Sekali Lagi tentang Humaniora

Akhir-akhir ini banyak dibicarakan tentang humaniora dan rencana pemerintah untuk memberikan pendidikan humaniora dalam porsi yang lebih banyak dalam rangka membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan humaniora dan mengapa humaniora serta sejauh mana peranan sejarah dalam rangka pendidikan humaniora yang sedang digalakkan pemerintah?

Sebelum berkembangnya ilmu seperti sekarang ini, pendidikan ditekankan pada humaniora atau ilmu-ilmu budaya manusia. Jaman dahulu, sejak zaman Yunani Kuno, manusia yang dianggap terpelajar adalah manusia budaya. Orang yang tahu segala macam, ya seni, filsafat, moral. Pendeknya budaya manusia atau kemanusiaan. Orang yang banyak mengetahui tentang budaya manusia disebut humaniora.

Ahli dan bermoral

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, muncullah kecenderungan pendidikan yang ditekankan pada ilmu (sains) semata-mata untuk membentuk manusia ahli dalam bidang tertentu. Ini menghasilkan manusia yang ahli dalam bidangnya, tetapi terpisah dengan pengetahuan yang lain, terpisah dari moral, budaya, seni. Ini tentunya kurang baik, sebab menjadikan manusia seakan-akan satu dimensi saja, tetapi juga perlu pengetahuan yang lain atau mengetahui ilmu-ilmu budaya manusia. Inilah yang dikatakan manusia sempurna atau manusia yang utuh atau seutuhnya. Manusia yang utuh adalah manusia yang tidak saja pandai dalam sains, tapi bermoral, tapi juga punya perasaan estetis. Manusia utuh bukan manusia robot. Hal ini sudah diperhatikan oleh bangsa Yunani sejak zaman purba.

Memang, pada awal perkembangan bangsa Yunani ilmu Pengetahuan Alam (sains) maju dengan pesatnya, sehingga muncul tokoh-tokoh seperti Archimedes, Phytagoras. Tetapi, dengan pendidikan seperti ini ternyata atau dirasa belum cukup. Bangsa Yunani mempunyai cita-cita pendidikan humanitas atau humanities. Menurut Jaegaer[Werner Jaeger] dalam bukunya Paideia, bagaimana mendidik seorang anak untuk menjadi manusia yang sempurna atau serba bisa. Di samping sains, harus diberikan juga pendidikan humanitas, sehingga dengan kedua sifat ini manusia menjadi sempurna dan utuh atau serba bisa. Kata Socrates, ilmu pengetahuan dan seni harus memuliakan kemanusiaan dalam segala aspeknya. Dalam hal ini ilmu dan seni mempunyai korelasi yang erat untuk memberikan sumbangan atas perkembangan kemanusiaan.

Werner Jaeger (1888-1961), filsuf Jerman dan penulis buku Paideia, courtesy of Alchetron.com

Rupanya sifat pendidikan ini sangat diperhatikan oleh Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswanya yang terkenal dengan cipta, rasa, dan karsa. Ki Hajar Dewantara berusaha membentuk manusia dengan kemanusiaannya. Pembentukan manusia dengan sains dan humaniora secara terpadu, sehingga terbentuklah manusia Indonesia yang cerdas, trampil, berbudaya, beriman dan berwatak luhur. Singkatnya membentuk manusia seutuhnya.

Baca Juga  Relevansi Sejarah bagi Generasi Masa Kini

Di Yunani, untuk menjadi manusia yang sempurna, terlebih dahulu harus diawali dengan pandai berpidato (rhetor) dan tentunya seorang rhetoris tidak hanya pandai ngecap, tetapi juga dituntut kemahiran berbahasa (sastra) dan juga sains. Di Romawi hal semacam ini dikembangkan, apabila seseorang ingin menjadi negarawan, ia harus melalui berbagai tingkatan. Pertama tama harus menjadi penagih pajak, terjun ke dalam di kehakiman, dan barulah menjadi negarawan. Hal ini kelihatan pada diri Julius Caesar. Ia sebagai panglima perang, sastrawan, dan negarawan. Sejalan dengan ini raja-raja Jawa juga sering mengadakan sayembara sajak-sajak pada waktu-waktu tertentu. Di Jawa dikenal sostronegoro atau penulis negara, yang kira-kira sama dengan sekretaris negara sekarang.

Sifat pendidikan Yunani ini kemudian diteruskan oleh universitas abad pertengahan dan kemudian universitas-universitas Anglo Saxon (Inggris dengan negeri-negeri jajahannya), meskipun sekarang sudah agak luntur. Jelas diberikannya mata kuliah ilmu-ilmu budaya manusia. Kita bisa mengambil manfaat dari pendidikan yang umum ini untuk menghindari spesialisasi yang terlalu berat sebelah. Tetapi, ini menghasilkan manusia yang universal atau “all round” seperti Leonardo da Vinsi[Vinci, sic]. Mata kuliah yang diberikan pada universitas-universitas pada abad pertengahan adalah sejumlah mata kuliah untuk topik-topik umum dan diberikan secara stadium general, maksudnya supaya orang menjadi serba bisa. Hal ini kelihatan masih meneruskan cita-cita pendidikan humanias pada zaman Yunani. Pendididkan di universitas selama tiga tahun untuk gelar Bacalaureus Artium (BA) dengan tiga mata kuliah (trivium) dan boleh mengajar di bawah bimbingan guru. Dua tahun lagi mendapat gelar Magister Artium (MA) dengan empat mata kuliah (quadrivium). Ini masih kuliah-kuliah yang sifatnya umum: setelah dua atau tiga tahun kemudian barulah diberikan pendidikan spesialisasi dengan gelar Doctor Philosophiae (Ph.D). Sejak zaman Yunani manusia budaya (humanior) masih dianggap lebih superior dari saintis.

Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, courtesy of situs resmi Sekolah Pascasarjana UGM

Untuk itulah, rencana pemerintah untuk memberikan pendidikan humaniora adalah gejala yang baik sekali untuk menghindari spesialisasi yang terlalu berat sebelah. Bahkan di universitas Gajah Mada sekarang telah dibuka Fakultas Pasca Sarjana[Pascasarjana, sic] bidang humaniora yang terdiri dari jurusan Sejarah, Sastra Indonesia, dan Sastra Daerah.

Sekarang perkembangan teknologi sudah kian memuncak. Kita tahu dewasa ini teknologi memang sudah maju sedemikian rupa dan akan lebih maju lagi di masa yang akan datang.Tetapi, kemajuan itu tidak begitu saja menyenangkan manusia. Misalnya, peluru nuklir yang dikhawatirkan dapat membinasakan manusia. Bahkan di Barat kini sudah ada kelompok intelektual anti nuklir. Jadi tidak semua orang menyambut gembira kehadiran senjata ini. Peluru nuklir justru dikuasai oleh negeri-negeri besar. Yang rugi adalah negara-negara sedang berkembang baik kerugian ekonomi, sosial-budaya. Dalam satu menit digunakan yang puluhan ribu dolar untuk biaya dan ribuan ahli telah dikerahkan.

Baca Juga  Konflik Pulau Rempang dan Sikap Abai Pemerintah terhadap Humaniora

Gagal menguasai nafsu

Di negeri Barat, manusia telah berhasil memperoleh kemajuan material yang luar biasa (Ilmu Pengetahuan, teknologi, industri) yang tiada taranya. Tetapi di pihak lain manusia gagal untuk menguasai nafsu-nafsu yang semakin serakah. Lembaga-lembaga kekeluargaan kian merosot, pemerasan dalam bidang ekonomi sangat rakusnya, ketidakadilan menghancurkan jiwa kemanusiaan.

Karena itulah, sesuai dengan pendapat salah seorang budayawan kita yang terkemuka Sudjatmoko, dunia sekarang harus memilih jalan spiritual (agama), karena sekularisme sudah ketinggalan zaman. Ideologi-ideologi besar seperti Liberalisme, Marxisme sudah tidak mampu lagi memecahkan masalah-masalah dunia. Dalam menghadapi situasi semacam ini tidak ada pilihan lain, selain kembali pada agama. Sejarawan Inggris termashur Arnold Tonybee, 1889-1975, juga berpendapat yang sama, bahwa agama satu-satunya harapan bagi dunia kemanusiaan dari kehancuran. Diselenggarakannya berbagai diskusi, dialog, seminar tentang peranan agama oleh lembaga-lembaga internasional akhir-akhir ini. Menunjukkan semakin tumbuhnya kesadaran kalangan kaum cendikiawan terhadap masalah-masalah kemanusiaan.

Arnold Tonybee (1889-1975), sejarawan Inggris yang mendorong pendidikan humaniora bagi manusia di dunia, courtesy of Aeon

Dalam rangka pendidikan humaniora, pelajaran sejarah yang merupakan salah satu bagian dari humaniora, dirasa sangat relevan. Secara sederhana sejarah dapat diartikan kisah masa lampau umat manusia. Telah pula diakui bahwa sejarah dapat mengajarkan kepada kita untuk lebih mengenal masa lampau dalam hidup berbangsa dan bernegara. Kita dapat mengetahui aktivitas para pendahulu kita dengan mempelajari sejarah perjuangannya, kemudian dimengeri dan menghayatinya. Di sini fungsi sejarah dapat menjembatani antara generasi terdahulu yang langsng mengalami dengan generasi berikutnya yang tidak pernah mengalami.

Dalam hubungan ini tentunya kisah sejarah masa lampau tidak akan utuh sampai pada kita. ia hanya akan meninggalkan bekas, baik yang tertulis maupun berupa peninggalan atau monumental. Tetapi, monumen atau peninggalan yang sampai pada kita, tidak hanya seonggok bekas bangunan saja atau sejenisnya. Tetapi, monumen lebih dapat menghidupkan, akan dapat memberikan arti atau rasa hayat kepada peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Tentunya setelah dipertanyakan oleh sejarawan. Misalnya monumen apa? [B]ekas dari zaman mana? Dan pertanyaan sejenisnya.

Baca Juga  “Rethinking” Jabatan Wakil Kepala Daerah

Monumental yang menggugah

Dengan demikian sumber monumental yang merupakan warisan budaya bangsa, tidak hanya sekedar barang mati, yang tanpa arti. Ia dapat menggugah setiap warga negara memupuk rasa cinta tanah air dan cinta bangsa sekaligus telah mengemban dan melestarikan warisan budaya, warisan nenek moyang dalam rangka pendidikan humaniora ini.

Di samping itu peristiwa-peristiwa sejarah masa lampau merupakan sumber inspirasi dan pelajaran bagi kita untuk mengemban tugas-tugas selanjutnya. Karena sesungguhnya setiap manusia, setiap bangsa disadari atau tidak diakui atau tidak tetap dipengaruhi masa lampaunya dalam menjalankan tanggung jawab di masa kini dan masa yang akan datang.

Monumen Puputan Klungkug, courtesy of Balipost.com

Bali meskipun kecil, kaya dengan peninggalan-peninggalan bekas perang-perang kolonial atau perang kemerdekaan. Misalnya Kerthagosa yang tidak dapat dipisahkan dari peristiwa puputan Klungkung 28 April 1928[1908, sic]. Pada waktu terjadi Puputan Klungkung, keraton yang disebut Smara Pura dibakar habis. Dari seluruh kompleks keraton yang terbakar hanya masih tersisa, berupa bangunan Kerthagosa, Taman Gili dan sebuah pintu Gerbang. Raja Klungkung beserta seluruh keluarganya gugur ditengah-tengah laskar rakyat dalam peristiwa tersebut. Demikian juga Bale Kulkul yang sekarang masih berdiri kokoh dekat puri Pemecutan, merupakan puing-puing dari kehancuran Keraton Pemecutan dalam peristiwa Puputan Badung dua tahun sebelum Puputan Klungkung. Dengan demikian peninggalan peninggalan di atas merupakan saksi mata yang sangat berharga untuk mengenang peristiwa heroik beberapa puluh tahun yang lalu.

Dalam peristiwa mempertahankan kemerdekaan, penjara kolonial [P]ekambingan juga tidak dapat dipisahkan dengan revolusi 1945. Betapa tidak, penjara yang sekarang sudah dibongkar merupakan saksi mata di mana para pejuang-pejuang daerah ini dijebloskan dalam tahanan sampai penyerahan kedaulatan RI 1949. Demikian juga monumen-monumen lainnya banyak tersebar di seluruh Bali, sehingga merupakan suatu ciri bahwa Bali pernah menjadi arena perang. Monumen-monumen di atas secara maksimal menjadi saksi terhadap apa-apa yang pernah dilakukan oleh suatu generasi bangsa Indonesia, dan secara maksimal dapat menjadi sumber inspirasi untuk perkembangan kemajuan bangsa.

Dengan demikian lewat pelajaran sejarah dapat kita tanamkan, pendidikan humaniora yang lebih banyak: Bukan berarti pendidikan humaniora yang terpenting, tetapi ilmu dan humaniora harus diletakkan seimbang.

Sumber:
I Putu Gede Suwitha. “Sekali Lagi tentang Humaniora” dalam Bali Post. 9 Juni 1984. hlm. 5 & 8.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *