baca Juga  Ketika Guru-Guru Indonesia Berhenti Belajar

Sejarah lokal memiliki hubungan yang sangat erat dengan masyarakat dalam satuan geografis berukuran kecil yang lebih mendalam. Nilai-nilai kearifan lokal akan tertuang sejarah jelas dalam sejarah lokal. Interaksi yang lebih intim antara para pelaku sejarah dapat ditampilkan melalui sejarah lokal.

I Gusti Bagus Sugriwa, salah satu tokoh lokal Bali yang perlu mendapat tempat dalam dinamika sejarah nasional, courtesy of Jogjaaja

Penempatan kembali sejarah lokal dalam penulisan sejarah nasional bukan berarti meminggirkan peran sejarah nasional. Mengutip Toto Sujatmiko dalam artikel Menjalin Silaturahmi antara Sejarah Lokal dan Sejarah Nasional, diperlukan adanya etka sejarah, sebagai norma dalam penulisan sejarah, sekaligus sebagai solusi alternatif yang dapat menengahi sejara nasional dan sejarah lokal. Etika sejarah dapat memberikan batasan etis antara sejarah lokal dan nasional.

Melalui etika sejarah, ungkap Toto Sujatmiko, objek kajian sejarah lokal diharapkan tetap memiliki independensi. Dengan adanya etika sejarah, sejarah lokal diharapkan mampu mempertahankan fleksibilitas, apakah narasi dalam sejarah lokal akan menjadi bagian sejarah nasional, atau tetap berada dalam konteks lokalitas tersendiri.

Sejarah Lokal sebagai Sarana Mengenal Keberagaman

Saran untuk memberikan porsi terhadap sejarah lokal bukanlah suatu keniscayaan. Ide tersebut, menurut hemat saya, perlu mendapat dukungan, terutama dari kelompok masyarakat setempat yang masih belum mendapatkan ruang dalam sejarah nasional. Diharapkan, mengutip Harioyono dalam artikel Sejarah Lokal: Mengenal yang Dekat, Memperluas Wawasan,ruang yang lebih besar bagi sejarah lokal dapat menggali lebih jauh identitas historis di wilayah-wilayah yang selama ini terpinggirkan.

Penulisan sejarah lokal dapat dimulai melalui penggalian kembali peristiwa-perisitwa sejarah di wilayah tersebut, untuk kemudian disajikan melalui produk-produk historiografi yang memungkinkan. Setelah berhasil disajikan, produk akhir tersebut dikumpulkan menjadi satu. Misal, jika ia merupakan tulisan-tulisan tercecer, ia dapat disatukan menjadi sebuah buku antologi.

Ilustrasi persatuan. Sejarah lokal yang mendapatkan tempat dalam lokalitasnya dapat mendorong integrasi bangsa.

Rekonstruksi sejarah lokal, tentu saja, tidak hanya melibatkan sejarawan atau akademisi yang terkait. Ia waijb melibatkan para tokoh masyarakat, tokoh adat, dan cendekiawan lokal yang mengabdikan hidup mereka menjaga memori masa silam yang sangat berharga. Dari pemikiran mereka, selain sejarawan atau akademisi mendapatkan sumber primer, mereka juga sangat berguna dalam melihat kondisi lokalitas yang ada dalam suatu wilayah.

Baca Juga  Tak Ada Batas Antara yang Hidup dan yang Mati di Ruang Kota

Apakah ide tersebut dapat diterapkan dalam konteks yang lebih luas? Menurut Suparti dalam artikel Pendidikan Sejarah Lokal dalam Konteks Multikulturalisme, apabila orientasi utama kita dalam melakukan penulisan sejarah lokal ditarik lebih jauh, ia dapat menjadi bagian untuk menampilkan kearifan lokal dan kultural suatu masyarakat. Melalui rekonstruksi sejarah di tiap daerah, baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten, hingga provinsi, nilai-nilai multikulturalisme dapat kita pelajari dengan lebih membumi. Ia juga dapat memperkenalkan dan mengkomunikasikan budaya antardaerah, melalui penerbitkan produk-produk sejara lokal yang telah dikumpulkan menjadi satu kesatuan.

Akhir kata, saya berharap sejarah lokal di Indonesia dapat diberikan ruang dan peran yang lebih luas, sehingga semakin banyak kelompok masyarakat di negara ini dapat menghayati identitas dan sejarahnya. Bersama-sama sejarah nasional, penulisan sejarah lokal yang lebih luas dapat memberikan interaksi yang lebih intens, sebagai upaya penguatan terhadap kesadaran sejarah kita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *