PR KKP BRIN Gelar Webinar Mengulas Karya-Karya Ulama Indonesia

Banyak karya ulama di Indonesia tidak terpelihara dan berakhir rusak. Sementara, upaya penyelamatan naskah yang dilakukan saat ini belum banyak memanfaatkan teknologi canggih, baik dari aspek perangkat keras maupun perangkat lunak.

Hal tersebut disampaikan Dede Burhanudin, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam webinar bertajuk Diskursus dan Nasihat Keagamaan dengan mengambil tema Di Barat dan di Timur Jawa: Madura dan Banten dalam Khazanah keagamaan yang digelar Pusat Riset Khazanah keagamaan dan Peradaban (PR KKP) BRIN, Rabu (24/7) lalu.

“Sebagai contoh, karya ulama Sumenep yang ada di pesantren sampai saat ini, masih berupa tulisan tangan atau cetakan yang masih tersimpan di pesantren-pesantren atau di tangan keluarganya. Ia masih banyak yang belum terinventarisir,” ungkapnya dalam webinar tersebut.

Lebih lanjut, Dede mengatakan bahwa telah ditemukan sebanyak 46 buah karya ulama, yang tersebar di tiga pondok pesantren di Sumenep, Madura.

“Tujuh di antaranya merupakan karya KH. Habibullah Ro’is, 2 karya KH. Nawawi Tibyan, 2 karya Syeh Muhammad Ilyas bin Muhammad Syarkawi, 31 karya KH. Thopur bin Aliwafa bin Muharor Al Maduri, 2 karya KH. Gofir, 1 karya KH. Abdullah Kholil, dan 1 karya KH. Mahmudi Syukri,” tambahnya.

Selanjutnya, Asep Saefullah, peneliti PR Khazanah Keagamaan dan Peradaban BRIN, menyampaikan tulisannya mengenai karya ulama Banten. Karya para ulama Banten juga dapat ditemukan dan digunakan pesantren-pesantren di Indonesia.

“Hal ini sebagai bukti nyata salah satu indikator bahwa inskripsi-inskripsi tersebut tidak berasal dari ruang hampa. Berbagai inskripsi tersebut mengakar pada warisan ulama dan alam pikiran masyarakat pemiliknya,” urainya.

Sebagai penutup, Kepala PR KKP BRIN, Wuri Handoko, mengatakan bahwa diperlukan pengembangan data untuk menginventarisasi karya-karya ulama Indonesia.

Baca Juga  BDG Connex Sukses Gelar Pembukaan “Bandung Art Month ke-6”

“Data tersebut yang menggambarkan tentang khazanah keagamaan dalam kontesktualitas yang lebih luas. Mengenai agama, manuskrip, sejarah, serta ritual tentang tradisi lokal, dan sebagainya. Selain itu juga, cara pandang yang luas dan bisa mengintegrasikan semua aspek itu dalam kacamata makro,” pungkasnya.

Disadur melalui rilis berita Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berjudul Di Indonesia, Upaya Penyelamatan Naskah Belum Memanfaatkan Teknologi Canggih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *