Melihat Pertemuan Barat dan Timur Melalui Budaya Konsumsi Roti

Judul BukuKonsumsi Roti di Kota Yogyakarta 1921-1990
PenulisRose Mariadewi
PenerbitPustaka Indis
Kota TerbitSurabaya
Tahun Terbit2022
Halamanx + 140 halaman

Sejak beberapa tahun yang lalu, banyak artis ibu kota mulai merambah bisnis kuliner. Mereka beramai-ramai mencoba mengemas berbagai makanan dengan label kekinian. Salah satu makanan yang banyak mereka kemas kembali adalah roti, kue, dan cake.

Alasan para artis ibu kota merambah bisnis tersebut, didasarkan pada budaya makan orang Indonesia yang terbiasa dengan jenis makanan tersebut. Banyak dari mereka terbiasa memakan roti, kue, maupun cake. Biasanya, mereka mengosumsi jenis makanan tersebut sebagai camilan atau kudapan.

Budaya makan roti dan kue merupakan sesuatu yang mencolok bagi masyarakat Indonesia, yang sebagian besar mengandalkan nasi sebagai sumber makanan utama. Roti dan kue, terutama yang berbahan dasar tepung dan gandum, tampak mencolok dengan tradisi makan masyarakat Indonesia yang sebagian besar mengosumsi kue lokal yang berbahan dasar tepung singkong atau beras.

Sejak kapan masyarakat Indonesia mengenal budaya mengosumsi roti? Juga, bagaimana proses perkembangan budaya tersebut, sejak awal penetrasi hingga sekarang?

Kedua pertanyaan tersebut, oleh Rose Mariadewi, lulusan Jurusan Ilmu Sejarah FIB UGM, berusaha dijawab melalui buku Konsumsi Roti di Kota Yogyakarta 1921-1990. Buku tersebut, yang berasal dari skripsi sarjana yang ia berhasil pertahankan, mengajak pembaca untuk menyelami sejarah gastronomi Indonesia.

Menurut Rose, budaya konsumsi roti di Kota Yogyakarta berasal dari abad ke-19. Ketika itu, masyarakat Eropa aktif menggunakan roti sebagai makanan dalam ibadah keagamaan. Mereka, yang sebagian besar beragama Kristen, menggunakan roti dalam upacara Jamuan Suci di gereja.

Seiring berjalannya waktu, budaya konsumsi roti masuk ke kalangan bangsawan lokal Yogyakarta. Mereka melihat roti sebagai simbol yang mewah. Dalam benak mereka, mengosumsi roti setidak-tidaknya dapat menyamakan kelas mereka setara dengan masyarakat Eropa, yang menjadi patron baru mereka dalam birokrasi kolonial.

Baca Juga  Polemik Ilmu Pengetahuan dalam Kerangka F. A. Hayek

Seiring berjalannya waktu, pada awal abad ke-20, muncul toko roti di Kota Yogyakarta. Berawal dari bisnis rumahan masyarakat Tionghoa, budaya konsumsi roti berkembang menjadi budaya rakyat. Pada masa itu, roti telah menjadi salah satu kudapan masyarakat bumiputra, terutama mereka yang memiliki penghasilan lebih atau mereka yang telah mengadopsi kebudayaan Eropa.

Ketika pemerintah Belanda harus hengkang dari Hindia Belanda, budaya konsumsi roti masih tetap berlanjut. Kondisi ekonomi Indonesia pada pendudukan Jepang yang serba sulit, membuat banyak masyarakat bumiputra di Kota Yogyakarta untuk tidak menjadikan roti sebagai makanan. Meski begitu, oleh Jepang, roti dikemas sebagai ransum tentara.

Setelah kemerdekaan, budaya makan roti mulai memasyarakat kembali. Oleh masyarakat Indonesia, roti mengalami modifikasi, mengikuti selera saat itu. Berbagai bahan tambahan, seperti ketela rambat, ubi kayu, dan lainnya, menjadi bahan baku tambahan dalam proses pembuatan roti.

Budaya makan roti mulai mengalami masa industrialisasi ketika Soeharto berkuasa. Melalui pemerintah Orde Baru, yang mendorong pembangunan ekonomi di tingkat makro dan mikro, roti, yang semula hanya berupa produk tambahan dan dikonsumsi sewaktu-waktu oleh masyarakat Indonesia, dikemas menjadi produk industri.

Berbagai modifikasi lanjutan yang dilakukan para pelaku industri besar, seperti mengemasnya menjadi roti sobek, roti isi selai, roti coklat, dsb., memperluas pasar konsumsi roti di Kota Yogyakarta. Pada akhirnya, budaya tersebut memasyarakat; roti diterima sebagai salah satu makanan yang dekat dengan kehidupan masyarakat Kota Yogyakarta, dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Membaca buku Konsumsi Roti di Kota Yogyakarta 1921-1991 ini, mengingatkan saya akan dua hal mendasar. Pertama, alur narasi yang disajikan Rose Mariadewi benar-benar sederhana, tetapi mampu menarik pembaca untuk menyelami lebih dalam. Ketika pertama kali mendengar judul buku ini, siapa pun tidak akan mampu menahan diri untuk tidak membacanya.

Baca Juga  Mengapa Kita Perlu Belajar Sejarah, Meski Segalanya Sudah Disediakan Google?

Kedua, dan ini yang perlu menjadi catatan, adalah gaya penulisan Rose Mariadewi. Saya mengenal Rose, terutama ketika ia masih menyempatkan diri aktif menulis untuk Historical Meaning. Membaca buku ini, mengingatkan saya akan banyak draf tulisan yang pernah ia kirimkan kepada saya.

Buku ini, seperti berbagai draf tulisannya yang saya pernah baca, masih sangat berantakan. Ternyata banyak kalimat dan paragraf yang belum dirapikan kembali, membuat pembaca kesulitan untuk memahami ide yang tersurat dalam tulisannya. Sepertinya, Rose belum sempat memperbaiki buku ini ketika masih berupa draf, atau editor buku ini, Moch. Khozin, tidak menunaikan tugasnya dengan baik. Mungkin saja, kedua hal tersebut benar terjadi.

Terlepas dari catatan tersebut, buku ini masih layak untuk dibaca siapa pun yang ingin mendalami sejarah gastronomi di Indonesia. Meski ada satu pertanyaan yang masih belum terjawab dalam buku ini, seperti apakah budaya konsumsi roti pernah menjadi simbol pertentangan antara kelompok “tradisional” dan kelompok “barat”, seperti yang terjadi di Bali pada akhir 1920-an, buku ini menjawab tesis Rudolf Mrázek, bahwa kolonialisme meninggalkan berbagai jejak pertemuan kebudayaan antara Barat dan Timur.

3 thoughts on “Melihat Pertemuan Barat dan Timur Melalui Budaya Konsumsi Roti

  1. Kalau Roti Arab dan India seperti roti gepeng dan channai belum masuk ya sebelum roti Eropa? Padahal interaksi dengan Arab dan India sudah terjadi lebih dulu daripada interaksi dengan Eropa

    1. Membaca definisi “roti” yang ditulis dalam buku ini, ia persempit sebagai “roti yang dibuat dengan bahan dasar gandum”, dan ia melihat perkembangan roti melalui toko-toko roti Tionghoa serta budaya makan roti para bangsawan, yang dominan mengadopsi roti Eropa ketimbang roti gepeng atau channai. Saya menduga, roti gepeng dan channai berada di luar arus perkembangan budaya makan roti, alih-alih menjadi penggerak perkembangan budaya makan roti dalam masyarakat koloni (juga, seingat saya, masyarakat Arab di Hindia Belanda pada abad ke-19 lebih memilih masakan Melayu ketimbang mengolah makanan2 khas daerah mereka)

  2. Kalau Roti Arab dan India seperti roti gepeng dan channai belum masuk ya sebelum roti Eropa? Padahal interaksi Nusantara dengan Arab dan India sudah terjadi lebih dulu daripada interaksi Nusantara dengan Eropa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *