Pada 1 Agustus 1816, Thomas Jefferson menulis sebuah surat kepada John Adams, lawan politiknya. Pada bagian akhir surat tersebut, Jefferson mengatakan bahwa dirinya “menyukai mimpi mengenai masa depan dibandingkan sejarah masa lalu” (like the dreams of future better than the history of the past). Masa lalu, baginya, hanya penuh dengan kejayaan atas “kekuasaan”, sedangkan masa depan ia pandang sebagai “pembebasan diri” atas “kekuasaan masa lalu”.
Saya menemukan pemahaman bahwa kesadaran akan sejarah dalam benak kedua tokoh tersebut memiliki kesan yang berbeda. Thomas Jefferson nampak tidak berpuas hati akan sejarah masa lalunya, membuatnya menjadi sosok yang progresif dengan memimpikan kejayaan yang abstrak di masa depan. Hal ini ditegaskan lebih lanjut oleh Louis Gottschalk dalam buku Mengerti Sejarah. Sejarah, menurutnya, digambarkan sebagai generalisasi yang terbaik pada zamannya. Akan tetapi, ia tidak bisa diperlakukan sebagai kebenaran mutlak, karena ia berfungsi menjadi kunci untuk mencegah peristiwa buruk kembali terjadi pada masa berikutnya.
“Dengan jalan memberitahukan kepada mereka mengenai masa lampau, sejarah memungkinkan mereka menimbang masa depan; sejarah akan memberikan kepada mereka pengalaman jaman yang lain dan bangsa yang lain; hal itu akan memberikan kualifikasi kepada mereka sebagai hakim terhadap tindakan dan rencana manusia,” ungkap Thomas Jefferson. Ini menegaskan bahwa sejarah tidak hanya sebatas kisah masa lalu yang mati, tetapi memiliki makna untuk kehidupan manusia pada masa kini, membuat mereka dapat menentukan langkah yang harus diambil.
Dewasa ini, saya melihat kalimat yang diungkapkan Thomas Jefferson tidak melulu sebagai perwujudan sikap pesimis. Kutipan ini dapat dimaknai dengan cara yang lebih optimistik. Cara pandang ini memaksa kita untuk melihat masa lalu sebagai sebuah pembelajaran, membangunkan kita dan mendorong kita untuk mempertimbangkan kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan. Apakah kita telah melihat sejarah dengan cara yang demikian?