“Apakah perang antar umat manusia, tidak diakibatkan oleh manusia yang melalaikan sastra?” gugat Gde Aryantha Soethama, lulusan peternakan Udayana yang kini dikenal sebagai sastrawan Bali, ketika mempertanyakan peran sastra dalam kehidupan sehari-hari dalam rembug (diskusi) sastra purnama Badrawada di Pura Agung Jagantnatha, 20 Desember 1983.
Diskusi tersebut, yang diabadikan melalui artikel Dwijaputra dalam majalah Warta Hindu Dharma edisi 199 (Januari 1984), Soethama memberikan timbangan moral kepada peserta rembug, dan kita saat ini, bahwa sastra hidup dalam perjalanan kehidupan manusia. Setiap langkah manusia di dunia ini, selalu mendapatkan percikan sastra, baik melalui kesenian yang praktikal maupun melalui pembelajaran formal dan nonformal.
Disayangkan, generasi manusia Indonesia masa kini abai terhadap esensi sastra. Meski banyak penulis terlahir pada masa kini dibandingkan masa sebelumnya, tidak banyak dari mereka yang mampu menghasilkan karya yang menggugah jiwa pembacanya. Karya mereka lebih ditujukan untuk menghasilkan keuntungan jangka pendek alih-alih untuk mencerdaskan atau menghasilkan generasi Indonesia yang kritis dan rasional.
Sastra, sebagai pelita bagi manusia menjalani kehidupan sehari-hari, sudah seharusnya dibumikan. Sudah sewajarnya sastra dekat dengan jiwa manusia. Tuntutan tersebut semakin terasa di Indonesia, negara pencetak sastrawan dan pujangga yang berkelas, tetapi kesulitan memahami nilai dan esensi dari sebuah karya sastra.
Sudah seharusnya, untuk mencegah aus kebudayaan lebih dalam lagi, manusia Indonesia mulai mendalami kembali sastra. Meski, bagi sebagian kalangan, tidak memiliki nilai praktis, sastra mampu memberikan ruang bagi manusia Indonesia untuk merenungkan perjalanan hidup mereka di dunia ini saat ini, memikirkan kembali segala kelakuan mereka di dunia, dan jejak apa yang akan mereka tinggalkan ketika mereka tiada nanti. Sastra memberikan kebebasan bagi manusia yang ingin mendalaminya.