Perangkap Romantisisme Sejarah

Pada 18 September 2022 lalu, Azyumardi Azra, seorang cendekiawan Muslim Indonesia, berpulang ke Rahmatullah. Kepergiannya yang serba mendadak membuat masyarakat Indonesia, yang masih membutuhkan bimbingan serta penerangan dalam hal sosial-humaniora, kehilangan pemandunya yang paling setia. Meski begitu, perjalanan beliau selama ini dapat menjadi perenungan bagi kita sekalian.

Tulisan terakhir Azyumardi Azra, yang diterbitkan dalam harian Kompas pada 19 September 2022 dengan tajuk Kebangkitan Peradaban, Memperkuat Optimisme Muslim Asia Tenggara, direncanakan sebagai makalah yang akan dibawakan beliau dalam Persidangan Antarbangsa “Kosmopolitan Islam” di Kajang, Malaysia. Disayangkan, takdir berkehendak lain; makalah tersebut tidak dapat beliau sampaikan.

Tulisan ini, yang merupakan perenungan bagi masyarakat Muslim Indonesia, menarik untuk dibaca dan didalami. Dan, bagi saya, salah satu poin penting yang beliau tuliskan adalah pesan kepada segenap Muslim di Indonesia agar melepaskan diri dari belenggu romantisisme sejarah Islam di Indonesia dan dunia. Romantisisme, menurut Azra, tidak akan membawa masyarakat Muslim bergerak maju. Ia hanya duduk, mengenang kejayaan masa lalu dan terlena dengan segala kenikmatan yang pernah terjadi.

Pesan Azra, jika kita dapat menariknya lebih jauh, menggambarkan secara tepat cara masyarakat Indonesia memahami sejarah. Bagi mereka, dan mungkin sidang pembaca termasuk salah satunya, sejarah hanya melulu mengenai kisah masa lalu, dan kisah tersebut terbatas hanya mengenai kejayaan yang besar dan gagah. Dalam historiografi Indonesia, kejayaan yang sering dikenang adalah sejarah Indonesia pada masa kebudayaan Hindu-Buddha, dengan peninggalan-peninggalan besar yang dapat kita saksikan hingga saat ini. Cara pandang ini membuat masyarakat sulit menghargai sejarah yang ditampilkan secara kritis dan argumentatif, karena pemikiran historis mereka tidak berkembang jauh dan mendalam.

Baca Juga  Kebangkitan Peradaban, Memperkuat Optimisme Muslim Asia Tenggara

Sikap romantisisme dalam melihat sejarah yang dianut masyarakat Indonesia berbuah beberapa hal. Pertama, masyarakat Indonesia kesulitan dapat memposisikan sejarah sebagai ilmu pengetahuan yang dinamis, subjektif, serta memiliki pola dan alur. Kedua, masyarakat Indonesia hanya tertarik dengan topik-topik besar dan menganggap bahwa masyarakat kebanyakan tidak memiliki sejarah untuk dituliskan. Ketiga, cara pandang romantisisme membuat masyarakat tidak “melek sejarah”.

Lalu, bagaimana cara merubah paradigma ini? Sulit, saya katakan, jika pengampu kebijakan melihat sejarah ketika mereka memerlukannya saja. Negara-bangsa, sebagai patron bagi historiografi Indonesia, wajib melakukan penggalian hingga tingkat akar rumput untuk dapat menciptakan pemikiran kolektif kepada segenap masyarakat, bahwa sejarah adalah ilmu yang selalu aktual dengan kehidupan manusia di dunia ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *